set-of-cigarettes-png-imageYuska Apitya Aji

[email protected]

Siap-siap bagi para perokok aktif. Harga rokok dipastikan naik berlipat-lipat. Selain menaikkan cukai, pemerintah berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 10 persen pada saat produk tersebut keluar dari pabrik, plus 10 persen lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan, skema ini diambil pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok. “Agar DJP bisa mendapatkan NPWP semua pihak dalam industri rokok. Data ini lebih penting dibandingkan penerimaan negara (yang berasal dari PPN rokok),” ungkap Suahasil, Selasa (27/9/2016).

Ia menjelaskan, tanpa NPWP, para pedagang besar atau whole-seller tidak akan diberikan izin untuk melakukan distribusi atau menjual rokok sehingga NPWP menjadi syarat penting bagi pedagang rokok.

Di sisi lain, data basis WP pemerintah akan lengkap sehingga pemerintah tak akan mengalami kebocoran data WP di kemudian hari dan penerimaan negara yang berasal dari PPN rokok dapat diraup dengan maksimal.

Suahasil memastikan, skema ini dibuat pemerintah bukan sekedar untuk menggemukkan kantong negara, namun juga mempertimbangkan pertumbuhan industri tembakau dan rokok. “Sistem ini sudah kita komunikasikan ke industri tembakau, mereka siap tapi butuh waktu dari sisi rantai produksinya agar semuanya taat pajak semua,” jelas Suahasil.

Terkait perubahan skema pengenaan PPN rokok, sebelumnya pemerintah menetapkan PPN rokok sebesar 8,7 persen yang dipungut dari pabrik rokok saat akan mendistribusikan rokok ke pedagang (pajak keluar).

Namun, dengan pengenaan PPN rokok ganda 10 persen ini, secara rata-rata pemerintah bisa menerapkan pengenaan PPN rokok rata-rata sebesar 9,1 persen.

Suahasil meyakini, dengan penerapan PPN rokok rata-rata 9,1 persen ini dapat sedikit meningkatkan penerimaan negara. Namun, di sisi lain tak mencekik para pelaku industri rokok. “Kenaikannya bisa dari 8,7 persen (saat ini) menjadi 9,1 persen (secara rata-rata). Dengan ini kami yakin penerimaan negara bisa meningkat apalagi saat ini penerimaan negara sedang susah,” imbuh Suahasil.

BACA JUGA :  Makan Banyak saat Lebaran Naikan Berat Badan? Ini Dia 5 Minuman Bantu Turunkan BB

Pengusaha Keberatan      

Proses pembahasan target kenaikan cukai kini masih dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 yang tengah dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat perhatian serius Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).

Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie meminta pemerintah untuk tidak eksesif dalam menaikkan tarif cukai rokok dengan alasan mengamankan penerimaan negara. Pasalnya, volume penjualan industri rokok terus menurun sejak dua tahun lalu.

“Sampai Agustus tahun ini, volume produksi masih belum stabil dan bisa dibilang lebih kecil dibanding tahun lalu,” kata Moeftie, Selasa (27/9/2016).
Ia khawatir, bila target penerimaan cukai tetap tinggi, bisa-bisa produksinya akan semakin anjlok yang memberi dampak buruk bagi industri.

Sekali tiga uang dengan Moeftie, Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suharjo menyoroti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau (PPN HT) sebesar 10 persen. “Kenaikan seharusnya dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, bukan tiba-tiba menjadi 10 persen,” katanya.

Seperti yang telah disepakati sebelumnya antara Kementerian Keuangan dengan industri, kenaikan PPN HT dilakukan bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 8,7 persen menjadi 8,9 persen di tahun 2017. “Lalu di tahun berikutnya naik menjadi 9,1 persen hingga terus naik di 2019,” papar Suharjo.

Rencana kenaikan yang tiba-tiba ini menurut Suharjo merupakan langkah panik pemerintah untuk menutupi kekurangan pendapatan negara dari sektor pajak. “Bila dipaksakan industri akan terkena imbasnya. Mulai dari serapan tembakau yang berkurang hingga produksi yang menurun. Efek domino dari kenaikan ini akan memperparah kondisi industri,” ujarnya.

Amir Uskara, Anggota Badan Anggaran DPR menilai, kenaikan tarif cukai memang seharusnya tidak lebih dari inflasi karena akan berdampak pada industri.

BACA JUGA :  Turunkan Berat Badan ala Perempuan Jepang dengan 5 Kebiasaan Ini

Saat ini kata Amir, DPR sedang merumuskan tarif cukai dengan kenaikan maksimal di 6 persen. Bila lebih dari itu maka industri akan kena dampaknya.

“Dalam kenaikan cukai ini pemerintah juga harus memikirkan kelangsungan industri, karena banyak unsur terkait yang harus dilindungi dalam industri ini, seperti buruh yang bekerja di industri ini yang jumlahnya cukup banyak. Jadi harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam penentuan tarif cukai. Jangan sampai melebihi daya beli masyarakat,” katanya.

Menurut Amir pemerintah saat ini belum melakukan ekstensifikasi target cukai. Sehingga lagi-lagi cukai tembakau yang dinaikan. “Sebaiknya pemerintah harus segera memikirkan ekstensifikasi target cukai agar lebih beragam,” katanya.

Perlu diingat kalau industri tembakau merupakan penyumbang terbesar kedua untuk pendapatan negara di bawah penerimaan pajak sehingga industri tersebut harus dilindungi.

Anna Muawanah, Anggota Komisi XI DPR menambahkan, jika pemerintah berkukuh menaikkan tarif cukai hasil tembakau lebih dari 6 persen maka kebijakan tersebut dinilainya kurang tepat. Pemerintah menurutnya harus bisa mencari jalan keluar lain untuk mengamankan penerimaan negara.

Ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah ketimbang menaikan penerimaan tarif cukai. Pertama harus dilakukan intensifikasi, yakni menambah jumlah produksi dari industri rokok. “Dengan demikian mereka akan membayar cukai lebih banyak,” katanya.

Selanjutnya, kata Anna, pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi, yakni penambahan objek cukai. Seperti yang kita ketahui objek cukai di Indonesia masih sedikit. “Dengan adanya penambahan objek cukai maka penerimaan akan lebih tinggi,” jelasnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Bogor, Erik Suganda, menilai, kebijakan pengenaan pajak ganda dan kenaikan cukai untuk komoditas rokok, perlu dikaji dengan matang. “Yang harus dipedulikan itu pengusaha dan masyarakat. Gelombang protes pasti bermunculan. Pengusaha pastinya akan menekan beban produksi, yang pasti dilakukan pastinya mengurangi karyawan. Ini sangat fatal dampaknya,” kata dia, kemarin.(*)

============================================================
============================================================
============================================================