PRASASTI lain yang menarik dibicarakan adalah Prasasti Batutulis, berupa prasasti batu. Prasasti ini terletak di bekas kabuyutan, tak jauh dari bekas keraton, temÂpat para raja Pajajaran dinobatkan oleh Purohita (pendeta tertinggi). Prasasti ini dibuat tahun 1455 Saka (1533), 12 tahun setelah Sribaduga wafat (puranê – suwargi).
Oleh : Bang Sem Haesy
DI prasasti batutulis itu, terekam catÂatan tentang karya utama Sribaduga dalam membangun infrastruktur. “… Ya nu nu nyusuk na pakwan… Ya siya nu nyiyan sakakala gugununÂgan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun ++i saka, panca pandawa ê(m)ban bumi ++..†(….Dia memÂbuat parit (pertahanan) di Pakuan.. Dialah yang membuat tanda perÂingatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah yang membuat semua itu..†Dari Prasasti Batutulis kita dapat mengkaji lebih dalam, bagaimana Sribaduga Maharaja membangun infrastruktur multifungsi, parit seÂbagai drainase kota sekaligus sebaÂgai bagian dari strategi pertahanan wilayah. Parit ini melingkar sepanÂjang 4 (empat) kilometer di tebing Cisadane, mulai dari gerbang PaÂkuan, atau Bondongan sekarang, sampai ke daerah (yang sekarang merupakan) stasiun kereta Batutulis.
Bondongan dulu disebut GerÂbang Pakuan I. Gerbang Pakuan II di daerah (kini) stasiun KA BatutuÂlis yang tersambung dengan jalan sampai ke Rancamaya. Gerbang III terdapat di (sekarang) jalan SiliwanÂgi, di daerah Tajur.
Parit lainnya, dibangun di sisi tenggara Pakuan, di daerah daÂtar, yang diperkuat dengan tebing menyerupai benteng pada bagian dalamnya. Dengan bentuknya sepÂerti itu, terbangunlah pertahanan ganda (parit dan benteng). Bekas parit ini oleh Belanda dipergunakan untuk jalur rel kereta api Bogor – Sukabumi, sebagiannya lagi menÂjadi perumahan penduduk.
Pembangunan parit yang sanÂgat terkenal ini, seolah dilakukan Sribaduga Maharaja, mereplikasi pembangunan parit yang dilakukan ayahnya Nisakala Wastukancana, yang dalam prasasti Kawali dan prasasti Galunggung, disebut memÂbangun marigi sakuliling dayeuh.
Ketangguhan parit yang dibanÂgun Sribaduga Maharaja ini, terbukÂti sangat efektif, kala Pakuan menÂdapat serangan dari Banten. Tapi manfaat lain yang dirasakan penÂduduk adalah tersedianya sumber air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari.
Bagi mereka yang ingin menÂdalami konektivitas dan korelasi antara pembangunan infrastrukÂtur kota dan konservasi, hal ini menarik. Terutama karena pemÂbangunan kota tidak terpisah dengan usaha konservasi, berupa pemeliharaan hutan. Pakuan hejo berkembang sebagai hutan yang menjadi sumber air yang kemudian disalurkan melalui parit itu. Dengan demikian, rakyat dapat melakukan aktivitas mencari nafkah secara lebih terjamin.
Hal ini mengandung makna, motivasi dasar membangun inÂfrastruktur tidak semata-mata berhenti hanya untuk kepentingan akhirnya belaka, melainkan sudah sejak semula dirancang untuk keÂmanfaatan yang multifungsi. KonÂsep ini, beberapa masa kemudian, sempat ditiru oleh Belanda ketika membangun sarana drainase kota dan infrastruktur pengairan, yang juga berfungsi untuk memelihara badeur (ikan) yang ternyata memÂpunyai kandungan nutrisi baik bagi manusia.
Alhasil, dari nyusuk na Pakuan, melalui pembangunan parit, kita dapat belajar bagaimana meranÂcang pembangunan infrastruktur tidak hanya untuk kepentingan satu manfaat saja. Melainkan multimanÂfaat.