Saya sependapat dengan pandangan Wang Gungwu (China and the Chinese Overseas, 1995), tentang pola migrasi orang Tionghoa berbasis kepentinÂgan dagang dan spiritual, terutama mereka yang bermigrasi ke Selatan.
Bang Sem Haesy
DENGAN pola huasang (bisnis dan bercocok tanam), penÂduduk Cina yang nyaris tak terkendali populasinya di era Dinasti Ming, mencari wilayah baru untuk menyejahterakan hidupnya. Situasi di abad ke 13 itu terus berlangsung sampai abad ke 17.
Kendati demikian, tak keliru juga pandangan yang menyebut, migrasi mereka karena alasan huagong (menjadi buruh) seperti yang berlaku kini. TeruÂtama karena berbagai keraÂjaan di Nusantara, termasuk Pajajaran memerlukan pekerja di sentra-sentra bisnis mereka. Kala itu, Pajajaran mempunyai pelabuhan sohor, seperti Banten, Jayakarta, Tangerang, dan Ciwandan. Terutama dari kalangan suku Hokkian, Hakka, dan Kanton dari Fukkien dan Kwantung.
Ketika Laksamana Cheng Ho (ZhengÂhe) berlayar ke Nusantara, orang-orang Tionghoa sudah bermukim di wilayah-wilayah pelabuhan Pajajaran, itu terÂmasuk wilayang tanjung atau Ujung Karawang – Muara Gembong sekarang. Kedatangan mereka diterima baik, kareÂna secara historis, jauh berabad-abad seÂbelumnya, telah terjadi hubungan diploÂmatik antara Raja Tarumanegara (yang di Cina dikenal sebagai Tolomo) dengan Kerajaan Lama Tiongkok. Hubungan diÂplomasi itu ditandai dengan kedatangan pendeta Buddha bernama Fa-Hien (Fa Xien), pada 413 M.
Fa Hien inilah yang mengisahkan tenÂtang kerajaan hindu Tarumanegara di alÂiran Sungai Citarum. Fa Hien kemudian bergerak ke beberapa daerah di aliran Sungai Ciliwung, dan tak mendapatkan satupun penduduk yang masih beragaÂma Budha. Ketika Laksamana Cheng Ho singgah di Banten – Jayakarta dan Ujung Karawang, dia membawa serta ulama IsÂlam yang kemudian turun dan menetap di Karawang.
Orang-orang Tiongkok kala itu sudah berniaga di pelabuhan-pelabuhan PajajaÂran, melakukan bisnis produk pertanian, seperti beras, lada, tamarin, dan gula aren. Selain itu, mereka juga berkongsi dan memperoleh izin dari Raja PajajaÂran untuk mengerjakan tanah pertanian, menanam merica dan bersawah. TerÂmasuk memperkenalkan perkakas dari logam sebagai bagian dari budaya DongÂsun yang sebelumnya mereka ajarkan di Siam, Vietnam, dan negeri-negeri NusanÂtara lainnya.
Pada awal abad ke 17, orang-orang Tiongkok ini memperoleh fungsi khas, ketika armada Belanda dipimpin CorÂnelis de Houtman mendarat di Jayakarta – yang kemudian membentuk persekutuÂan dagang VOC (Verenegde Oost Indische Compagnie) – 1602, berbasis di muara Sungai Ciliwung, dekat dengan Pecinan. VOC kemudian menjadi penjajah, sekaliÂgus mengambil alih begitu saja wilayah-wilayah yang tercatat dalam perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis.
Hubungan Pajajaran dengan TiongÂkok yang sudah ada sejak lama dirusak oleh penjajah Belanda dan ingin menÂguasai seluruh wilayah Pajajaran, sekaÂligus mengadu-domba imigran Tiongkok dengan penduduk asli Pajajaran. Mereka merusak nilai hidup yang terbangun seÂbelumnya. Hubungan berbasis nilai triÂgeuing.
Sebelum Belanda merusak, hubunÂgan Tiongkok – Pajajaran sama-sama menghidupkan prinsip trigeuing, itu. Hubungan yang dilandasi nilai-nilai tata krama atau etika bisnis yang tampak dalam hasrat, ucap, dan budi.
Hubungan berbasis trigeuing itu, meliputi pada: Geuing, hubungan beroÂrientasi kesejahteraan dan kemakmuran, dalam keadaan cukup pangan bagi rakyÂat Pajajaran. Lalu, orang-orang Tiongkok mendatangkan tekstil, dan bersama-sama menciptakan kondisi upageuing : cuku sandang (berpakaian, berganti pakaian, dan olah cipta kreasi busana). Kesemua itu dikelola berdasarkan prinÂsip parigeuing, sikap profesional dalam menjalankan pemerintahan dan kekuaÂsaan berbasis nilai budaya.