SIAPAKAH sosok pemimpin dalam konsep Pakuan Pajajaran? Adakah ia seorang pemburu jabatan politik yang memandang kekuasaan sebagai cara untuk berkuasa dan memerintah? Atau, pemimpin adalah dia yang sibuk dengan spiritualitas dan mengabaikan tanggungjawab sosialnya kepada rakyat? Adakah seseorang yang merasa sukses dan berpuas diri denÂÂgan kepemimpinannya bisa dinyatakan sebagai pemimpin?
Bang Sem Haesy
TENTU bukan. Dalam teks naskah Sunda buÂÂhun yang ditulis dalam lontar dan ditemukan di berbagai kabuyuÂÂtan, seseorang diseÂÂbut pemimpin di PakÂÂuan Pajajaran, jika di dalam dirinya melekat watak kepemimpinan sinatria pilih tanding. Yaitu, watak pangimbuhÂÂning twah, yang melengÂÂkapi pamor, wibawa, atau kharismanya.
Watak itu adalah Emét, tidak kemaruk dengan keduduÂÂkan dan harta, juga tidak konÂÂsumtif. Dengan Emét seorang pemimpin akan mampu menÂÂgendalikan dirinya untuk tidak serta merta mengaitkan tahta yang dikuasainya sebagai cara untuk memperoleh atau menÂÂuai harta. Dengan begitu, peÂÂmimpin dapat mengendalikan dirinya dari kecenderungan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan nilai kejuÂÂjuran, khususnya suap.
Karena itu, seorang peÂÂmimpin juga harus berwatak Imeut, yaitu: cermat, teliti. Dia tidak sembrono, baik dalam berfikir, bersikap, bertindak, dan berbicara. Ia juga seorang yang rajeun, atau rajin dan tekun menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya.
Dalam menghadapi berbÂÂagai tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dan tangÂÂgungjawabnya, seorang peÂÂmimpin tidak pernah lelah menelusuri sesuatu persoalan, sampai dia menemukan solusi atau jalan keluar. Karena itu, dia leukeun, tekun. Karena pada dasarnya, seorang peÂÂmimpin adalah pemberi solusi, bukan justru bagian dari maÂÂsalah.
Ketekunan seorang peÂÂmimpin lahir dari sifat dirinya yang morogol-rogol, mempunÂÂyai etos kerja tinggi, menjalani proses untuk mencapai hasil (result) yang utama. Karena itu juga, dia berjiwa purusa ning sa, berani bersikap dan bertinÂÂdak sesuai dengan ketentuan dan aturan yang benar. TerÂÂmasuk aturan yang sudah disÂÂepakati bersama.
Karena itu, ia mampu berÂÂsikap ‘teuas peureup lemes usap,’ sebagai tanda dirinya seorang yang mempunyai widagda, kearifan rasional dan realistis, sekaligus mempunÂÂyai keseimbangan rasa. Dalam menjalankan kepemimpiÂÂnannya, khususnya dalam berkomunikasi dengan sesaÂÂmanya dan rakyat, nampak Paka Pradana, etika sebagai busana utama dirinya.
Dalam menjalankan kepeÂÂmimpinannya, dia tidak perÂÂnah menyalahkan anak buah, karena di dalam dirinya hidup watak pemimpin yang utama, yaitu Gapitan, berani berkorÂÂban. Karena ia juga seorang yang hemat, tetapi tidak pelit – ‘pageuh keupeul lega awur’ – maka dengan sendirinya, ia juga berwatak karawaléya, dermawan. Dalam arti, dia tahu harus membantu mereka yang sungguh memerlukan bantuan.
Seorang pemimpin dalam konsep Pakuan Pajajaran adalah jugaseorang yang terÂÂampil, mempunyai kapasitas, kompetensi, dan profesional. Baik karena keilmuannya mauÂÂpun karena pengalamannya. Itulah yang disebut cangcingan. Kompetensi dan pengalaman yang dimilikinya, mematangÂÂkan watak langsitan atau rapeÂÂkan pada dirinya, yaitu cekatan dalam melakukan praktik kepeÂÂmimpinannya sehari-hari.
Dengan begitu, dia terbebas dari empat hal buruk, yaitu: babarian, pundungan, humanÂÂdeuar, dan kukulutus : semena-mena, mudah kecewa, eksplosif, dan senang dipuja-puji.