Oleh: LETJEN TNI (PURN) SOEDIBYO
Mantan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN)
Dalam perkembanganÂnya, muncul pemikiÂran bahwa BAKIN berperan sebagai peÂmikir strategi/think tank, sementara BAIS menjadi pelaksana teknis. Namun realitas menunjukkan silih bergantinya masalah operasional di lapanÂgan. Keterlibatan BAKIN dalam menangani ancaman didasarkan pada pertimbangan situasional. Salah satu contoh, dalam penanÂganan masalah Timor Timur. Ada semacam kesepakatan yang menÂgatur BAIS menangani kegiatan operasional di lapangan, semenÂtara BAKIN hanya memonitor perkembangannya. Namun keÂtika terjadi peristiwa Santa Cruz, kesepakatan itu tidak berlaku.
Buktinya, Presiden Soeharto selalu menanyakan perkembanÂgan kasus tersebut kepada Kepala BAKIN, selaku pimpinan komuniÂtas intelijen. Presiden mengangÂgap BAKIN harus mengetahui perkembangan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, walauÂpun tidak menanganinya secara langsung. Jadi, apabila ditanya mengenai prestasi selama menjaÂbat sebagai Kepala BAKIN, jawaÂbannya sedikit sulit, karena pada waktu itu terdapat dua organisasi intelijen yang powerful di InÂdonesia, yaitu BAKIN dan BAIS. Banyak peristiwa yang sulit diklaÂsifikasikan apakah itu merupakan prestasi BAKIN atau BAIS.
Selama bertugas di BAKIN banÂyak kesan yang sampai sekarang masih melekat. Kesan terdalam yang masih teringat adalah moÂmen dikala saya menghadap PresÂiden Soeharto untuk melaporkan situasi rutin bulanan di Cendana. Meskipun suasananya tidak terlaÂlu formil, saya dapat melaporkan masalah-masalah negara kepada Presiden RI. Itulah momen yang tidak pernah terlupakan.
Pernah ketika saya menjabat sebagai pimpinan intelligence community , saya harus meminta maaf kepada Presiden Soeharto dan Ibu Tien atas ketidaknyaÂmanan melakukan kunjungan ke sebuah museum Perang Dunia II di kota Dresden, Jerman, akibat adanya demonstrasi liar. Saya meÂminta maaf karena intelijen tidak dapat mendeteksi demonstrasi. Permintaan maaf saya ditanggapi santai oleh Presiden Soeharto. Malah Presiden Soeharto tertawa melihat tingkah laku para demonÂstran yang sangat menggelikan. Diantaranya, ada yang memukul ember, panci dan kaleng. BahÂkan, ada yang meloncat-loncat sambil berteriak-teriak mengejek rombongan Presiden. Presiden merespon laporan itu hanya dengan memberikan komentar di seputar kebiasaan budaya demonstrasi orang luar. Seperti itulah kesan yang tertangkap dalam memori saya. Bukan kesan yang selama ini sering digamÂbarkan banyak orang bahwa Pak Harto adalah seorang diktatur. Dalam pandangan saya Pak Harto adalah seorang demokrat.
Saat menjabat Kepala BAKIN, BAIS ABRI dipimpin oleh Jenderal LB Moerdani yang juga bertindak sebagai Panglima ABRI. Karena itÂulah, saya menjadi dekat dengan Jenderal LB Moerdani dan menÂgenal semua pejabat BAIS ABRI. Hubungan BAKIN-BAIS ABRI sanÂgat erat, termasuk adanya intelÂligence community, yang meruÂpakan forum koordinasi antar organisasi intelijen. Komunitas intelijen pada waktu itu dipimpin Kepala BAKIN.
Kekuatan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk surÂvive sudah sangat tinggi. KetahÂanan nasional kita sudah cukup tinggi. Namun kita tidak boleh berpuas diri. Bangsa Indonesia wajib terus berusaha agar kekuaÂtan dan kemampuan untuk surÂvive terus meningkat. Di masa Orde Baru, untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945, disusun Strategi Pembangunan Jangka Panjang, Strategi PemÂbangunan Jangka Sedang dan Program Tahunan. Arah dan saÂsaran pembangunan dituangkan dalam GBHN. Sayangnya, pola pikir pembangunan yang diruÂmuskan melalui GBHN ditiadaÂkan setelah reformasi. Banyak pihak berpendapat, GBHN sebÂagai dasar, pedoman dan arah pembangunan nasional tidaklah salah. Oleh sebab itu, banyak kaÂlangan menginginkan bangsa InÂdonesia membangun kekuatan dan kemampuannya untuk bisa tetap survive, melalui konsepsi sebagaimana GBHN. SayangÂnya, partai politik yang menjadi salah satu tiang demokrasi, tidak tampil sebagai corong kehendak rakyat. Tidak ada satu pun partai yang memiliki kejelasan sikap dalam merespon konsepsi pemÂbangunan nasional yang strateÂgik, seperti GBHN misalnya.
Akar permasalahan dalam kehidupan berbangsa adalah tiÂdak adanya falsafah dan konsepsi yang tegas untuk menentukan dasar, cara dan arah yang dituju dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, tidak ada paÂrameter yang digunakan sebagai kontrol dalam pembangunan nasional. Hal lain adalah belum terbangunnya sistem politik naÂsional yang kuat. Pengaruh kuat paham liberalisme telah menjaÂdikan segala gerak bangsa seolah-olah tanpa disiplin dan tanpa norma. Negara dan bangsa ini harus mempunyai ketegasan, bahwa NKRI harus hidup atas dasar UUD yang tidak berkarakter liberal. Bangsa Indonesia harus menyediakan waktu dan menyÂingsingkan lengan serta memeras pikiran untuk menyempurnakan kembali UUD RI, supaya benar-benar berwatak Pancasilais.
Sebagai organisasi yang mengandalkan daya pikir dan keterampilan para anggotanya, BIN harus terus mengasah dan mempertajam profesionalisme aparaturnya. Dengan mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), BIN mencoba mengakÂselerasi profesionalisme intelijen anggotanya. Ketika saya menjaÂbat sebagai Kepala BAKIN, rekrutÂmen anggota intelijen dilakukan secara tertutup dengan spotting. Sekarang lebih terbuka, salah saÂtunya dengan mendirikan STIN dan rekrutmen dari universitas umum.
Jika melihat tantangan saat ini dan ke depan, dibutuhkan profesionalisme intelijen dalam pelaksanaan fungsi-fungsi inteliÂjen. Intelijen harus profesional menyesuaikan lingkungan dan tantangan yang dihadapi. Jadi, profesionalisme mutlak diperluÂkan, sesuai dengan perkembangan jaman yang dihadapi. (*)