KABAR gembira bagi para pekerja bergaji Rp 3 juta ke bawah perbulan. Pemerintahan Jokowi bakal segera menghapus pajak penghasilan bagi mereka dengan menaikkan tingkat Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 24,3 juta menjadi Rp 36 juta per tahun.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Peraturan baru ini akan muÂlai berlaku mulai tahun pajak 2015. Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito menuturkan, batas gaji sebesar Rp 3 juta tersebut sudah tepat. Karena, dengan gaji tersebut, masyarakat sudah sulit untuk mencukupi kebutuhan. “Mereka kadang sudah pas-pasan, suruh bayar pajak pula ,†ungkap Sigit di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (28/5/2015). Hal ini sudah terukur dalam perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sudah diterb itkan pada akhir tahun lalu. Di mana mewakili komponen beban hidup yang haÂrus ditanggung oleh para pekerja.
Banyak daerah yang memutuskan UMP mendekati Rp 3 juta per bulan. Bila biaya tersebut sudah habis untuk beban hidup, artinya tidak cukup lagi gajinya untuk memÂbayar pajak penghasilan. “Dengan biaya Rp 3 juta sebulan mereka, sudah abis itu. Kan hidup 3 juta sebulan itu nggak cukup ,†terang Sigit.
Seperti diketahui, PTKP sudah diatur sebelumnya dalam Undang-undang Pajak Penghasilan pasal 7. Namun nominalnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), setelah melalui proses konsultasi dengan Dewan Perwakilan RakyÂat (DPR).
Kebijakan baru perpajakan ini ini akan diberlakukan mulai tahun pajak 2015. Jadi meskipun aturan diterbitkan pada pertenÂgaham 2015, akan tetapi penghitungannya ditarik mundur sejak Januari 2015. Sehingga nanti akan ada restitusi pajak pada akhir taÂhun. Batas PTKP Rp 3 juta per bulan diperÂuntukkan bagi orang pribadi dengan status lajang atau tidak menikah. Bila telah memilÂki tanggungan, istri dan anak maka batasnya pun akan lebih tinggi.
Pada definisinya, tanggungan adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga. Anggota keluarga harus sedarah dan dalam garis keÂturunan lurus juga termasuk anak angkat.
Khusus untuk anak angkat yang berhak masuk dalam PTKP dibatasi sampai denÂgan usia batas 18 tahun dan belum memiliki penghasilan. Tanggungan anak juga dibatasi maksimal 3 orang.
Lalu bagaimana perhitungan suami dan istri yang bekerja dengan tiga orang anak?
Dalam ajuan regulasi baru disebutkan, Wajib Pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan 2 orang anak. Apabila istrinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, dan pekerjaan terseÂbut tidak ada hubungannya dengan usaha suami, atau anggota keluarga lainnya. PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak A sebeÂsar Rp 45 juta.
Dengan catatan untuk istrinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja, diberikan batas PTKP sebeÂsar Rp 36 juta pertahun. Apabila penghasiÂlan istri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya PTKP yang diberikan kepaÂda Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 81 juta.
Lalu bagaimana bila pembayaran pajak sudah dilakukan sejak awal tahun?
Sigit Priadi menjelaskan, untuk pegaÂwai yang bergaji Rp 24,3 juta per tahun-Rp 36 juta per tahun, akan dikembalikan kelebiÂhan bayar pajaknya pada tahun depan. Tapi setelah laporan Surat Pemberitahuan TahuÂnan (SPT) pajak dilakukan.
“Karena nanti akan disesuaikan oleh waÂjib pajak itu. Kan membuat laporan itu yang dipungut,†jelas Sigit.
Sementara untuk pegawai bergaji di atas Rp 36 juta/tahun, setelah perubahan aturan PTKP berlaku, maka kelebihan bayar pajaknya akan menjadi kredit pajak atau dicatatkan sebagai surplus. Nantinya, keleÂbihan bayar ini akan menjadi pengurang pembayaran pajak setelah aturan PTKP baru ini berlaku. “Kan itu kredit pajak, jadi adjustmennt itu ke depan. Jadi pemotongan PPh 21 setelah bulan Juli nanti itu akan diÂcoba dengan memperhitungkan yang sudah dibayar,†kata Sigit.
Terpisah, Kepala Subdit Penyuluhan Ditjen Pajak, Sanityas Jukti Prawatyani meÂnambahkan, penghitungan besarnya PTKP ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal baÂgian tahun pajak. Misalnya dalam kasus waÂjib pajak dengan istri dan tanggungan anak kandung. Pada 1 Januari 2015 wajib pajak berstatus kawin dengan tanggungan 1 orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2015, besarnya PTKP yang diberikan kepada wajib pajak untuk tahun pajak 2015 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak. “Jadi ketika nanÂti pelaporan SPT tahunan, maka anak kedua tidak dicantumkan dalam SPT tersebut, tapi adalah pada tahun berikutnya,†kata Tyas, Kamis (28/5/2015).
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo meÂnambahkan, alasan kenaikan PTKP ini kareÂna pendapatan masyarakat secara umum mengalami kenaikan. Ini tergambar pada kenaikan UMP . “ PTKP dinaikkan kan meÂmang karena UMP juga naik,†kata dia.
Beberapa daerah, kata Mardiasmo, suÂdah bahkan mendekati angka Rp 3 juta per bulan. Misalnya seperti Bekasi dan DKI JaÂkarta. Tapi di sisi lain, ada inflasi yang juga bergerak ke atas. Meski tahun ini diharapÂkan dapat ditekan pada level 4% plus minus 1%. Sehingga, kenaikan PTKP dilakukan unÂtuk menjaga daya beli masyakarat, sehingga batas gaji yang dikenakan pajak juga dinaikÂkan. “Kalau untuk masyarakat kecil, PTKP dinaikkan itu berharga sekali,†ujarnya.
Ini pun nanti diharapkan bisa sebagai salah satu pendorong ekonomi untuk tumÂbuh lebih tinggi, khususnya dari komponen konsumsi rumah tangga. “Kemampuan maÂsyarakat untuk konsumsi lebih bagus. Ini mendorong pertumbuhan ekonomi juga. Jadi ada multiplier effect juga,†tukas ManÂtan Ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu.
DPR Setuju
Komisi XI DPR memberi sinyal dukunÂgan, terkait rencana pemerintah menaikkan batas PTKP menjadi Rp 36 juta per tahun.
Ketua Komisi XI Fadel Muhammad meÂlihat, kebijakan tersebut sebagai langkah baik. Karena akan mampu membantu daya beli masyarakat yang sudah tergerus inflasi. “Ini saya rasa kebijakan yang bagus karena membantu masyarakat. Tapi kan kita haÂrus konsultasi dulu. Dalam waktu dekat,†kata Fadel, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/5/2015).
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR Michael Juno juga siap memÂberikan dukungan atas kebijakan tersebut. Karena secara makro ekonomi, hal ini tenÂtunya dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga. “Masyarakat bawah terbantu, dan konsumsi masyarakat diharapkan naik seÂhingga membantu pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2015. Jadi secara makro damÂpaknya akan positif,†tukasnya.
Pakar Ekonomi Makro Institut Pertanian Bogor, Muhammad Findi, mengapresiasi keÂbijakan penghapusan Pph untuk karyawan berpenghasilan Rp3 juta ke bawah perbulan ini. Ia menilai dari sisi agregat ekspenditure bagus untuk menaikkan konsumsi rumah tangga. “Jika mengacu dari teori kebijakan fiskal, saya menduga ini strategi pemerintah untuk manaikkan belanja rumah tangga maÂsyarakat,†kata dia.
Dosen Ekonomi IPB ini juga menegasÂkan, jika belanja rumah tangga naik, secara otomatis pendapatan nasional akan naik. “Ini merupakan strategi stimulan yang diÂlakukan Pemerintah Jokowi. Tentunya, banÂyak orang yang akan berbondong-bondong menaikkan konsumsi dan tabungan. Jadi ini bisa berpotensi menaikkan konsumsi kesÂeluruhan Agregat Demand (AD) di Bogor,†tandasnya. (*)