Oleh: FIDELIS REGI WATON
alumnus Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman

Penyebarluasan aura ketakutan dan kema­tian (thanatos) oleh Al-Qaeda besutan Osama bin Laden disam­but hangat misalnya oleh Jemaah Islamiah, Boko Haram dan ISIS. Celakanya kelompok yang biadab dan bringas seperti ISIS bukan saja dikecam, dikutuk dan di­perangi, melainkan didukung. Kiat pemerintah untuk melar­ang ideologi ISIS bukannya diso­kong, tetapi diprotes.

Hakikat manusia sebagai insan bernurani dan berbudi tak sang­gup memahami ketololan nan fatal dimaksud. Filsuf dan sosiolog Karl Raimund Popper mungkin tidak begitu terkejut dengan muncul­nya rentetan tragedi berdarah dan fenomen pihak-pihak yang men­dukung pelestarian kekerasan dan kejahatan. Tulisan monumen­talnya The Open Society and Its Enemies (Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya,1945) menu­jum presensi kelompok-kelompok yang mengagungkan kebiadaban melawan masyarakat terbuka, be­bas dan demokratis.

Slogan „masyarakat terbuka“ telah mengonstruksi citra diri aneka negara demokrasi mod­ern dan kalangan yang bergaya inklusif. Kemampuan dan kem­auan untuk berubah, kebebasan berpendapat dan berdiskusi, apresiasi keragaman, wacana demokrasi dan tamatnya dogma merupakan tonggak penyanggah masyarakat terbuka.

Dari segi konteks sejarah, karya Popper dipahat sebagai manifesto penting anti-totali­tarianisme yang termanifestasi dalam wajah fasisme dan komu­nisme. Kini totalitarianisme de facto bagaikan singa ompong dan kehilangan momok. Meskipun begitu Francis Fukuyama terlalu serta-merta memeterai babak akhir sejarah (the End of History) pasca Perang Dingin sekaligus se­cara sepihak memproklamasikan kemenangan ideologi dan corak hidup demokrasi liberal dan ter­buka, ketika komunisme sebagai antonim keterbukaan didepak dan dibatasi ruang geraknya.

Samuel Hutington dengan teori benturan peradaban (clash of Civilizations) lebih realistis ber­guru dan berjalan pada gagasan Popper. Kuman paham totalistis dan elan masyarakat tertutup les­tari dan menjalar dalam pelbagai gerakan fundamentalis-teroristis.

Popper tidak mengalami am­bang abad ke-21, namun prediksi bernasnya sangat relevan: Konflik antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (yang kini dipersonifikasi oleh kaum funda­mentalis-teroris yang berbendera Islam) akrab mengiringi kita dan tidak diketahui kapan kita bisa keluar dari kemelut menahun ini.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Rongrongan musuh masyara­kat terbuka bukan hanya berpentas di atas panggung terorisme mondi­al. Para serdadu masyarakat tertu­tup aktif berjuang pada lajur legal dan ilegal di nusantara yang sedang menghirup tabung oksigen kebe­basan. Otonomi khusus di Aceh dengan pemberlakuan hukum Sya­riah yang bercorak arkais dan anti-kebebasan menjadi mimpi buruk misalnya bagi kaum Hawa.

Yang dianggap menyebarkan sekte, aliran sesat dan ajaran at­eis digaruk. Kebebasan beragama pihak lain dianulir. Tempat ibadat dilarang dibangun, disegel, di­bongkar dan dibakar. Gaya hidup yang bebas, glamour dan terbuka di metropolitan dengan tempat minum dan disko digempur oleh Forum Pembela Islam.

Wilayah privat yang harus di­ayomi institusi demokrasi malah secara semena-mena diganggu dan dikontaminasi (cara perpak­aian, pola konsumsi, apa yang ditonton dan sebagainya). Tak sungkan-sungkan kriminalitas dan main hakim sendiri dijalank­an demi membela Yang Ilahi, aga­ma dan dogmatismenya.

Kembali ke Popper. Pemikir anti-dogmatisme yang berpen­didikan sosialis dan kemudian beralih ke haluan humanis-liberal merangkum kekisruan kemanu­siaan aktual dalam tajuk: „Kita memikul beban untuk itu, karena kita manusiawi.“ Konklusi ini ten­tu bukan menjustifikasi fatalisme, melainkan menantang intensi­tas tekad dan aksi kita. Popper meninggalkan wasiat bahwa ma­syarakat terbuka bukanlah hadiah yang jatuh dari surga. Ia harus se­lalu diperjuangkan, dikonservasi, ditransformasi dan dikembang­kan bagaikan hidup itu sendiri.

Musuh masyarakat terbuka ti­dak boleh menang atau ditolerir dan dibiarkan merajalela. Para warga masyarakat terbuka yang cinta akan kehidupan, tidak bo­leh termakan nuansa ketakutan yang disebarkan para teroris yang mengagung-agungkan kematian dan menyebarluaskan gagasan kemartiran siluman sebagai jalan satu arah menuju surga.

Pencinta masyarakat terbu­ka harus menghadirkan politik yang kuat dan demokratis serta aparat yang loyal, berani, tidak memihak dan tidak korup. Asas negara hukum harus ditenggak­kan secara adil dan konsekuen. Kebebasan, harkat dan martabat manusia tak bisa dinegosiasi.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Tugas ini bukanlah mission imposible, jika setiap warga pertama-tama sepakat untuk merenungkan dan menajamkan kembali pisau hati dan otak yang secara sahih dan fair membeda­kan yang baik dan jahat. Dikotomi simpel ini berbasis kemanusiaan dan hendaknya tidak boleh di­jungkirbalikkan oleh pandangan manapun termasuk yang menga­tasnamakan Tuhan dan agama.

Segalanya harus melayani kemanusiaan dan setiap kita ber­tugas untuk memberantas segala yang tidak berperikemanusiaan. Dalam konteks ini fenomen silent majority (mayoritas bisu) tak lain dari virus yang berbahaya. Saya teringat di Jerman, jika terjadi demonstrasi ribuan pihak popu­listis Neo-Nazi atau Pegida, maka hampir selalu muncul demonstra­si tandingan yang menentang ger­akan dimaksud yang berjumlah dua atau tiga kali lipat peserta. Ke­beranian sipil (civil courage) dan inisiatif warga mesti dihidupkan untuk menghadang akselerasi dan penetrasi para nabi dan an­eka murid masyarakat tertutup.

Mari kita biarkan Popper sekali lagi bersabda: Kita tidak pernah bisa kembali ke masyara­kat tertutup yang konon tak ber­salah dan elok. Impian kita akan surga tidak dapat direalisasikan di dunia. Setiap upaya untuk men­ciptakan surga di dunia ini, hanya melahirkan neraka. Jika kita mu­lai dengan penindasan akal budi dan kebenaran, maka kita harus berakhir dengan penghancuran yang paling keras dan brutal dari segalanya yakni kemanusiaan. Ti­dak ada jalan kembali ke keadaan alam yang katanya harmonis. Se­andainya kita kembali, tentu kita harus melewati semua jalan – kita harus menjadi binatang. Oleh karena itu jika kita ingin tetap se­bagai manusia, maka hanya ada satu jalan yakni jalan menuju ma­syarakat terbuka.

Masyarakat terbuka dalam jargon Popper bukanlah sekadar jalan, proyek dan tujuan, melain­kan eksistensi dan identitas manu­sia sebagai manusia. Hanya lewat afirmasi dan vitalisasi masyarakat terbuka, kita sanggup mewujud­kan impian Seneca: “Homo res sacra homini” (Manusia itu suci bagi sesamanya).

sumber: satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================