PEMERINTAH merencanankan pengurangan gas emisi kaca dengan cara mengurangi gas emisi CO2, methane (CH4), SOX, SO2 dan emisi lainnya sampai dengan 26 persen pada tahun 2020 tampak sulit terwujudkan. Justru deforestasi terus bertambah dan tidak bisa berkurang. Indonesia juga berkomitmen untuk mengurangi gas emisi kaca hingga 40 persen. Gas-gas tersebut meningkat karena banyaknya pembakaran lahan untuk kebun atau kebakaran secara alami.
Oleh: Bahagia, SP., MSc. S3 IPB
Peneliti, dan Dosen tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor
Tentu rencana itu akan menemukan jalan bunÂÂtu. Negeri kita kini berkabut lagi. Baru saja kabut asap pemÂÂbakaran hutan selesai tahun 2015 lalu, kini belum setahun sudah pula ada gejala itu kembali. MenuÂÂrut BNPB (2016), Satelit Modis dengan sensor Terra Aqua menÂÂdeteksi adanya kebakaran hutan dan lahan Sumatera. 59 titik paÂÂnas (hotspot) terpantau di SuÂÂmatera yaitu di Riau 45 hotspot, Aceh 3, Bengkulu 1, dan Sumatera Barat 3. Titik panas di Sumatera Selatan 1, dan Sumatera Utara 6.
Jumlah hotspot di Riau meÂÂningkat seiring dengan cuaca yang makin kering. 45 hotspot di Riau tersebar di Kabupaten Bengkalis 21, Meranti 1, Dumai 5, Pelalawan 2, Siak 14, Indragiri Hulu 1, dan Indragiri Hilir 1. SebeÂÂlumnya, di Riau juga terdeteksi 52 hotspot kebakaran hutan dan lahan yaitu di Bengkalis 37, Siak 10, Meranti 4, dan Rokan Hilir 1. Daerah yang terbakar adalah keÂÂbun masyarakat, semak belukar, dan konsesi milik perusahaan. Kebakaran itu akibat secara alami namun bisa juga akibat dari ulah tangan manusia. Dari pandangan agama, meratanya titik panas di beberapa daearah dinegeri kita belum termasuk persoalan Iman sebab titik panas terdeteksi bukan karena sudah terjadi kebakaran.
Bisa saja sebelum dibakar suÂÂdah terdapat titik panas alami. Namun jika kebakaran hutan suÂÂdah merata dipermukaan bumi dan manusia sebagai pelakunya maka terhitung sebagai perilaku salah dan berdosa. Tentu merÂÂatalah kerusakan Iman manusia dinegeri kita. Kebakaran hutan diatas sebagai bukti manusia selalu serakah. Manusia tidak pernah puas dengan lahan yang telah ia miliki dan ingin kembali memperluasnya. Manusia juga egois terhadap makhluk lainnya karena makhluk hidup lain memÂÂpunyai hak atas bumi untuknya. Kita justru membuatnya sakit dan bahkan mati karena terbakar dan menderita sakit pernafasan akibat butiran asap yang terhirup oleh hewan. Ini dosa yang sangat banyak. Banyaknya hewan yang mati dan sakit termasuk perilaku dosa bagi manusia.
Ketiga, manusia juga tamÂÂpak tidak mencintai kebersihan. Siapa pelakunya maka termasuk manusia yang tidak mencintai kebersihan sebab udara terceÂÂmar dan kotor. Meskipun mafia tanah itu Haji maka belumlah imannya baik jika masih mengÂÂhasilkan asap untuk udara. Ia tak tahu yang ia lakukan termasuk perilaku tidak bersih. Kotoran ini kemudian akan dihirup oleh banÂÂyaknya manusia dan makhluk. Bukan main banyaknya dosanya yang mengalir untuk pelaku keÂÂjahatan pembakaran hutan ini. Jika kita menghitung berapa banÂÂyaknya hewan, semut, rerumÂÂputan, cacing, rayap dan jenis hewan yang besar maka tak terÂÂhitung banyaknya yang terkena baik sakit dan mati serta cacat. Ini perilaku yang sangat zakim kepada mereka.
Manusia yang tidak melakuÂÂkan juga dapat imbas dari keÂÂjahatan seseorang atau kelomÂÂpok, jika tidak melarangnya maka terhitung juga sebagai pelakunya yaitu tidak mencintai kebersihan. Tampak manusia yang bukan pelaku hanya bisa mengeluh padahal jika bersatu untuk demosntrasi justru merÂÂeka akan takut untuk bakar huÂÂtan. Tampak juga manusia tidak bertindak jika tidak langsung membunuh dirinya sendiri atau keluarganya. Jika kita lihat, tidak banyak pelakunya namun pelaku itu mampu untuk membuat lingÂÂkungan luas berasap sehingga yang bukan pelakunya justru terÂÂkena dampaknya. Hal ini sesuai dengan janji Tuhan siapa yang melakukan kerusakan maka ia akan merasakan dampaknya.
Jika tidak melarang keruÂÂsakan maka dirinyapun akan dikenakan dampak dari perilaku yang merusak tadi. Yang terkena asap bukan semua pelaku tetapi harus merasakan. Semua keÂÂhidupan dibumi akan mengutuk pelaku pembakaran hutan ini. Setiap manusia yang mengutuk maka terhitung dan bertamÂÂbah baginya dosa itu. Manusia yang tertunda keberangkatanÂÂnya dari bandara karena asap akan mengutuk mereka. Setiap yang lewat dikota-kota juga akan mengutuk mereka sebab merÂÂeka tak bisa melihat akibat jarak pandang pendek. Manusia yang kecelakaan dijalan atau patah serta mati akibat tabrakan dijaÂÂlan juga terhitung sebagai aliran kesalahnnya.
Tentu sangat berdosa sekali manusia yang membakar hutan. Pada saat ditimbang-timbang, manusia yang melakukan pemÂÂbakaran ini bisa tidak diterima ibadahnya karena sangkin pekatÂÂnya dosa yang ia lakukan. Yang pasti ia akan sulit untuk masuk surga. Asap yang ia hasilkan juga berdampak terhadap iklim kareÂÂna berkontribusi menghasilkan gas emisi kaca. Gas emisi kaca itu sendiri menyebabkan perubaÂÂhan iklim. Indikasi dari perubahÂÂan iklim seperti kekeringan yang panjang, musim hujan yang tak jelas, atau pergeseran musim huÂÂjan dan kemarau, banjir, naiknya gelombang air laut. Gelombang air laut juga bisa naik karena inÂÂtensitas hujan yang banyak maÂÂsuk ke lautan. Dan melelehnya es di kutub utara akibat suhu yang tidak semestinya.
Dampaknya secara global bukan hanya negeri kita tetapi negeri lain juga. Berbagai aktiÂÂvitaspun tidak berkelanjutan. Termasuk pembangnan pertaÂÂnian, pertanian bisa gagal panen karena musim kering dan gagal panen karena musim banjir. Bahkan, gagal panen karena banÂÂyaknya hama. Realita itu karena fungsi alam tidak stabil lagi. KetiÂÂdakstabilan fungsi alam itu diseÂÂbabkan oleh tidak stabilnya suhu bumi yang tidak seperti mestiÂÂnya. Termasuk gas emisi seperti CO2, CH4, SO2, yang semuanya berkontribusi untuk membuat suhu panas yang tidak semestiÂÂnya dibumi. Pemerintahpun tak mampu untuk katakan stop unÂÂtuk tidak menghasilkan asap dari pembakaran hutan.
Baru saja kita ditimpa maÂÂsalah bencana gempa, banjir dan tanah longsor. Sudah pula kita kembali diberikan bencana baru yaitu kebakaran yang kemudian menghasilkan banyak asap. KaÂÂbut asap bisa kembali terjadi sepÂÂerti tahun yang lalu. Setiap tahun makhluk hidup dibumi diteror oleh asap akibat banyaknya teroÂÂris lingkungan yang sampai kini belum ditahan-tahan juga. Ntah sampai kapan kita dihantui maÂÂsalah asap ini. Dampak asap bagi lingkungan global yaitu terjadinÂÂya pemanasan tingkat global akiÂÂbat asap berkontribusi untuk meÂÂningkatkan gas emisi kaca. Gas emisi kaca yang kita kenal yaitu CO2. Asap dari pembakaran huÂÂtan penyebab utama perubahan iklim secara global. Kita tahu jika kandungan-kandungan OkÂÂsigen sedikit dan mendominasi yang lain maka kita tidak bisa sehat. Sesak nafas dan bahkan menyebabkan badan lemas dan bahkan menyebabkan manusia meninggal.
Menurut Kementerian lingÂÂkungan (2010) batasan nitrogen (N2) diatmosfir sebesar 78%, dengan kadar rata-rata 21%, oksigen (O2) di atmosfer Bumi adalah komponen esensial yang dominan. Selain kedua komÂÂponen udara tersebut, 1% dari udara terdiri dari sejumlah kecil gas-gas lain, yang menciptakan keseimbangan di atmosfer. PeÂÂrubahan dari jumlah gas terseÂÂbut diudara menyebabkan maÂÂsalah iklim hingga berpengaruh buruk bagi kehidupan kita. UnÂÂtuk mengatasi ini maka dibutuhÂÂkan beberapa langkah-langkah. Pertama, pemerintah harus meÂÂnyediakan sumberdaya manusia yang dapat dipergunakan untuk mengontrol kebakaran hutan. Pemerintah sebaiknya menyiapÂÂkan TNI dan polisi untuk diterÂÂjunkan ke lapangan.
Tentara termasuk sumberÂÂdaya yang baik dan terlatih seÂÂhingga sangat layak digunakan untuk menakut-nakuti pembalÂÂak liar, pekebun yang serakah, orang yang membakar lahan huÂÂtan untuk kebun. Kedua, PemerÂÂintah harus lebih optimal untuk membuat peta rawan kebakaran hutan. Dengan adanya peta keÂÂbakaran hutan maka dengan mudah pemerintah menyiapkan sumberdaya dan langkah-langÂÂkah yang diambil untuk mengaÂÂtasi masalah kebakaran hutan. Pemerintah harus berani memÂÂbekukan ijin operasioanl perusaÂÂhaan kebun jika dilakukan oleh perusahan swasta dan nasional. Jika berkali-kali tetap melakukan pembakaran hutan, perusahaanÂÂnya boleh ditutup. (*)