SEJAK awal menelusuri kejayaan Pakuan, kita berulang-kali menemukan nilai dasar kehidupan personal dan sosial yang terkait dengan lingkunÂÂgan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu secara ekonomi. Di jaman modern, bahkan sampai 25 tahun ke depan – sesuai esensi dari sustainable development goals yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kualitas lingkungan semacam itu juga yang berlaku.
Bang Sem Haesy
SEPANJANG pencapaian pembangunan masih berpijak pada human development index (indeks pembanÂÂgunan manusia), maka kondisi lingkungan semacam itu yang harus dibangun. Dalam konÂÂteks ini, relevansi Bogor Hejo, Rakyat Ngejo tak berhenti hanya dalam kurusn waktu tertentu yang amat terbatas.
Membangun lingkungan seperti itu, terkait dengan proses transformasi sosial. Malaysia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Dr. Mahathir MoÂÂhamad, memulainya dari tandas (toilet). Di era kepemimpinan PresÂÂiden Soeharto, hal yang sama juga berlaku, meski bukan sesuatu yang primer, yakni melalui program samiÂÂjaga (sarana air minum dan jamban keluarga). Jauh sebelum Perdana Menteri Mahathir Mohamad dan Presiden Soeharto memberi aksenÂÂtuasi terhadap kualitas lingkungan terkait dengan sanitasi, Prabu SiliÂÂwangi dan Prabu Surawisesa sudah melakoninya.
Pada masa itu berlaku aturan (pamali) yang sungguh berorienÂÂtasi pada pencapaian kualitas lingÂÂkungan sehat. Antara lain dengan panduan bagi semua orang, ketika mereka akan memasuki Pakuan atau kota-kota di Pajajaran, untuk menjaga etika, termasuk dalam hal membuang hajat.
Sanghyang Siksakandang KaÂÂresian, memandu dengan detil: Maka rasa guna urang. Ngan lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngisÂÂing di pi(ng)gir jalan, di sisi imah di tungtung caangna. bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tu(ng)ku nu rongah-rongah bisi kasumpah kapadakeun ambu bapa pangguruÂÂan, kapapas ka nu karolot ku twah urang gagabah.
Kalimat itu mengandung makna : Resapkanlah tugas kita (sebagai maÂÂnusia untuk menjaga lingkungan seÂÂhat). Namun bila kita pulang ke kota, jangan buang hajar di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung baÂÂgian yang tak berumput, agar tidak tercium orang. Timbuni tungku yang berlubang-lubang supaya tidak disalahkan dan dikutuk ibu-bapak dan perguruan. (Juga supaya tidak) disesali oleh orang-orang tua karena perbuatan kita yang ceroboh.
Sikap ceroboh, sesuka hati, melanggar tata aturan dan etika, membawa dampak pribadi dan soÂÂsial yang buruk. Oleh karena itu, berlaku pamali – aturan yang secara khas memandu, bagaimana semesÂÂtinya berperilaku. Termasuk dalam membuang hajat atau membuang air kecil.
Begini isyaratnya : Ngan lamun (carek) sanghyang siksa, ngising ma tujuh lengkah ti jalan, kiih ma tilu lengkah ti jalan. Boa mo nemu picarekeun sakalih ja urang nyaho di ulah pamali. Kaulah ma duka, pamali ma paeh, deung jeungjeueÂÂung gagawar, pucuk tambalung, sugan tampyan dalem, kandang larang(an), bale larangan.
Maknanya adalah : Namun menÂÂurut sanghiyang siksa, buang air beÂÂsar harus tujuh langkah dari jalan, buang air kecil harus tiga langkah dari jalan. Pasti tidak akan dimarahi orang lain, karena kita mematuhi laÂÂrangan. Melanggar aturan mendataÂÂngkan sedih. Karena yang terlarang itu dapat mengakibatkan kematian (derita); dan (dalam kota itu) perÂÂhatikanlah tempat pemberlakuan sanksi, ujung kayu penjepit tangan hukuman, mungkin pemandian, kandang larangan, rumah larangan.
Lingkungan yang tidak sehat daÂÂpat menimbulkan kematian karena wabah penyakit dan mendatangkan kesedihan kolektif. Karena itulah membangun toilet termasuk toilet umum penting maknanya..