Untitled-19SEJAK awal menelusuri kejayaan Pakuan, kita berulang-kali menemukan nilai dasar kehidupan personal dan sosial yang terkait dengan lingkun­gan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan mampu secara ekonomi. Di jaman modern, bahkan sampai 25 tahun ke depan – sesuai esensi dari sustainable development goals yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kualitas lingkungan semacam itu juga yang berlaku.

Bang Sem Haesy

SEPANJANG pencapaian pembangunan masih berpijak pada human development index (indeks pemban­gunan manusia), maka kondisi lingkungan semacam itu yang harus dibangun. Dalam kon­teks ini, relevansi Bogor Hejo, Rakyat Ngejo tak berhenti hanya dalam kurusn waktu tertentu yang amat terbatas.

Membangun lingkungan seperti itu, terkait dengan proses transformasi sosial. Malaysia, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Dr. Mahathir Mo­hamad, memulainya dari tandas (toilet). Di era kepemimpinan Pres­iden Soeharto, hal yang sama juga berlaku, meski bukan sesuatu yang primer, yakni melalui program sami­jaga (sarana air minum dan jamban keluarga). Jauh sebelum Perdana Menteri Mahathir Mohamad dan Presiden Soeharto memberi aksen­tuasi terhadap kualitas lingkungan terkait dengan sanitasi, Prabu Sili­wangi dan Prabu Surawisesa sudah melakoninya.

BACA JUGA :  Kembang Kol Miliki Banyak Manfaat untuk Kesehatan, Bantu Turunkan Berat Badan

Pada masa itu berlaku aturan (pamali) yang sungguh berorien­tasi pada pencapaian kualitas ling­kungan sehat. Antara lain dengan panduan bagi semua orang, ketika mereka akan memasuki Pakuan atau kota-kota di Pajajaran, untuk menjaga etika, termasuk dalam hal membuang hajat.

Sanghyang Siksakandang Ka­resian, memandu dengan detil: Maka rasa guna urang. Ngan lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngis­ing di pi(ng)gir jalan, di sisi imah di tungtung caangna. bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tu(ng)ku nu rongah-rongah bisi kasumpah kapadakeun ambu bapa pangguru­an, kapapas ka nu karolot ku twah urang gagabah.

Kalimat itu mengandung makna : Resapkanlah tugas kita (sebagai ma­nusia untuk menjaga lingkungan se­hat). Namun bila kita pulang ke kota, jangan buang hajar di pinggir jalan atau di pinggir rumah di ujung ba­gian yang tak berumput, agar tidak tercium orang. Timbuni tungku yang berlubang-lubang supaya tidak disalahkan dan dikutuk ibu-bapak dan perguruan. (Juga supaya tidak) disesali oleh orang-orang tua karena perbuatan kita yang ceroboh.

Sikap ceroboh, sesuka hati, melanggar tata aturan dan etika, membawa dampak pribadi dan so­sial yang buruk. Oleh karena itu, berlaku pamali – aturan yang secara khas memandu, bagaimana semes­tinya berperilaku. Termasuk dalam membuang hajat atau membuang air kecil.

BACA JUGA :  Melahirkan di Kamar Kos, Siswi SMK di Kupang Sembunyikan Bayi Meninggal dalam Koper

Begini isyaratnya : Ngan lamun (carek) sanghyang siksa, ngising ma tujuh lengkah ti jalan, kiih ma tilu lengkah ti jalan. Boa mo nemu picarekeun sakalih ja urang nyaho di ulah pamali. Kaulah ma duka, pamali ma paeh, deung jeungjeue­ung gagawar, pucuk tambalung, sugan tampyan dalem, kandang larang(an), bale larangan.

Maknanya adalah : Namun men­urut sanghiyang siksa, buang air be­sar harus tujuh langkah dari jalan, buang air kecil harus tiga langkah dari jalan. Pasti tidak akan dimarahi orang lain, karena kita mematuhi la­rangan. Melanggar aturan mendata­ngkan sedih. Karena yang terlarang itu dapat mengakibatkan kematian (derita); dan (dalam kota itu) per­hatikanlah tempat pemberlakuan sanksi, ujung kayu penjepit tangan hukuman, mungkin pemandian, kandang larangan, rumah larangan.

Lingkungan yang tidak sehat da­pat menimbulkan kematian karena wabah penyakit dan mendatangkan kesedihan kolektif. Karena itulah membangun toilet termasuk toilet umum penting maknanya..

============================================================
============================================================
============================================================