Untitled-13SIAPAKAH sosok pemimpin dalam konsep Pakuan Pajajaran? Adakah ia seorang pemburu jabatan politik yang memandang kekuasaan sebagai cara untuk berkuasa dan memerintah? Atau, pemimpin adalah dia yang sibuk dengan spiritualitas dan mengabaikan tanggungjawab sosialnya kepada rakyat? Adakah seseorang yang merasa sukses dan berpuas diri den­gan kepemimpinannya bisa dinyatakan sebagai pemimpin?

Bang Sem Haesy

TENTU bukan. Dalam teks naskah Sunda bu­hun yang ditulis dalam lontar dan ditemukan di berbagai kabuyu­tan, seseorang dise­but pemimpin di Pak­uan Pajajaran, jika di dalam dirinya melekat watak kepemimpinan sinatria pilih tanding. Yaitu, watak pangimbuh­ning twah, yang meleng­kapi pamor, wibawa, atau kharismanya.

Watak itu adalah Emét, tidak kemaruk dengan kedudu­kan dan harta, juga tidak kon­sumtif. Dengan Emét seorang pemimpin akan mampu men­gendalikan dirinya untuk tidak serta merta mengaitkan tahta yang dikuasainya sebagai cara untuk memperoleh atau men­uai harta. Dengan begitu, pe­mimpin dapat mengendalikan dirinya dari kecenderungan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan nilai keju­juran, khususnya suap.

BACA JUGA :  Bima Arya Ajak Ratusan PKWT Ngaliwet, Siap Perjuangkan Kesejahteraan

Karena itu, seorang pe­mimpin juga harus berwatak Imeut, yaitu: cermat, teliti. Dia tidak sembrono, baik dalam berfikir, bersikap, bertindak, dan berbicara. Ia juga seorang yang rajeun, atau rajin dan tekun menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya.

Dalam menghadapi berb­agai tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dan tang­gungjawabnya, seorang pe­mimpin tidak pernah lelah menelusuri sesuatu persoalan, sampai dia menemukan solusi atau jalan keluar. Karena itu, dia leukeun, tekun. Karena pada dasarnya, seorang pe­mimpin adalah pemberi solusi, bukan justru bagian dari ma­salah.

Ketekunan seorang pe­mimpin lahir dari sifat dirinya yang morogol-rogol, mempun­yai etos kerja tinggi, menjalani proses untuk mencapai hasil (result) yang utama. Karena itu juga, dia berjiwa purusa ning sa, berani bersikap dan bertin­dak sesuai dengan ketentuan dan aturan yang benar. Ter­masuk aturan yang sudah dis­epakati bersama.

Karena itu, ia mampu ber­sikap ‘teuas peureup lemes usap,’ sebagai tanda dirinya seorang yang mempunyai widagda, kearifan rasional dan realistis, sekaligus mempun­yai keseimbangan rasa. Dalam menjalankan kepemimpi­nannya, khususnya dalam berkomunikasi dengan sesa­manya dan rakyat, nampak Paka Pradana, etika sebagai busana utama dirinya.

BACA JUGA :  Kecelakaan Motor Tercemplung ke Sungai Cilacap, Diduga Hilang Keseimbangan

Dalam menjalankan kepe­mimpinannya, dia tidak per­nah menyalahkan anak buah, karena di dalam dirinya hidup watak pemimpin yang utama, yaitu Gapitan, berani berkor­ban. Karena ia juga seorang yang hemat, tetapi tidak pelit – ‘pageuh keupeul lega awur’ – maka dengan sendirinya, ia juga berwatak karawaléya, dermawan. Dalam arti, dia tahu harus membantu mereka yang sungguh memerlukan bantuan.

Seorang pemimpin dalam konsep Pakuan Pajajaran adalah jugaseorang yang ter­ampil, mempunyai kapasitas, kompetensi, dan profesional. Baik karena keilmuannya mau­pun karena pengalamannya. Itulah yang disebut cangcingan. Kompetensi dan pengalaman yang dimilikinya, mematang­kan watak langsitan atau rape­kan pada dirinya, yaitu cekatan dalam melakukan praktik kepe­mimpinannya sehari-hari.

Dengan begitu, dia terbebas dari empat hal buruk, yaitu: babarian, pundungan, human­deuar, dan kukulutus : semena-mena, mudah kecewa, eksplosif, dan senang dipuja-puji.

============================================================
============================================================
============================================================