JAKARTA, TODAY — Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sejak 2013 lalu tidak berdampak signifikan terÂhadap ekspor Indonesia. Padahal pada teorinya, pelemahan nilai tuÂkar mampu meningkatkan ekspor dari produk dalam negeri.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara menjelaskan, hal tersebut dikarenaÂkan ekspor Indonesia paling besar adalah sektor komoditas mentah. Sementara, harga internasional yang berlaku tengah menurun tajam.
“Karena ekspor kita lebih dari 50% komoditas, bisa nggak real effective exchange rate itu memÂbantu ekspor? Kurang bisa,†kata Mirza, dalam seminar berteÂmakan Arah Kebijakan Moneter dan Fiskal di 2016 di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016) Produk yang bisa meningkatkan ekspor ketika nilai tukar melemah adalah hasil manufaktur. Berbeda dengan barang mentah. “Kalau indeksnya 95-97, artinya rupiah sedikit di bawah fundamental yang ada, maka barang manufaktur kita pada waktu ekspor relatif lebih muÂrah,†ujarnya.
Persoalan yang turut muncul adalah, pasar tujuan dagang IndoÂnesia tidak banyak. Mitra dagang utama Indonesia, sekarang dalam kondisi yang buruk. AS masih sulit mendorong ekonominya tumbuh tinggi, China dalam perlambatan serius dan negara-negara Eropa juga mengalami hal yang sama.
“Kalau negara di sana resesi, apalagi ekspor kita komoditas, maka kurs nggak bisa memÂbantu. Maka itu, yang bisa kaÂlau produknya manufaktur dan negara tujuan ekspornya deÂmand-nya besar,†papar Mirza. Perhatian BI adalah pada neraca perdagangan. Pemerintah berÂniat mendorong pertumbuhan ekonomi, dan hal itu akan memiÂcu lonjakan impor. Bila ekspor tidak digenjot, maka mendorong defisit yang melebar.
“Negara kita impornya besar, seÂhingga stabilitas kurs penting sekali. Menurut BI, kurs yang sekarang sudah kurs yang kompetitif untuk produk manufaktur,†tukasnya.
(dtc)