160717015334_turkey_demos_640x360_reuters_nocreditISLAM adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, jang mempujai sipat-sipat sendiri pula. Islam tak usah ‘demokratis’ 100%, bukan pada otokrasi 100%, Islam itu……jah, Islam”. (M. Natsir, Kapita Selecta : 453). Ungkapan penggagas partai Masyumi ini adalah salah satu pemikiran dan keyakinannya saat menanggapi pujian Soekarno kepada Kemal Attaturk yang mengubah ideologi Islam di Turki menjadi negara demokrasi Barat.

Oleh: DR. AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

Turki modern yang berasas demokrasi dalam pandangan Natsir merupakan outlook Barat yang justru akan menjadikan ideologi Islam tersingkir dari per­adaban Turki. Buktinya di tan­gan besi Attaturk, saat itu Turki benar-benar menjadi negara sekuler dibawah hegemoni dan kendali Barat. Akibatnya, Turki tak lagi menjadi negara adidaya, bahkan Islam dihapus dari agama resmi negara. Wajar jika Erdogan mencoba mengembalikan nilai Is­lam – meski belum secara ideolo­gis -, sisa-sisa kaum kemalis mili­ter mencoba melakukan kudeta.

Kegagalan kudeta Turki (15/7/16) dalam pengamatan pen­ulis opini, utamanya disebabkan oleh gerakan rakyat yang mayori­tas mendukung perubahan yang dilakukan oleh Erdogan selama berkuasa di Turki saat ini. Fak­tor lain adalah telah tumbuhnya kembali kesadaran keberislaman masyarakat Turki, mengingat kejayaan Daulah Ustmani yang berideologi Islam belum hilang dari memori rakyat Turki. Jika in­gin mengetahui peninggalan ke­jayaan Daulah Islam, maka Turki adalah bukti paling dekat. Karena itu ketika lembaran-lembaran sejarah Turki Ustmani dibuka, maka akan cepat menumbuhkan kesadaran rakyat Turki. Kegaga­lan kudeta Turki juga akan mem­buka memori sejarah kejayaan Daulah Khilafah Ustmani di ka­langan kaum muslimin di negara lainnya.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Tidak bisa dipungkiri, fakta membuktikan bahwa Turki hari ini tumbuh sebagai negara adidaya baru yang ditandai den­gan loncatan pertumbuhan eko­nomi fantastis dengan perkapita 11.000 USD dan masuk negara G 10. Selain itu Erdogan juga men­dorong kehidupan Islami rakyat­nya dengan menghidupkan kem­bali pengajian-pengajian Islam, kajian-kajian al Qur’an tumbuh pesat, pengajian bahasa Arab di­hidupkan kembali, penggunaan jilbab di kalangan muslimah dis­emarakkan yang pada zaman sekulerisme Atturk dilarang, bahkan sains dan teknologi men­galami kemajuan pesat.

Dalam kondisi ini Erdogan di­anggap terlalu mengarah kepada Islamis oleh kalangan sekuler ter­utama militer. Meski harus diakui juga bahwa Erdogan juga meno­lak usulan penerapan konstitusi Islam, menghentikan penerbitan media massa mainstream, Erdo­gan juga tidak terlepas dari tudu­han-tuduhan korupsi bahkan ia juga menjalin kerja sama dengan Israel yang jelas-jelas banyak menzolimi kaum muslimin Pales­tina. Wajar jika kemudian ada pe­nilaian bahwa Erdogan juga tetap ingin mempertahankan negara demokrasi Turki dengan me­nyatakan dukungannya kepada kemalisme, bukan ingin negara Islam Turki. Secarade facto, Tur­ki hari ini masih sekuler.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Karena itu dalam perspe­ktif developmentalisme, Turki di tangan Erdogan adalah Turki yang memiliki semangat trans­formasi ke arah kehidupan yang lebih Islami dan semakin men­jauh dari kehidupan yang sekul­eristik. Kondisi inilah yang kemu­dian menjadikan Turki hari ini menjadi kiblat dunia Islam yang diharapkan mampu mengemba­likan kejayaan Islam. Kondisi ini jugalah yang telah menggerak­kan kaum Kemalis militer untuk melakukan kudeta agar Turki dalam kendali mereka untuk tetap mempertahankan sekul­erisme. Tidak dipungkiri bahwa kaum liberalis dan sekuleris di Turki masih signifikan jumlahn­ya. Namun dalam perspektif idealisme Islam, Erdogan tentu belum bisa memenuhi cita-cita peradaban Islam masa lalu yang menjadikan konstitusi Islam seb­agai dasar perundang-undangan negara sebagaimana diterapkan oleh Daulah Khilafah Ustmaniyah pada masa kejayaan Islam.

Penulis opini pernah menu­lis skripsi tentang pemikiran dakwah M Natsir. Kudeta Turki seolah mengingatkan kembali memori lama tentang pandan­gan Natsir tentang dinamika politik Turki. Dalam dinamika hubungan Islam dan negara yang berkembang di Turki, sejak awal Mohammad Natsir memberi­kan perhatian yang besar. Dalam pandangan Natsir, sebagaimana diungkapkan oleh HAMKA dalam kata sambutan buku kapita sele­kta M Natsir bahwa Islam tidak terpisah dengan negara.

============================================================
============================================================
============================================================