MUSLIM kagetan dan nyegoro sebenarnya dapat saling melengkapi. Ketika kagetan membuahkan course of action berdasarkan keilmuan yang nyegoro, maka hasilnya efektif dalam menyeragamkan sikap dalam mencerahkan umat Muslim saat maraknya kemunculan aliran yang mengatasnamakan Islam, padahal dinilai kontradiktif dengan teologi (akidah) Islam.
Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Pengasuh kolom Boarding Gate di situs berita penerbangan
www.runway-aviation.com
Nyegoro ( Jawa) sendÂiri secara etimologi adalah seluas lauÂtan. Diharapkan, khasanah keilmuan “seluas lautan†ini membuat seorang Muslim tidak mudah panik. Baik tujuannya memang, namun sepintas penyebutan Nyegoro secara tidak langsung memberi kesan bahwa Muslim yang responsif dan sensitif adalah mereka yang sempit ilmunya.
Fight or Flight
Elemen kejut telah menjadi penentu kemenangan sejumlah peperangan, mulai dari jatuhnya Paris ke tangan Nazi dan seranÂgan Jepang di Pearl Harbor.
Elemen kejut ini juga bagian penting bagi kesigapan para penerbang tempur dalam menÂjaga wilayah kedaulatan sebuah negara. Masuknya pesawat asing tanpa izin ke wilayahnya secara tiba-tiba dan dapat terjadi kapan saja menuntut penerbang tempur harus responsif dalam scenario seperti di atas. Namun tentunya tidak serta merta menjadikan mereka adalah pilot kagetan (?)
Demikian pula pada tubuh manusia. Respon “kaget†yang sering terinterpretasi melalui demam adalah awal dari meÂkanisme pertahanan dan perÂlawanan terhadap segala sesuatu yang mengancam tubuh. Tubuh kagetan ini justru mengindikasiÂkan sehatnya mekanisme pertahÂanan tubuh.
Selain itu, “keterkejutan†warga dunia atas merebaknya viÂrus Zika membuat World Health Organization menetapkan status waspadaan tahap “extremely highâ€. Status kewaspadaan ini membuahkan sejumlah rekoÂmendasi. Di antaranya adalah dengan mengeluarkan anjuran agar mengenakan lengan panÂjang, pendingin ruangan, dan menutup jendela.
Keadaan genting dan terdeÂsak, yang biasanya diawali denÂgan sensasi kaget, memicu reaksi psikologis fight or flight, yakni melawan ancaman atau berpalÂing darinya. Mekanisme ini sanÂgat berguna bagi keberlangsunÂgan hidup. Kaget yang kita ingin hindarkan adalah ketika berujung pada reaksi anarkis atau bahkan apatis.
Jalan Tengah
Kaget sebagai respon awal dalam menyikapi “ketidaknormaÂlan†bukanlah sepenuhnya cela jika diikuti oleh course of action untuk mencegah potensi ancaÂman tersebut menjadi nyata atau membahayakan. Sehingga hal ini tidak hanya positif melainkan juga alamiah.
Seorang Muslim yang ideal memposisikan akidah sebagai sesuatu yang teramat berharÂga melebihi apapun, sehingga mendesak untuk dibentengi dari penyusup yang berasal dari luar maupun dari dalam jika terbukti berseberangan dengan kebenaÂran absolut dalam Al Quran dan ajaran Nabi. Bahkan kecemburuÂan (ghirah) terhadap potensi seÂgala bentuk pelecehan agama ini telah diterima oleh syariah sebÂagai salah satu ukuran keimanan seorang Muslim.
Memang harus diakui, keÂtenangan di saat potensi anÂcaman terdeteksi dalam jangÂkauan indera ketika sedanf menerobos ring pertahanan bisa berarti dalamnya ilmu dan keariÂfan. Ketenangan seperti ini sanÂgat dibutuhkan dalam keadaan genting agar dapat berpikir denÂgan jernih.
Namun jika nyegoro dimakÂnai afirmatif terhadap dugaan penyimpangandan potensi ancaÂman terhadap akidah, maka ini jelas menyalahi kritera padanan Nyegoro dalam Al Quran, yakni Ulul Albab, yakni mereka yang berakal, berpikir, dan mengamÂbil pelajaran termasuk peristiwa umat terdahulu.
Mempermasalahkan istilah Muslim kagetan dan nyegoro buÂkanlah prioritas teratas umat. Bahkan, berlarutnya perbedaan persepsi ini akan melemahkan umat Muslim dan tidak mungkin justru membuat lebih ruwet.
Maka jalan tengahnya, mana saja di antara kedua golongan tersebut yang paling sigap dan laÂpang untuk rujuk dan menerima kebenaran, itulah yang terbaik.
Kebenaran Absolut
Tentunya yang dimaksud kebenaran di sini harus menÂgacu pada kebenaran yang telah diterima oleh umat Muslim berÂdasarkan teks primer (Al Quran) dan penjelasan Nabi, bukan yang bersifat relatif.
Jika definisi kebenaran tidak disepakati seperti itu, maka perÂbedaan fundamen ini akan mengÂhentikan usaha rekonsiliasi istilah Muslim kagetan dan Nyegoro.
Imam Syafi’i dalam syairnya pun mengisyaratkan bahwa perdebatan dengan satu orang yang tidak memiliki landasan ilmu, jauh lebih sulit dimenangÂkan ketimbang berdebat dengan 10 orang yang memahami lanÂdasan ilmu.
Tidak harus berdebat meÂmang, jika mungkin dihindari sedapatnya. Hanya saja, diskusi ilmiah tanpa landasan berpikir yang sama akan kontra produktif, setidaknya dalam permasalahan teologi.
Dalam ranah syariah, tidaÂklah disebut ilmiyah jika tidak mengacu kepada teks kitab suci, hadis, dan konsensus cendekiÂawan Muslim lintas generasi yang berpegang pada kedua acuan ini.
Sebab, tidak mungkin meÂmisahkan ideologi Islam (akidah) dari aspek-aspek cabang ketika hendak melihat secara utuh gamÂbaran kehidupan umat Muslim.
Karena ideologi adalah penÂdorong utama perilaku umat seÂjak generasi pertama Islam, baik itu aspek ekonomi, budaya, sasÂtra, militer, politik dan keilmuan.
Jika telaah dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan faktor pendorong ini, maka hasil sebuah analisa bukan saja ahistoÂris, namun timpang dan jauh dari objektifitas (DR. Daud Rasyid, M.A – Tahqiq Mawaqif al-ShahaÂbah fi al-Fitnah).
Selain itu, berpegang pada ketiga hal ini menutup intervensi fanatisme golongan serta segala bentuk distorsi yang kerap munÂcul dalam wajah “kritik historis†atau “telaah ilmiahâ€, padahal sejatinya adalah analisa berbasis opini yang jutsru berarti “krisis ilmiahâ€.
Sejarah (Terus) Berulang
Jika dicermati, sebagian besar peristiwa besar yang terjadi baik itu di Timur Tengah atau di TaÂnah Air adalah pengulangan-penÂgulangan dari pelbagai peristiwa umat terhadulu. Terlihat jelas misalnya, korelasi antara fenomÂena LGBT dan kisah kota Bab Edh Dhra (Sodom) di dalam Al Quran.
Contoh lainnya adalah benaÂng merah dari munculnya rentÂetan klaim turunnya wahyu meÂlalui Malaikat Jibril dengan klaim Musailamah Sang Pendusta (al kadzab) di zaman Nabi. Singkat cerita, Nabi tidak hanya menolak “Si Pendusta†ini, namun berÂbuntut peperangan di masa kepeÂmimpinan sahabat Abu Bakar. Dengan mengerti faktor ideologi, peperangan tersebut seharusnya tidak menimbulkankesan radikal atau ekstrem, namun mekanisme defensif yang alamiah.
Pun halnya dengan penyimÂpangan golongan-golongan yang secara tidak ilmiyah menggugat kemanan dan keabsahan kepeÂmimpinan Khulafa Ar Rasyidin, baik itu salah satunya atau seÂluruhnya. Padahal tersebarnya Islam hingga hari ini tidak lepas dari kontribusi mereka.
Terlebih, kelurusan ideologi (akidah) Khulafa Ar Rasyidin telah dijamin oleh teks-teks Al Quran dan hadis, serta tercatat rapih dengan keakuratan mendekati hadis – menggunakan metodologi isnad, yakni memilah informasi melalui analisa para penyampai berita (perawi) dan teks informasi tersebut (matan).
Di antara ahli sejarah terbaik dalam khasanah keilmuan Islam yang menaruh perhatian terhaÂdap kepemimpinan Khulafa Ar Rasyidin adalah Imam Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Asakir, Ibnu HiÂsyam atau Ibnu Khaldun.
Kaget atau tidak bukanlah perkara penting. Keawasan, keÂtenangan, dan kemampuan deÂteksi akan potensi penyimpangan akidah adalah karakter yang diÂharapkan dari kompromi Muslim kagetan dengan nyegoro ini.
Seorang Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah ketimbang Mu’min yang lemah. Tentu buÂkan hanya diukur oleh timbangan fisik saja, melainkan kokohnya iman, daya analisa serta kemaÂtangnya ilmu – meskipun secara lahiriah ia lemah dan “mudah kagetâ€.
Sebaliknya, meski tampak tegÂuh secara lahiriah, namun kering dari semangat ber-amar ma’ruf nahi munkar serta redupnya melakukan telaah ilmiyah dan historis, maka ini sesungguhnya adalah salah satu bentuk kelemaÂhan – meski terlihat bak air yang tenang di samudera. (*)