KARYA grafis Tisna Sanjaya berjudul ‘Pesta Pencuri’ sesungguhnya mengingatkan kita terhadap ruang hidup manusia di alam demokrasi. Dalam pembagian ruang, ada banyak figur, perwujudan karakter yang disergap intensitas cahaya cenderung gelap dan monokromatik. Situasi ini, mirip sebuah fenomena musyawarah yang kabur dan janggal.
Oleh: RIFKY SETIADI
[email protected]
Karya grafis Tisna SanÂjaya berjudul ‘Pesta Pencuri’ sesungguhnya mengingatkan kita terÂhadap ruang hidup manusia di alam demokrasi. Dalam pemÂbagian ruang, ada banyak figur, perwujudan karakter yang disÂergap intensitas cahaya cendÂerung gelap dan monokromaÂtik. Situasi ini, mirip sebuah fenomena musyawarah yang kabur dan janggal.
Musyawarah Dewan KeseÂnian dan Kebudayaan Kota BoÂgor (DK3B) baru saja berlangÂsung pada Sabtu (13/06/2015), lalu. Bukan tidak mungkin jika musyawarah ini disebut-sebut terlalu dipaksakan, baik proses maupun hasilnya. Buktinya, ada banyak pihak yang konon menolak perhelatan kelompok manusia yang (semestinya) saÂdar nilai, sadar proses, sadar budaya dan lebih menjunjung nilai demokrasi ini. Mereka adalah seniman dan budayÂawan. Tentu saja, predikat itu dianggap lebih mampu dan sensitif untuk menimbang dan menilai banyak hal, berdiri di garis kebenaran, membela sisi keadilan, tidak mendzalimi antar pihak dan bukan semaÂta-mata berorientasi kepada kekuasaan. Itu sama betul artiÂnya bahwa musyawarah para seniman dan budayawan seÂharusnya adalah musyawarah yang paling menjunjung tinggi nilai demokrasi. Bahkan, bisa menjadi contoh bagi para poliÂtisi, bukan bersikap secara politis.
Cermin yang disodorkan Tisna Sanjaya dalam karyanya itu memperlihatkan berbagai ruang dalam sebuah gambaran pesta. Mungkinkah ini pesta demokrasi? Ruang pertama bisa dikatakan ruang yang palÂing dekat dengan pengamat, ruang kedua ruang yang beraÂda pada sisi kanan pengamat, ruang ketiga ruang yang beÂrada pada sisi kiri pengamat, ruang keempat adalah ruang yang berada jauh pada bagian titik lenyap, dan ruang kelima adalah ruang tengah atau ruÂang yang berada pada posisi sentral pada karya.
Di satu ruang, nampak beÂberapa figur yang ditampilkan dengan karakter kepala lonÂjong, mata membelalak besar, dan terdapat antena menjulur dari kepalanya ada yang satu antena ada yang dua, ada yang dari ubun-ubun dan ada yang dari hidung. Semua figur yang berada pada ruang ini berpose menghadap pengamat atau tiÂdak membelakangi pengamat.
Pada ruang kedua dibuat menyerupai panggung petunjukan,nampak disana sesosok figur dengan perÂwakan mulut melebar,baju berÂgaris vertikal, matanya bulat, dan rambut yang ditata berdiri tegak. Lagi-lagi figur ini menÂgahadap ke pengamat atau tiÂdak membelakangi pengamat. Selain figur ini juga terdapat sebuah meja yang di atasnya terdapat semacam botol (tidak jelas). Figur ini berpose terseÂnyum dengan duduk di sampÂing meja yang di tutup dengan kain kotak-kotak hitam dan putih.Sementara di ruang lain nampak beberapa tokoh atau figur yang beraneka ragam baik dari segi bentuk, ukuran, maupun warna dan pose masÂing-masing. Di ruang ini terpaÂjang sebuah meja berukuran besar yang dikelilingi oleh 4 toÂkoh yang memiliki perawakan tubuh besar.
Pembagian ruang yang diÂgunakan Tisna dengan sistem sekat antar ruang ini memÂberikan kesan lebih tertutup bahwa ada pemisahan fungsi dan peran dari masing-masing ruang yang berbeda. PerwujuÂdan karakter yang cenderung sederhana dengan warna apa adanya mengkaburkan esensi warna dalam kajian pesan meÂlalui warna, sehingga dalam karya ini seakan warna hanÂya digunakan sebagai unsur komplementer saja disamping karakter dan pembagian ruÂang sebagai unsur pokoknya.
Peletakan komponen memberi kesan banyaknya toÂkoh yang berjubel yang menÂdinamiskan suasana sehingga pada ruangan tengah nampak sekali adanya aktivitas kehiduÂpan dari pada ruang-ruang yang lain. Hal ini sangat berÂbeda halnya dengan kondisi pada ruang kedua yang hanya di isi oleh seorang tokoh saja, mekipun demikian pada ruang ini disentuh dengan sedikit empasis berupa cahaya pada bagian belakang dan meja berÂtutup kain kotak-kotak. Selain itu terdapat peletakan figur-figur yang seakan disesuaikan dengan peran yang diemban, seperti peletakan figur mirip kucing-singa pada ruang keÂempat yang notobene sebagai ruang khusus yang mengedeÂpankan unsur kekuasaannya.
Intensitas cahaya tidak begitu mendapat perhatian pada karya ini, halnya kesan gelap yang muncul pada karya ini, memberikan nuansa yang menggambarkan suasana yang tidak terang benderang, samar, tidak jujur dan ada sesÂuatu yang belum tersingkap.
Menangkap Makna Karya
Ruang adalah suatu benÂtuk pembidangan dari suatu hal yang seharusnya lebih luas dan umum. Dengan adanya ruang, kebebasan dalam berÂbagai hal yang kekuasaannya berada di luar ruang akan tiÂdak dapat dicapai, kalaupun itu dapat maka sifatnya tidak mutlak. Tetapi manusia tidak akan kalah akal, yang mana bisa akal baik maupun akal buruk, sebagaimana sebuah meja yang ditutupi oleh taplak warna hitam dan putih hitam bersekat dengan putih dan sebaliknya, tetapi keduanya masih ada bahkan sama kuatÂnya. Jika tidak bisa mengambil kekuasaan untuk menggapai kebebasan maka biarkanlah kebebasan itu sendiri yang datang untuk memberi kekuaÂsaan.
Jika ruang adalah wujud pengekangan kebebasan, maka pada karya ini ruang adalah kesebalikannya yaitu ruang adalah pencipta kebebasan. Ruang ini bisa diidentikan denÂgan kondisi ruang yang ada dalam sebuah musyawarah, yang dibagi dalam berbagai piÂhak, mungkin fraksi, mungkin juga pembidangan yang masÂing-masing fraksi memiliki keÂwenagan sendiri-sendiri meskiÂpun demikian kadang mereka bisa overlapping.
Disnilah ruang bukanlah alasan atau alat untuk pemÂberian batasan-batasan untuk menghindari kebebasan. BeÂgitu halnya dengan peraturan, peraturan itu ditujukan untuk memberikan batasan-batasan tertentu pada bidang tertenÂtu pula yang tidak menutup kemungkinan peraturan itu dilanggar dengan berbagai kepentingan dan alasan di dalamnya baik kepentingan yang sifatnya individu mauÂpun kepentingan yang sifatnya umum tapi ujungnya individu.
Sekuat apapun peraturan, sehebat apapun aparat birokraÂsi, yang namanya peraturan adalah peraturan yang tidak punya tangan sendiri yang haÂrus digerakkan oleh manusia. Sedang manusia sendiri adalah pembuatnya, maka peraturan itu dilanggar sebagaimana sekat-sekat dalam lukisan Tisna tersebut masih mengÂgelora kesan bejatnya dengan judul fenomenalnya “Pesta Pencuriâ€. Apa yang dicuri apa? Bagaimana caranya? MiÂlik siapa? Bukankah ini ruang yang bersekat. Andaikata pesta kenapa meski ada sekat, pesta kan identik dengan senang-senang, kalau bersekat apakah senang namanya. Jawabannya adalah senang tak kenal sekat pesta tak kenal tempat, pencuÂrian tak kenal sanak dekat, amÂbisi juga tak kenal demokrasi, semuanya bisa dibabat.
Musyawarah Dewan
Jika tidak ingin ditolak, maÂsyarakat seni bisa mengamati apakah musyawarah dewan yang berjalan saat itu sesuai aturan dasar dan memenuhi unsur musyawarah? Misalnya, bagaimana Laporan PertangÂgungjawaban Pengurus Lama, sudahkah diterima dan disyahÂkan? Sudahkah dievaluasi? Juga agenda lainnya, semisal tata cara pemilihan ketua baru, juga verifikasi peserta yang memiliki hak pilih, benarkah sudah memenuhi ketentuan Anggaran Dasar dan AnggaÂran Rumah Tangga? Benarkah dihadiri oleh seniman, budayÂawan, sanggar atau ada LSM yang bisa turut dalam musyÂawarah itu? Benarkah ada istilah†Tim Sukses†untuk setiap calon dalam penyelengÂgaraan musyawarah tersebut? Bagaimana sistemnya? Jika salah satu dari unsur itu belum tercapai, tak ada salahnya jika ada pihak yang menolak hasil dan proses musyawarah terseÂbut.
Banyak pihak yang saat itu tidak bisa hadir, karena musyÂawarah dilakukan di tengah-tengah riuh rendah Hari Jadi Bogor ke 533, yaitu moment ketika para seniman dan buÂdayawan tidak bisa berfokus pada kesempatan tersebut. Atau, mungkin saja ada yang diabaikan sehingga tidak mendapat undangan dan pemÂberitahuan.
Tidak usah kaget dan guÂgup. Fenomena ini, tidak hanya terjadi di Bogor. SejumÂlah seniman yang tergabung dalam seniman Taman Sari Banda Aceh juga pernah menoÂlak pelaksanaan Musyawarah Besar Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB), 21 Desember 2013. Mereka menilai musyÂawarah Dewan Kesenian cacat hukum karena pelaksanaanÂnya dilakukan oleh pengurus lama yang telah vakum selama lima tahun. Sementara di BoÂgor, lembaga Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor sudah berdiri sejak 8 Agustus 2008 dan baru melangsungÂkan musyawarah, tujuh tahun kemudian.
Seniman Aceh mengirimÂkan petisi kepada PemerinÂtah Kota Banda Aceh untuk mengambil alih musyawarah tersebut dengan melaksanakan musyawarah luar biasa sehingÂga dapat diterima oleh seluruh seniman di Ibu Kota Provinsi Aceh itu. Tentu kita bisa belaÂjar. Jika di dalam penjelasan musyawarah nanti ada yang perlu mereka ketuk, maka ketuklah hati nurani