Maka sangat masuk akal bila korupsi harus diperangi hingga musnah. Namun sayang sekali, tekad memerangi korupsi seringkali hanya sebatas jargon atau basa-basi yang tidak pernah diwujudkan. Tentu kita masih inÂgat bagaimana dulu, partai penÂguasa sangat gencar memperinÂgatkan kita: KATAKAN “TIDAK†PADA KORUPSI. Eh, ndilalah, hampir semua bintang iklannya malah masuk penjara karena koÂrupsi.
Dalam musim kampanye, calon kepala daerah atau calon anggota legislatif pada umumnya menjadikan “pemberantasan koÂrupsi†sebagai fokus utamanya apabila terpilih. Namun kenyataÂan yang tersaji kemudian, sungÂguh bertolak belakang. Banyak kepala daerah yang terseret koÂrupsi. Dan itu pun kemungkinan besar baru yang kedapatan atau tertangkap tangan Komisi PemÂberantasan Korupsi (KPK).
Oknum yang lihai, yang perÂmainan kotornya tidak terendus, tentu saja ada, tapi mungkin beÂlum waktunya terjerat. Namun kita tidak perlu terlalu pesimis juga, sebab masih ada pejabat atau anggota legislatif yang tiÂdak pernah mau mengkhianati sumpah jabatannya. Hanya saja, jumlah mereka hanya segelintir sehingga gaungya dan dampakÂnya tidak terlalu signifikan.
Harapan rakyat supaya prakÂtik-praktik korupsi ditiadakan, pun kelihatannya masih memÂbentur tembok tebal. IndikasinÂya sudah sangat jelas. KPK yang sudah membuktikan kinerjanya dalam beberapa tahun ini, ideÂalnya diberi keleluasaan untuk bekerja lebih garang lagi. Namun pihak-pihak yang sumber rezeki dan kenyamanannya terusik, melakukan segala cara untuk membungkam lembaga ini.
Dan kekuatan mereka sangat dahsyat. Faktanya, pimpinan KPK ada yang masuk penjara dengan dakwaan “membunuhâ€. Penyidik KPK yang sudah teruji dan terÂbukti berkerja bagus pun sengaja dijerat dengan kasus lama.
Yang lebih mencengangkan adalah saat pelemahan KPK pimpÂinan Abraham Samad yang begitu telanjang dan nyata menjelang berakhirnya periode mereka. Sebagai “pelipur lara†bagi rakyÂat, terpilihlah lima komisioner baru untuk menggantikan para pendekar anti-korupsi yang sepÂertinya sengaja dipinggirkan itu.
Korupsi mestinya mudah dipatahkan, dengan syarat semua elemen bangsa, terutama para pejabat dan tokoh-tokoh yang berwenang bersatu padu dan bersatu hati. Namun apalah yang bisa diharap ketika lembaga negÂara yang punya otoritas meneÂtapkan komisioner KPK pun terkesan pilih-pilih pemberantas korupsi yang menurut mereka “ramahâ€.
Padahal, kalau semua pihak ingin korupsi dibabat segera dari Bumi Pertiwi ini, sosok-sosok sepÂerti Johan Budi, Bambang WidjoÂjanto, dan lain-lain yang dipilih untuk memimpin KPK. Karena mereka sudah terbukti dan mamÂpu, sementara komisioner yang baru, belum jelas arah dan seÂmangatnya. Meniru iklan minyak gosok: memberantas korupsi (di Indonesia) kok coba-coba!
Tidak perlu hukuman mati
Sejauh ini, di negara kita pelaku korupsi hanya diganjar dengan hukuman penjara dengan lama yang bervariasi, tergantung besarnya kerugian negara yang diperbuat. Banyak pihak yang tiÂdak puas atas vonis yang dijatuhÂkan pengadilan kepada koruptor. Oknum yang terbukti mengemÂbat uang rakyat puluhan miliar rupiah misalnya, bisa dihukum hanya beberapa tahun.
Dengan adanya remisi, dsb., seorang koruptor kakap bisa mendekam di tahanan hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dia bebas dengan sumrinÂgah dijemput sanak keluarga, melakukan acara syukuran, meÂnikmati hidup. Ini sungguh tidak adil dan melukai hati masyarakat. Sehingga beredar wacana supaya koruptor dihukum mati saja.
Sementara, pelaksanaan huÂkuman mati saat ini masih konÂtroversi. Banyak negara yang suÂdah menghapus hukuman mati dengan berbagai alasan. Ada yang melihat dari sudut agama, bahwa hanya Tuhanlah yang puÂnya hak mencabut kehidupan seseorang. Terlepas dari alasan tersebut, koruptor memang tidak harus dihukum mati. Koruptor “hanya†mengakibatkan negara kehilangan uang.
Maka hal yang paling urgen sebenarnya adalah bagaimana suÂpaya uang ini bisa kembali, tanpa harus mengambil nyawa si korupÂtor. Salah satu caranya tentu saja menyita seluruh miliknya, seÂhingga uang yang dikorupsi kemÂbali utuh. Sekalipun demikian, si koruptor tetap harus dihukum karena tindakannya tersebut.
Maka dari itu, tindakan meÂmiskinkan koruptor adalah langkah yang sangat tepat. Jika seorang telah dipastikan pengaÂdilan melakukan korupsi, maka seluruh asetnya harus disita dan dikembalikan kepada negara sesÂuai nilai yang dikorupnya. Untuk apa seseorang dihukum mati atau dipenjara, sementara uang negaÂra yang dicuri tetap bisa dipakai berpoya-poya oleh keluarganya. Jadi, hukuman memiskinkan koÂruptor adalah langkah ideal. SeÂlain negara tidak “berdosa†keÂpada Tuhan, rasa keadilan pun lebih nyata.
Dan bahwa wacana hukuman memiskinkan koruptor ini sanÂgat ditakuti, dapat terlihat dari pernyataan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR beberapa waktu lalu. Sehubungan dengan RUU PenÂgampunan Nasional yang digodok Badan Legislasi DPR, Oktober 2015 lalu, antara lain dia menÂgatakan bahwa negara tidak boÂleh memiskinkan warga negara, sekalipun itu seorang koruptor (republika.co.id, 8 Oktober 2015).
Dan tampaknya, cita-cita rakyat Indonesia mengubur koÂrupsi tidak akan pernah terwuÂjud. Gejalanya sudah tampak jelas, di mana pihak legislatif sanÂgat bernafsu untuk merevisi UU KPK, yang di mata banyak pihak itu adalah upaya pelemahan terÂhadap KPK. Dan kalau niat “wakil parpol†ini tidak bisa diredam, maka seluruh rakyat IndoneÂsia sendiri pada dasarnya masa bodoh dengan korupsi.
sumber: satuharapan.com