DUA belas watak positif manusia (pangimbuhning twah) sebagaimana dipedomani dalam Sanghyang Siksakandang Karesian, yang kita bahasa dalam artikel terdahuÂlu, sangat perlu diterapan oleh setiap kita. Terutama ketika kita paham, eksistensi kita di dunia sebagai pemimpin. Paling tidak dalam lingkungan sosial terkecil.
Bang Sem Haesy
BERCERMIN pada Prabu Siliwangi dan Prabu SuraÂwisesa, apa yang tersurat dan tersirat dalam 12 watak, itu sebagai cara pembinaan watak diri, agar kita senantiasa waspada, dan tak terjebak atau terperosok ke dalam pancagati. Yaitu, lima hal yang harus diÂhindari (sebagai pamali), kaÂrena hidup akan membuat kita hidup sengsara.
Pancagati itu adalah : PerÂtama, Jangan khianat dan jangan culas. Tentu khianat yang dimaksudkan adalah tidak menghianati diri sendiri dalam mengemban amanah kepercayaan yang diberikan kepaÂda kita. Kalau sudah sampai mengÂhianati diri sendiri, tentu kualifikasi kita sebagai manusia sudah sangat rendah sekali. Wujud dari tidak menghianati diri sendiri adalah hanya mengatakan apa yang diÂlakukan secara konsisten. “Tara boÂhong najan kana diri pribadi.â€
Tidak culas berarti tidak melakukan sikap dan tindakan (termasuk ucapan) mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Tidak hasad dan tidak hasud, yang menghancurkan orang lain, dan menghancurkan lingkunÂgan sosial. Termasuk tidak bergosip (ghibah – buhtan), dan fitnah.
Perbuatan khianat dan cuÂlas, itu termasuk menjerumuskan orang lain melakukan suatu perÂbuatan yang keliru dan salah, supaÂya mendapat manfaat dari kesalahÂan orang itu. Hal itu, setara dengan mencuri, merebut, dan merampas hak orang lain.
Sikap dan tindakan lain yang termasuk pamali dalam konteks panca gati, adalah carimuka dan menjilat kepada atasan. Apalagi dengan cara menyikut kawan di kiri dan kanan, serta menginjak yang di bawah (seperti katak melompat).
Yang termasuk pamali juga, berlama-lama di rumah penguasa atau raja, atau atasan. Apalagi dengan maksud supaya terlihat, seolah-olah sebagai bawahan suÂperloyal. Kecuali, karena tugas dan tanggungjawab memang harus seÂlalu berada di dekat pimpinan, dan harus selalu siaga.
Bersikaplah wajar. Tidak berÂtindak melampaui batas. Tentu, dengan senantiasa menjaga etika, sopan santun, dan tata krama yang berlaku pada umumnya.
Sikap santun dan tatakrama tidak hanya ditujukan kepada atasan atau pimpinan belaka, meÂlainkan juga kepada sesama insan, baik yang setara maupun yang berada di bawah wewenang dan tanggungjawab. Termasuk dalam tatakrama itu adalah perlakuan hormat dan tidak melanggar susila.
Dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggungjawab kepeÂmimpinan yang melekat pada tugas dan fungsi utama insaniah kita, berlaku prinsip : loyal terÂhadap tugas dan tanggungjawab, sebagai bagian konkret dari loyaliÂtas kepada pimpinan atau atasan. Dalam hal melaksanakan tugas, berlaku komitmen untuk melakÂsanakan catur yatna atau empat kewaspadaan. Yaitu, tidak melakuÂkan siwok cante, simur cante, siÂmar cante, dan darma cante.
Siwok cante artinya tergoda dengan makan dan minuman yang lezat-lezat, sehingga mengabaikan esensi dan hakekat eksistensi inÂsani secara fungsional dan proporÂsional. Tidak dokoh. Simur cante, tidak ikut-ikutan dengan siapapun melakukan tindakan korup, menÂcuri, serta merebut dan merampas hak orang lain. Sumar cante adalah mengambil benda-benda berharga (seperti perhiasan) tanpa disuÂruh oleh yang punya (berwenang memberi). Darma cante adalah membantu pihak-pihak yang meÂmusuhi pimpinan, walaupun hanya sebatas memberitahukan apa yang seharusnya dirahasiakan.