JAKARTA, TODAY — Mahkamah KonÂstitusi (MK) menolak permohonan judicial review UU Perkawinan untuk membolehkan perkawinan beda agaÂma. Permohonan ini diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra.
“Menolak seluruh permohonan pemohon,†demikian putusan Majelis Hakim Konstitusi yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (18/6/2015).
Menurut hakim, bunyi pasal yang meÂnyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi.
Hakim berpendapat bahwa perkawiÂnan tidak boleh dilihat dari aspek forÂmal, tapi juga aspek spiritual dan sosial. Setelah itu, MK juga membacakan putuÂsan dalam judicial review UU yang sama namun beda yang dimohonkan yaitu tenÂtang batas minimal menikah bagi peremÂpuan. Pemohon meminta batas minimal perempuan dinaikkan dari 16 tahun menÂjadi 18 tahun. Tapi permohonan ini juga bernasib sama dengan perkawinan beda agama. “Mahkamah menilai dalil pemohon tidak beralasan, dan menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,†ujar Arief Hidayat.
Dalam pertimbangan, hakim meÂnyatakan bahwa kebutuhan batas usia khuÂsusnya bagi perempuan, disesuaikan denÂgan banyak aspek, seperti kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi. Tidak ada jaminan menaikkan batas usia akan mengurangi angka perceraian, kesehatan dan masalah sosial lainnya.
“Tapi ya sudahlah, hakim sudah memuÂtuskan dan nggak ada yang bisa saya lakukan terhadap itu. Judicial review UU Perkawinan resmi selesai,†kicau salah satu pemohon Rangga Sujud Widigda dalam akun twiteÂrnya @RanggaWidigda, Kamis (18/6/2015).
“Dari awal sebenarnya sudah berfirasat buruk pas tahu-tahu putusannya ngilang karena kalau putusan hasilnya baik nggak mungkin bisa kejadian begitu,†ujar Rangga.
Dalam persidangan di MK ini, hadir para tokoh agama untuk memberikan masuÂkan. Seperti perwakilan agama Hindu yang diwakili oleh Parisada Hindu Dharma dan mereka menetang pernikahan beda agama ini dilegalkan. Hal ini karena dalam ajaran Hindu setiap pasangan diharuskan menÂjalani sejumlah ritual yang mensyaratkan pasangan memeluk agama Hindu.
“Perkawinan beda agama menurut HinÂdu dinyatakan tidak bisa disahkan menurut wiwaha samskara sehingga bila dilakukan maka pasangan itu dianggap tidak sah dan selamanya dianggap zina. Sebagai konÂsekuensinya dianggap batal dan tidak dapat dicatat administrasi di Dukcapil,†ucap Ketua Komite Parisada, I Nengah Dana.
Perbolehkan Pernikahan Dini
Selain membahas soal pernikahan beda agama, MK juga membahas soal pernikahan dini atau di bawah umur. Pembahasan ini diÂlakukan mengingat, tidak jarang perempuan dinikahkan sebelum usia 16 tahun karena hamil duluan, meski bertentangan dengan UU Perkawinan. Tapi perkawinan itu tetap sah dengan syarat harus meminta persetuÂjuan kepada pejabat berwenang terkait.
“Mahkamah berpendapat bahwa frase penyimpangan a quo merupakan bentuk pengecualian yang diperbolehkan oleh huÂkum dan ketentuan a quo memang diperluÂkan sebagai ‘pintu darurat’ apabila terdapat hal-hal yang bersifat memaksa atas perminÂtaan orang tua atau wali. Penyimpangan tersebut diperbolehkan berdasarkan disÂpensasi pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk,†putus majelis hakim konstitusi yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2015).
‘Pintu darurat’ itu menjadi jalan keluar apabila dalam kenyataannya ada peremÂpuan harus segera menikah karena berÂbagai alasan. Sehingga penyimpangan ini bukanlah perbuatan yang melanggar hukum sepanjang mendapat persetujuan dari pejaÂbat berwenang. “Dengan dinaikkannya usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun tidak ada jaminan akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permaÂsalahan kesehatan maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Menurut MK beragam masalah tersebut merupakan maÂsalah konkrit yang terjadi tidak murni diseÂbabkan dari aspek usia semata,†ungkap MK.
Menurut MK, perubahan batasan usia perkawinan bagi perempuan haruslah diÂlakukan oleh DPR. Selain itu, di beberapa negara ada pula yang menentukan batas minimal perkawinan yaitu 17 tahun, 19 taÂhun maupun 20 tahun. “Jika MK membatasi batasan usia minimal, MK malah membatasi adanya upaya kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaÂranya sesuai dengan perkembangan peradaÂban dari setiap masa atau generasi,†ujarnya.
Atas dasar di atas, MK berketetapan UU Perkawinan tentang syarat minimal peremÂpuan menikah berusia 16 tahun adalah sah dan konstitusional. Dalam putusan ini, haÂkim konstitusi Maria Farida Indrati memilih berbeda pendapat dan setuju jika peremÂpuan minimal menikah di usia 18 tahun.
“Untuk tidak memperpanjang ketidaÂkpastian hukum yang berlaku selama ini saya berpendapat bahwa permohonan para pemohon agar frasa umur 16 tahun dalam Pasal 7 UU Perkawinan adalah konÂstitusional jika dimaknai umur 18 tahun, adalah beralasan menurut hukum,†kata Maria dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (18/6/2015).
Maria menyatakan batas minimal meruÂpakan open legal policy yang akan dibutuhÂkan proses legislative review yang cukup panjang. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan putusan MK untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang berÂdampak pada perubahan penyesuaian UU Perkawinan dan juga akan berdampak pada upaya perubahan budaya dan tradisi perniÂkahan anak yang berlaku dalam masyarakat. “Perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi,†ujar Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu.
(Yuska Apitya Aji)