JAKARTA, TODAY — Harga minyak dunia ambruk. Kondisi inilah yang membuat Bank Indonesia (BI) ketar-ketir. BI mewaspadai pergerakan turun harga minyak mentah interÂnasional karena menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi dunia. FenomÂena global ini dinilai bisa memicu pelarian modal dari negara berkembang ke negara-negara yang sudah maju (flight to quality).
Gubernur BI, Agus D.W. MarÂtowardojo menuturkan kejatuhan harga minyak hingga menembus USD30 per barel di bawah eksÂpektasi berbagai kalangan. Selain karena permintaan yang turun, Agus menilai sikap negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang enggan memangkas produksi tuÂrut menekan harga minyak. “Jadi tekanan seperti itu berdampak keÂpada kekhawatiran dunia kepada ekonomi global tidak seperti yang diharapkan. Dan ada kekhawatiran flight to quality,†jelasnya di GeÂdung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/1/2016).
Terkait ini, Mantan Menteri Keuangan itu melihat negara-negÂara maju akan diuntungkan karena ekonominya berpotensi tumbuh seiring dengan derasnya aliran modal masuk ke pasar obligasi. Sebaliknya, tekanan harga minyak akan memaksa turun tingkat imbal hasil (yield) surat utang sehingga kurang diminati investor. “Jadi dinÂamika ini terus berkembang di duÂnia, yang berpengaruh secara langÂsung kepada Indonesia,†tuturnya.
Sayangnya, Agus belum bisa memastikan sampai kapan tren penurunan harga minyak ini akan berlangsung. “Tapi kita perlu waspadai harga minyak yang cenÂderung turun,†tuturnya.
Untuk itu, bank sentral menÂdorong pemerintah untuk melakuÂkan diversifikasi pasar dan mitra kerja guna meminimalkan risiko yang timbul dari negara-negara mitra utama selama ini.
Agus mengapresiasi rencana pemerintah menggabungkan biaya-biaya promosi di seluruh kementerian. Menurutnya, langÂkah ini bisa menghemat anggaran, tetapi di sisi lain bakal mendorong upaya mencari pasar-pasar baru. “Karena emang pada saat harga komoditi yang tertekan, ekonomi China yang melemah, kemudian berdampak kepada negara-negara lain. Indonesia harus bisa cari pasÂar-pasar baru,†tuturnya.
Sementara itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) memperkirakan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Januari 2016 masih akan tetap rendah di kisaran US$33 per barel hingga US$38 per barel. Proyeksi tersebut sejalan denÂgan perkembangan harga minyak mentah dunia yang terjun bebas.
Mengutip data perdagangan West Texas Intermediate (WTI), Senin (18/1) harga minyak jenis light sweet untuk pengiriman FebÂruari 2016 tercatat turun USD71 sen dan berada di level USD28,71 per barel. Sedangkan untuk data perdagangan di pasar komoditas London Brent North Sea, harga minyak mentah untuk pengiriman Februari 2016 saat ini bertengger di level USD28,00 per barel.
Sensitivitas Fiskal
Dalam dokumen Laporan Perkembangan Pasar Minyak tertanggal 8 Januari 2016 yang diterbitkan SKK Migas disebutÂkan, harga minyak diperkirakan terus melemah karena negara-negara OPEC, khususnya Iran dan Arab Saudi, enggan memangkas produksinya. Dengan berlebihnya pasokan di tengah perlambatan ekonomi mengakibatkan harga minyak akan semakin tertekan.
Dengan asumsi rata-rata ICP Januari 2016 di kisaran USD33-USD38 per barel, maka akan berÂdampak pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang disusun mengÂgunakan acuan ICP USD50 per barel.
Konsekuensi dari kejatuhan ICP tersebut telah diantisipasi oleh pemerintah dengan membuat forÂmula sensitivitas APBN 2016 berÂdasarkan perkembangan indikator ekonomi makro (ceterus paribus). Dalam Nota Keuangan dan APBN 2016 disebutkan, setiap kenaikan US$1 harga minyak di atas asumsi US$50 per barel, maka pendapaÂtan negara berpotensi bertambah sekitar Rp3,4 triliun hingga Rp3,9 triliun.
(Yuska Apitya/dtkf)