DARI masa lalu Pakuan sebagai ibukota PaÂjajaran, kita dapat belajar banyak tentang bagaimana membuka hati, fikiran, dan kesaÂdaran untuk bersatu mewujudkan keadilan yang menyejahterakan – mengangkat harkat dan jati diri kita sebagai bangsa yang tahu diri.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
BANYAK kisah-kisah masa lamÂpau yang mestinya menggeÂdor kita untuk kembali menÂjadikan Bogor (khususnya) berjaya. Dari Sri Baduga Maharaja yang berjaya di abad ke 15 dan 16, kita bisa belajar banÂyak tentang heroisme dan patriotisme dalam kearifan untuk menÂempatkan kesejahteraan rakyat sebagai pangkal komitmen perjuangan.
Sri Baduga Prabu SiliÂwangi, terkenal dengan sesanti kepemimpinan yang multidimensi dan tak dibatasi oleh ruang waktu. Ciri kepemimpinan yang ditanÂdai oleh: Pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buwana, pakeun nanjeur di juritan. MenegakÂkan kebajikan, agar lama berjaya di duÂnia, agar selalu mendapat kemenangan dalam menghadapi peperangan (baik fisik maupun dalam menghadapi fakta-fakta brutal perjalanan bangsa).
Beberapa masa kemudian, spirit itu tertampak pada kemampuan PraÂbu Surawisesa yang visioner. Sukses yang dilakukan Prabu Surawisesa diÂlanjutkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abdul Fattah dari Banten, mengembangkan Karangantu sebagai basis perdagangan interinsuler dan Ciwandan sebagai pelabuhan untuk jalur perdagangan internasional, mengimbangi kompeni (penjajah BeÂlanda) di perairan Nusantara.
Kala itu, wilayah yang dikendaÂlikan langsung dari Pakuan, meliputi seluruh kawasan dari Selat Sunda sampai Galuh, dengan beberapa baÂsis. Termasuk yang langsung dalam wilayah Pakuan (Banten, Purwakarta, Sukabumi dan Cianjur). Pada masa perang gerilya, sesanti Prabu SiliÂwangi, dimanifestasikan sebagai cara utama oleh Haji Prawatasari dari JamÂpang – Sukabumi Selatan yang sohor dengan sebutan Raden Alit, melakuÂkan strategi perang gerilya.
Strategi itu, kemudian dipraktikan dalam strategi mempertahankan keÂmerdekaan Republik Indonesia oleh Tentara Republik Indonesia pimpiÂnan Jenderal Sudirman. Terutama, karena apa yang dilakukan Raden Alit berhasil menjadikan tatar Sunda bagian Selatan menjadi defence belt yang kuat.
Dengan cara seperti itu pula, kepemimpinan Mama’ Bakrie di SemÂpur – Purwakarta mendidik para muÂridnya yang kemudian menjadi kyai besar, pejuan-pejuang penggerak keÂmerdekaan sejati.
Seluruh dimensi perjuangan sejak era Prabu Siliwangi sampai dekade 40-an bertopang pada prinsip dasar: rempug jukung sauyunan pahueÂyeuk-heuyeuk leungeun, ngawangun bali geusan ngajadi ku tekad anu satuhu. Bersatu padu mewujudkan masyarakat adil makmur, aman tenÂteram berlandaskan iman dan Taqwa.
Kini, setelah 70 tahun IndoneÂsia merdeka, kita harus terus berÂsatu ngawangun Bogor nu macakal, rancage, tur parigeul. Membangun Bogor yang mandiri, kreatif, dan berÂprestasi, sebagai bagian dari upaya membangun Jawa Barat dan IndoneÂsia yang berdaya saing dan unggulan dalam peradaban. Pondasinya adalah memahami pembangunan sebagai gerakan budaya yang menghidupkan jati diri dan sebagai akar pergerakan ke masa depan.