PAJAK adalah sumber pendapatan asli daerah atau negara. Di jaman PaÂjajaran dulu, juga begitu. Dari Pakuan digerakkan upaya – upaya mendasar agar pendapatan asli meningkat, melalui pajak, walaupun ada beberapa daerah yang dinyatakan seÂbagai ‘daerah bebas pajak,’ alias kawasan perdikan.
Oleh : Bang Sem Haesy
Kesetiaan rakyat Pajajaran membayar pajak, termasuk di Kabuyutan Jatisunda (Kanekés – Baduy, sekarang), disebabkan oleh kenyataan, pelayanan pemerintah kerajaan dirasakan nyata oleh mereÂka. Rakyat leluasa ngejo, mencari nafkah dan mengolah daya ekonomi mereka yang bersumber dari alam. Rakyat leluasa melakukan ikhÂtiar hidup, karena pemerintah ngahejo: mengelola sumberÂdaya alam secara tepat dan benar.
Antara lain memberlakuÂkan pamali. Setidaknya dalam dua hal: nuaran tatangkalan, melakukan penebangan pohon tanpa menanam sebelumnya; dan ngabarubuh gunung, melÂakukan penambangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penambangan yang benar.
Merujuk pada Prasasti III/IV pajak yang diberlakukan di Pajajaran meliputi dasa, caÂlagara (di Majapahit disebut walagara), kapas timbang, dan paré dongdang. Kapas timÂbang, di Baduy disebut upeti. Sedangkan paré dongdang disÂebut sebagai panggêrés reuma.
Rakyat sebagai manaréng (wajib pajak) membayar pajak, juga karena oleh kejujuran dan keadilan pangurang (petugas pajak) dalam menjalankan tuÂgasnya. Baik dalam pemberÂlakuan pajak perseorangan (termasuk pajak penghasilan) yang disebut dasa, maupun pajak badan atau calagara. PaÂjak pendapatan ini di jaman penjajahan Belanda berkuasa, jenis pajak dasa ini disebut dengan istilah heerendiensten.
Menurut Saleh DanasasÂmita, Yoseph Iskandar, dan Enoch Atmadibrata, Calagara merupakan pajak kolektif yang dibebankan kepada desa dan usaha kolektif rakyat untuk kepentingan umum. Calagara berasal dari bahasa sanskerta. Cala bermakna barisan, gara bermakna pelayanan atau servis. Pajak dipungut kolektif untuk kepentingan meningÂkatkan pelayanan umum. CaÂlagara dikutip oleh wado, alias supervisor di lingkungan kerja.
Akan halnya kapas timÂbang yang juga disebut upÂeti, merupakan pajak berupa kapas sebanyak 10 carangka (pikul), yang dipersembahkan kepada pemerintah, melaÂlui pemimpin utamanya (misÂalnya bupati atau walikota). Di Lebak masih berlaku sampai kini, berupa penyerahan upeti kepada Bapa Gede atau Ambu Gede. Kapas timbang hanya berlaku bagi daerah-daerah yang menanam kapas, bagi daerah yang menanam umbi-umbian, sayur-mayur, peterÂnakan, dan penambangan, dibayar dalam bentuk hasil usaha tersebut.
Paré dongdang atau padi ayun adalah jenis pajak yang dibayar dalam bentuk turiÂang, yaitu padi yang dipanen belakangan, karena terlambat berbuah. Bisa juga, karena diÂtanam belakangan. Pada masa itu, pola tanam padi belum menetap pada sawah tertentu, melainkan masih dengan pola ladang berpindah.
Dari aspek tradisi dan buÂdaya, turiang memang bukan merupakan padi yang harus diÂjual atau dimakan oleh petani. Tetapi, padi yang memang secara khusus ditanam untuk kepentingan memenuhi kewaÂjiban pajak.
Dalam konteks lain, ada juga yang menyebut, turiang merupakan hak para lelembut sebagai intuitive reason atas hak pemerintah yang bertuÂgas menjaga dan memelihara kesuburan alam lingkungan. Pare dongdang disebut pangÂgêrés reuma, karena padinya memang dituai belakangan dibandingkan dengan padi utaÂma untuk kepentingan hidup rakyat. Bisa juga disebut, keÂwajiban pajak dilakukan oleh rakyat, setelah rakyat terlebih dahulu merasakan manfaat dari pelayanan pemerintah.
Selain pajak, pendapatan daerah juga diperoleh dari restribusi yang disebut beya, yang dikutip dari pelabuhan, muara sungai, dan aliran sunÂgai. Terutama terkait dengan transportasi pengangkutan hasil bumi.