JAKARTA, TODAY — Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menolak pasal kretek dimasukÂkan dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kebudayaan. Mereka mengganggap Badan Legislasi (Baleg) DPR telah meÂnyelundupkan pasal dan telah melakukan pembodohan.
“Usaha menyelundupkan pasal rokok kretek sebagai warisan kebudayaan yang harus dilindungi dalam RUU Kebudayaan yang sudah diÂsetujui Baleg DPR adalah nyata-nyata pemÂbodohan terhaÂdap masyarakat, karena hanya akan membiarkan genÂerasi muda bangsa sebagai sasaran utaÂma pasar industri rokok,†tegas Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri PP MuÂhammadiyah Sudibyo Markus dalam ketÂerangan tertulis, Minggu (27/9/2015).
Dalam pasal 37 di RUU Kebudayaan, kretek tradisional disebut sebagai sejarah dan warisan budaya yang membutuhkan penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindÂungan. Penjelasan lebih lengkapnya dijabarÂkan pasal 49.
Menurut Sudibyo, penyebutan kretek harus dimaknai sebagai satu kesatuan antara tembakau sebagai bahan baku pokok rokok kretek, dan cengkeh sebagai bahan tambaÂhan. Sehingga penyebutan kretek tak bisa dipisahkan dari tembakau sebagai bahan pokoknya.
Sementara penyebutan cengkeh saja sebagai campuran rokok kretek tanpa meÂnyebut tembakau sebagai bahan utamanya, sama sekali tidak memberikan makna dan bobot sebagai warisan kebudayaan. “WalauÂpun cengkeh secara historis dikenal sebagai salah satu rempah-rempah andalan NusanÂtara yang menarik para penjajah datang unÂtuk mengeksploitasi Nusantara,†lanjutnya.
Dalam ilmu pengetahuan, daun temÂbakau memiliki klasifikasi Kingdom: planÂtae (tumbuhan), Subkingdom tracheobiota (tumbuhan berpembuluh), Super divisi: spermatophyte (menghasilkan biji), Divisi: magnoliophyta (tumbuhan berbunga), KeÂlas: magnoliopsida (berkeping dua /dikoÂtil), Sub-Kelas: asteridae, Ordo: solanales, Famili: solanaceae (suku terung-terungan), Genus: nicotiana, dan Species: nicotiana tabaccum L. “Sehingga sejak awal nama species nicotiana tabacum jelas dipahami bahwa daun tembakau mengandung nikon yang dikenal sebagai zat adiktif yang bersiÂfat merusak mental dan memberikan efek ketergantungan,†papar mantan ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Rokok kretek sama sekali tak bisa diseÂbut sebagai warisan budaya karena dua hal. Pertama, tembakau sebagai bahan baku utama rokok kretek adalah zat adiktif yang sangat berbahaya, sehingga tak layak untuk dilestarikan, karena hanya akan menimbulÂkan kerusakan pada generasi muda bangsa.
Kedua, bangsa Indonesia mengenal bahÂwa tanaman tembakau yang semula dibudiÂdayakan oleh suku-suku bangsa Indian di Amerika dan Amerika Latin, diperkenalkan ke bumi Nusantara oleh penjajah Belanda, untuk selanjutnya dijadikan komoditas taÂnam paksa (kultur stelsel) oleh Gubernur Jenderal van den Bosch (1830). “Bangsa InÂdonesia kini tidak saja berada dalam darurat nasional narkoba, tapi sekaligus juga dalam darurat nasional ancaman minuman keras dan ancaman bahaya rokok, mengingat produksi rokok nasional sebesar 360 miliar batang untuk 240 juta penduduk,†ujarnya.
Sehingga sangatlah tidak layak dan tiÂdak sepantasnya bilamana rokok kretek yang sangat berbahaya karena kandungan zat adiktifnya, dan tembakau sebagai komoÂditas tanam paksa warisan kolonial Hindia Belanda tersebut akan dipaksakan sebagai warisan kebudayaan bangsa. “Tidak sehaÂrusnya kepentingan petani tembakau diadu dengan kepentingan kesehatan. Menjadi tugas negara dan Pemerintah untuk melakÂsanakan harmonisasi antara kepentingan petani tembakau dengan kesehatan,†terang Sudibyo.
“Harmonisasi itu atas dasar peraturan perundang-undangan dan dasar-dasar yang legal, bukan atas dasar kepentingan tersemÂbunyi dunia industri,†tegasnya.
Ketentuan bahwa kretek masuk dalam sejarah dan warisan budaya tercantum dalam pasal 37 RUU Kebudayaan. Di pasal tersebut selain kretek, yang termasuk dalam sejarah dan warisan budaya adalah: bahasa dan aksara daerah; tradisi lisan; kepercayÂaan lokal; sejarah, arsip, naskah kuno, dan prasasti; cagar budaya; upacara tradisional; kesenian tradisional; kuliner tradisional; obat-obatan dan pengobatan tradisional; busana tradisional; kretek tradisional; olahÂraga tradisional; dan permainan tradisional.
Dalam pasal 37 di RUU Kebudayaan, kretek tradisional disebut sebagai sejaÂrah dan warisan budaya yang membutuhÂkan penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan. Penjelasan lebih lengkap dijabarkan di pasal 49. Berikut bunyinya:Penghargaan, pengakuan, dan/atau pelindÂungan Sejarah dan Warisan Budaya melalui kretek tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf l diwujudkan dengan: