Oleh: MAHATHIR MUHAMMAD IQBAL
Dosen pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Di Sumatra dan Ka­limantan, termoni­tor dari satelit Terra dan Aqua, hot spot sebanyak 224 dan 1.306 titik, Ahad (25/10). Perkem­bangan terakhir, seperti yang dilansir Badan Meteorologi Kli­matologi dan Geofisika (BMKG), udara yang mengandung partikel beracun itu sudah mulai menja­mah Pulau Jawa. Kehadiran asap itu dirasakan sebagian masyara­kat Jakarta dan sepanjang pantai utara Jawa.

Dari catatan Badan Nasi­onal Penanggulangan Bencana (BNPB), masih terdapat 13 provin­si lain yang sama eksis dalam produksi asap, yakni Aceh, Su­mut, Sumbar, Riau, Kepri, Ba­bel, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Kalsel, Kaltim, dan Kalteng. Dari 14 provinsi itu, baru tiga provinsi yang memiliki perda larangan membakar, yakni Riau, Kalbar, dan Kalteng.

Paparan kabut asap dari pem­bakaran lahan dan hutan di In­donesia semakin luas. Masalah kabut asap ini terjadi dari tahun ke tahun hingga Singapura, Ma­laysia, dan Filipina terdampak kabut asap. Pekatnya kabut asap yang menyelimuti udara, mem­buat Pemerintah Filipina mem­batalkan sejumlah penerbangan.

Paparan asap di Filipina lebih ringan dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Singapura, negara yang terparah terpapar asap, saat pertemuan di Malaysia, mendesak anggota ASE­AN melakukan upaya tegas dalam mengatasi kebakaran hutan di In­donesia.

Faktor alam yang memenga­ruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan, antara lain, dataran Indonesia terdiri atas 10 persen lahan gambut yang banyak berte­baran di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Lahan gambut meru­pakan lahan basah yang isinya banyak mengandung karbon karena terbentuk dari hasil tum­buhan yang setengah membusuk.

Umumnya, gambut sulit diba­kar, tapi saat kering sangat mudah terbakar karena mengandung karbon yang tinggi. Sifat lahan ini bisa berubah menghasilkan api tiga kali lebih besar dari biasa.

Terbakarnya lahan gambut meskipun tak semua, tapi ban­yak disebabkan oleh perusahaan nakal. Mereka membakar hutan untuk dijadikan lahan pertanian baru, mengeringkan lahan gam­but ditambah musim kemarau tiap tahunnya hingga mudah terbakar, dan sering membakar hutan tersebut hingga apinya ber­tahan berminggu-minggu.

Para pemodal asing berada di balik kebun-kebun sawit In­donesia, sektor yang ditengarai banyak terkait dengan keba­karan hutan. Hasil studi dari situs Mongabay bahwa bank-bank dan investor asing adalah pemodal besar di balik operasi kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit di negeri ini.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Memang belum tentu kelom­pok-kelompok besar yang memba­kar atau membiarkan lahannya ter­bakar, tapi di antara yang diproses hukum, jelas ada perusahaan sawit yang pemodalnya asing.

Meski kondisi kabut asap sudah masuk kategori darurat, pemerintah daerah belum mene­tapkan wilayahnya masuk kondisi darurat asap, masih menetapkan siaga bencana asap, belum tang­gap darurat asap seperti di Riau dan Kalimantan Barat.

Indeks standar pencema­ran udara (ISPU) di wilayah ke­bakaran hutan berada di level berbahaya bagi pernapasan ma­nusia. Mengacu pada data Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, asap juga men­gakibatkan 503.874 orang mend­erita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sejak 1 Juli hingga 23 Oktober 2015. Mereka tersebar di enam provinsi. Dan, lebih dari 43 juta penduduk terpapar asap.

Di bidang ekonomi, kabut asap terutama mengganggu jad­wal penerbangan. Potensi lain yang hilang, antara lain, trans­aksi belanja wisatawan, jasa sewa kendaraan, dan ekspedisi barang antardaerah yang nilainya Rp 5 miliar per hari.

Sektor perdagangan lebih berdampak pada transaksi 600 kilogram udang ketak per hari dari nelayan Tanjung Jabung Barat untuk memasok kebutuhan restoran di Jakarta bernilai Rp 800 juta per hari saat ini hilang. Biasanya, udang dikirim meng­gunakan pesawat, tetapi pengiri­man dihentikan sementara akibat kabut asap.

Investigasi oleh otoritas ber­wenang terhadap pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas kebakaran hutan harus terus tetap dilakukan. Menilai pemer­intahan di bawah kendali Jokowi-Jusuf Kalla tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan adalah sesuatu yang berlebihan.

Pemerintah sudah meng­gunakan berbagai cara untuk menanggulangi agar masyarakat terbebas dari kabut asap, di an­taranya melalui operasi terpadu yang melibatkan beberapa instan­si dan kepala daerah terkait untuk lebih cepat melakukan langkah terkoordinasi serta memobilisasi semua sumber daya.

Melakukan tindakan hukum terhadap seluruh pihak yang ber­tanggung jawab dan terlibat pem­bakaran hutan serta memberi sanksi dengan mencabut izin hak pengelolaan hutan yang diberi­kan pemerintah.

Pemerintah juga telah mengerahkan 25 unit pesawat untuk melakukan water bombing di Su­matra dan Kalimantan. Seluruh pesawat itu berkapasitas 4.500 liter air. Spesifikasinya tidak jauh beda dengan pesawat yang dita­warkan Pemerintah Singapura.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Keputusan pemerintah mem­berangkatkan KRI Suharsono dari Surabaya ke Banjarmasin patutlah diapresiasi. Kapal jenis landing platform dock (LPD) atau kapal rumah sakit ini untuk men­gevakuasi dan mengobati korban bencana asap. Berbekal peralatan medis, obat-obatan ISPA, kela­hiran, gigi, hingga bedah minor dan sejumlah masker, selimut, serta obat darurat juga diberikan kepada masyarakat Banjarmasin.

Untuk mendukung logistik, 28 anggota tim medis, seperti dokter spesialis paru, dokter gigi, dokter umum, bidan, hingga regu evakuasi ditambah sejumlah perawat dan tenaga pendukung medis lainnya. Lebih dari itu, seyogianya pemerintah harus merumuskan strategi jangka pan­jang untuk menanggulangi keba­karan hutan dan lahan di berb­agai wilayah.

Sebenarnya, pemerintah sudah merumuskan kebijakan melalui one map policy. Hal itu merupakan instruksi Presiden Jokowi untuk memperbaiki tata kelola gambut.

One map policy itu akan men­jadi panduan dalam melihat se­cara keseluruhan kondisi hutan dan lingkungan hidup di Indo­nesia. Di dalamnya juga tercan­tum kekayaan alam, posisi lahan konsesi, dan hutan alam yang di­miliki Indonesia. Sehingga, dapat dijadikan acuan dalam memberi­kan kebijakan dan izin terkait ka­wasan hutan maupun nonhutan.

Masalah kabut asap bukan urusan pemerintah saja. San­gatlah tidak arif kalau semua itu ditujukan kepada pemerintah seolah-olah kesalahan menjadi tanggung jawabnya. Masalah ini menyangkut nilai-nilai kemanu­siaan yang menjadi perhatian dan mencari solusi bersama, terutama langkah pemadaman kebakaran hutan dan lahan.

Kini, sudah waktunya pemer­intah membuat perubahan dalam pengelolaan hutan, dari pendeka­tan sektoral yang sempit menjadi kebijakan lintas sektor yang luas. Misalnya, pertama, mewajibkan para pembuat keputusan mem­perhitungkan nilai hutan secara menyeluruh, termasuk fungsi-fungsi pelayanan lingkungan dan keanekaragaman hayati, bukan hanya produksi kayu dan komo­ditas lain.

Kedua, mengidentifikasi semua sektor dan kelompok yang memperoleh manfaat dari hu­tan. Ketiga, menyediakan me­kanisme untuk menjamin bahwa kebijakan di semua sektor yang berpengaruh terhadap hutan dapat konsisten dengan sasaran kehutanan nasional. Keempat, berusaha menghindari konflik, memadukan penggunaan yang berkesesuaian dan memisah­kan penggunaan hutan yang berkelanjutan.

Sumber: Republika.co.id

============================================================
============================================================
============================================================