INGGRIS TODAY – Di tengah soro­tan dunia terhadap Panama Papers, bocoran dokumen dari firma hukum Panama itu mengungkapkan peran London sebagai pusat jejaring peng­gelapan pajak dunia.

Jutaan bocoran dokumen milik Mossack Fonseca itu menunjukkan keterkaitan Inggris dalam praktik penggelapan pajak dan penyembu­nyian uang yang diinvestasikan di sejumlah aset Inggris, khususnya sektor properti London.

Para pakar menilai pemerintah Inggris menutup mata terhadap ali­ran dana mencurigakan dan terlalu dekat dengan sektor keuangan se­hingga tak mampu mencegah peng­gunaan sejumlah wilayah surga pajak yang termasuk dalam teritori Ing­gris. British Virgin Islands misalnya, menjadi wilayah dengan 110 ribu pe­rusahaan offshore yang merupakan klien dari Mossack Fonseca. “Lon­don merupakan pusat dari begitu banyak penyelewengan yang terjadi di dunia,” kata Nicholas Shaxson, penulis buku Treasure Islands yang meneliti peran bank offshore dan wilayah surga pajak.

Pakar politik itu menyatakan bahwa sebagai sebuah negara, Ing­gris sendiri relatif transparan dan bersih. Namun, sejumlah wilayah yang termasuk dalam teritorinya dengan mudahnya menjadi wilayah surga pajak yang dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan cangkang den­gan pemilik anonim. “Penghindaran pajak dan hal-hal seperti itu akan di­lakukan di luar jaringan. Biasanya, akan terkait ke Kota London, atau firma hukum, perusahaan akuntansi dan bank-bank Inggris,” katanya. “Mereka semua agen Kota London, tempat di mana seluruh seluruh praktik [penggelapan pajak] itu dik­endalikan,” kata Richard Murphy, profesor di City University, London.

Panama Papers menunjukkan bahwa Inggris merupakan negara tertinggi ketiga soal jumlah peranta­ra dari Mossack Fonseca yang berop­erasi dalam perbatasannya, dengan total 32.682 perantara.

Meskipun mendirikan perusa­haan cangkang tidak melanggar hu­kum, perusahaan cangkang dapat digunakan untuk aktivitas ilegal, seperti pencucian uang dan meny­embunyikan kekayaan para pejabat maupun politisi yang mungkin saja terkait dengan uang negara.

Sekitar 310 ribu perusahaan di yurisdiksi surga pajak memiliki seki­tar 170 miliar pound sterling di sek­tor real-estate Inggris, sebanyak 10 persen di antaranya terkait dengan Mossack Fonseca.

Dokumen itu juga menunjukkan bahwa Presiden Uni Emirat Arab, Sheikh Khalifa bin Zayed Al-Nahyan memiliki properti di London senilai lebih dari 1,2 miliar pound sterling, sementara Mariam Safdar, putri Per­dana Menteri Pakistan Nawaz Sharif merupakan pemilik dari dua peru­sahaan offshore yang memiliki dua apartemen di wilayah Park Lane.

Dokumen ini menunjukkan bah­wa janji Perdana Menteri Inggris Da­vid Cameron untuk membersihkan praktik pendanaan offshore dan prak­tik lain yang meliputinya belum ter­penuhi. “Setiap beberapa tahun Lon­don berpura-pura ‘membersihkan tindakannya’,” tulis kolumnis Simon Jenkins di koran London, Evening Standard. “Sebagian besar kota di dunia menerapkan aturan ketat ter­hadap orang asing yang tiba dengan sekoper uang tunai untuk membeli properti atau bisnis lainnya. Namun, tidak di London,” ujarnya. “Perusa­haan offshore membanjiri kota ini seperti Sungai Thames,” kata Jenkins.

Menurut Shaxson, reputasi Lon­don sebagai “ibu kota untuk uang yang mencurigakan,” sebagaimana disebut Jenkins, berkaitan erat dengan daya tarik kota ini sebagai pusat keuangan, dengan regulasi yang ringan, budaya dinamis dan sejarah perdagangan global. “London telah menjadi per­simpangan untuk uang dunia selama berabad-abad. Ketika kerajaan Inggris runtuh, London menjadi pusat peru­sahaan offshore yang memungkinkan aliran uang datang tanpa dipertan­yakan,” kata Shaxson.

Dengan meningkatnya tekanan dari publik, Murphy menilai Inggris memiliki kekuatan untuk mengatur langsung teritorinya di luar negeri, namun kekuatan lobi dari sektor keuangan dan kekhawatiran soal akan terganggunya ekonomi Inggris menahan upaya itu. “Kota London tampaknya percaya bahwa tanpa saluran ini, maka [London] tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif yang dibutuhkan. Lembaga-lembaga keuangan ini sudah menjadi seperti binatang liar,” kata Shaxson. “Meru­pakan tanggung jawab pemerintah untuk menghentikan omong kosong ini. Pemerintah dikuasai oleh pem­bentukan perbankan dan harus ada cara untuk menghentikan hal ini. Para politisi Inggris merasa mereka tak mampu melakukan apapun,” ka­tanya.

(Yuska Apitya/net)

============================================================
============================================================
============================================================