Untitled-15JAKARTA, TODAY – Bank Indo­nesia mengingatkan semua pihak agar tetap waspada dalam mengikuti perkem­bangan nilai tukar rupiah. Meskipun sebena­rnya saat ini masih berada dalam tren pengua­tan terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

Sejak awal tahun hingga kemarin, mata uang Garuda sudah menguat sekitar 4,7% ter­hadap mata uang Paman Sam. “Kita meyakini kalau kita tidak waspada, nanti akan ada ancaman capital rever­sal. Capital reversal itu akan bisa membawa tekanan kepada ru­piah,” ujar Gubernur Bank Indo­nesia (BI) Agus Martowardojo, di sela-sela acara Indonesia Invest­ment Forum di Hotel Mandarin, Jakarta, Selasa (22/3/2016).

Agus memaparkan, risiko eksternal yang patut diwaspa­dai adalah rencana kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed). Isu yang berkem­bang bahwa kenaikan bisa ter­jadi dua kali dalam setahun. “Tapi kita denger indikasi ke­marin banyak sekali ungka­pan pejabat Fed Reserve yang quite positive dengan perkem­bembangan ekonomi di AS. Jadi market kembali menduga mungkin di April akan ada pen­ingkatan FFR,” kata Agus.

BACA JUGA :  Nasi Goreng Cumi dan Telur, Masakan Simple yang Menggugah Selera Keluarga

Dari dalam negeri, ke­waspadaan perlu difokuskan pada posisi defisit transaksi berjalan (Current Account Defi­cit/CAD). Pada akhir 2015, posi­si CAD adalah US$ 17 miliar dan diperkirakan tahun ini akan naik menjadi US$ 26 miliar. “Kita menduga bahwa di 2016 defisitnya akan meningkat dari US$ 17 miliar bisa ke US$ 26 mil­iar. Ini kan dibiayai external fi­nancing dan external financing itu antara lain FDI atau porto­folio investment atau pinjaman luar negeri,” terangnya.

Tingginya CAD tidak terlepas dari peningkatan im­por yang diperkirakan cukup signifikan, akibat agresivitas pemerintah dalam pembangu­nan. “Indonesia memang harus perhatikan itu karena Indone­sia sedang perbaiki ekonomi supaya jangan terlalu besar de­fisit transaksi berjalannya, tapi yang penting pertumbuhan ekonominya berkesinambungan,” jelas Agus.

Tak Boleh Terlalu Kuat

Nilai tukar rupiah tidak dapat dibiarkan bergerak terlalu kuat dari posisi fundamentalnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan mendorong impor melonjak drastis, khususnya barang kon­sumsi dan akhirnya membuat perekonomian Indonesia secara keseluruhan menjadi rentan.

BACA JUGA :  Tes Kepribadian: Sifat dan Karakter Tersembunyi Seseorang Diungkap dari Bentuk Kaki

“Kalau kita ingin mata uang kita terlalu kuat di luar funda­mentalnya, pasti akan mem­buat ketidakpencapaian ekui­librium dan akhirnya membuat Indonesia ekonominya rentan yang mungkin akan membuat terlalu banyak impor dibanding ekspor,” kata Agus.

Sekarang nilai tukar rupiah bergerak pada level Rp 13.000-13.100 per dolar AS. Menurut Agus posisi tersebut sudah mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, yang arti­nya meskipun ada penguatan namun tetap masih kompetitif untuk mendorong ekspor. “Sek­arang kita meyakini nilai tukar Indonesia mencerminkan fun­damental,” imbuhnya.

Mantan Menteri Keuangan tersebut meyakinkan bahwa pihaknya selalu ada di pasar keuangan, mengantisipasi bila ada pergerakan yang terlalu signifikan. BI pun siap untuk mengambil langkah intervensi bila diperlukan. “Ingin saya yakinkan adalah kita akan jaga agar nilai tukar cerminan fun­damental ekonomi kita. Kalau terjadi pelemahan atau pengua­tan yang berlebihan, BI akan jaga supaya itu tetap di funda­mentalnya,” tandasnya.

(Yuska Apitya/dtkf)

============================================================
============================================================
============================================================