Nia S. Amira
[email protected]
Nun di ujung timur nusanÂtara, anak-anak di sekolah SMK Dafonsoro terlihat senang dan bersemangat saat saya berkunjung bulan FebÂruari lalu. Anak-anak Papua yang haus pendidikan dan pergaulan dengan sesama teman dari daeÂrah lain merasa mendapatkan setitik air di tengah panasnya udara kota Sentani yang hanya berjarak 10 menit dari bandara. Dengan luas 225.90 km2 dan penduduk sekitar 44.779 jiwa menuÂrut sensus tahun 2010, Sentani yang merupakan kecamatan di Kabupaten Jayapura, Propinsi Papua ini memiliki kesempatan yang luas bagi masyarakatnya yang ingin berkembang dan maju, terutama para generaÂsi mudanya.
Sekolah yang dibangun dengan semangat kecintaan kepada dunia pendidikan serta rasa kepedulian terhadap masa depan anak-anak Papua terlihat masih membutuhÂkan sentuhan-sentuhan dari orang-orang yang benar-benar ingin memÂbantu keberlangsungan pendidikan. Zakarias Yoppo (53) sang Kepala Sekolah yang dahulu pernah berkeÂcimpung di dunia politik berputar haluan karena miris melihat masih banyak anak-anak dari daerah peÂgunungan di sekitar Jayapura yang ingin bersekolah namun tiada daya karena kemiskinan. Zaka, demikian ia biasa dipanggil terlihat lebih Jawa dari orang Jawa dan terkesan jauh dari karakter orang Papua kebanÂyakan.
Ia merupakan motor pengÂgerak sekolah yang didirikannya atas dasar cinta kasih kepada genÂerasi muda Papua bersama sahaÂbat-sahabatnya Marcel The, Benny Yarisitauw dan Nicodemus Imbir. Sebagai orang yang lama menetap di Yogyakarta dan banyak bergaul dengan berbagai kalangan di tanah Jawa serta lulus dari Universitas Immanuel Yogyakarta jurusan TeoÂlogi tahun 1992, Zaka sangat paham bahwa tidaklah semudah membalik telapak tangan jika ingin membanÂgun tanah kelahirannya terutama di bidang pendidikan di kota kelahiÂranya di Sentani. Zaka yang juga meÂmiliki dua anak dari penikahannya dengan Cornelia Mnusefer ini sadar bahwa ia harus bekerja ekstra keras membangun hubungan dengan berÂbagai pihak agar ia dapat mewujudÂk a n cita-cita anak-anak Papua menjadi tuan rumah di tanah sendiri.
Akan halnya anak-anak diÂdiknya yang sering tertidur pada jam-jam pelajaran berlanÂsung, Zaka maupun ketiga sahaÂbatnya tidak memberlakukan hukuman karena sudah diketahui anak-anak tersebut tinggal jauh dari keluargnya dan bekerja di ladang petani ubi jalar demi pemenuhan pangan mereka sehari-hari.
Zaka tidak pernah meneteskan airmata, sebaliknya di balik sikap lembutnya ia berpikir layaknya Semar yang selalu ingin mengayomi semua pihak. Berada di ujung nasib anak-anak didiknya, Zaka senantiaÂsa berdoa dan selalu berpikir positif bahwa suatu hari jika memang TuÂhan berkehendak, dan dengan duÂkungan sahabat-sahabatnya dapat membangun pendidikan di Sentani dengan lebih baik lagi.