JAKARTA, TODAY — Pemerintahan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla ( JK) berencana menghapusÂkan utang yang selama ini mendera Perusahaan DaeÂrah Air Minum (PDAM). TuÂjuannya agar PDAM bisa berekspansi menambah 10 juta sambungan baru air minum, sepÂerti yang menjadi tarÂget pemerintah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, pemutihan utang PDAM yang nilainya Rp 3,2 triliun ini bisa dilakuÂkan dengan mengonÂversi utangnya menjadi saham oleh Pemda. Seperti diketahui, utang 386 PDAM mencapai Rp 3,2 triliun terÂdiri dari utang pokok Rp 849 miliar, dan bunga Rp 2,4 triliun. Memang tidak semua PDAM terlilit utang, tapi jumlahnya cukup banyak. Utang ini merupakan utang pemerintah daerah (Pemda) kepada pemerintah pusat. “(Utang) dihibahkan, dikonversi menjadi penyertaan modal oleh pemÂdanya,†jelas JK di kantor Wapres, JaÂkarta, Selasa (12/1/2016).
JK mengatakan, air minum meruÂpakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi. Tapi sudah lama PDAM tidak berkembang karena uruÂsan utang dan bisnis yang tidak ekonoÂmis. Sebab tarif air minum dibiarkan terlalu murah, dan tidak sesuai dengan ongkos produksi yang dikeluarkan. “Proses bisnis dari PDAM itu memang tidak mudah, karena harga-harganya ditentukan oleh DPR setempat, sehingÂga perkembangannya lambat,’’ kata JK.
Oleh karena itu, lanjut Wapres, kita membantu untuk pengembangnÂnya sampai dua kali lipat kapasitasÂnya, 20 juta. Sebelum itu dijalankan, harus seluruh PDAM itu bersih dari beban-beban utang, karena dengan cara itu bisa dikembangkan.
Menurut JK, langkah ini tidak akan menghilangkan penerimaan negara. Justru penerimaan pajak akan naik. Karena bila PDAM bersih dari utang, maka bisnisnya akan berkembang. “Ini tidak ada transaksi keuangan, hanya administrasi saja. Jadi modal pemerintah daerah akan ditingkatÂkan dengan cara pemerintah mengÂhibahkan utangnya ke Pemda. Pemda membayar itu kemudian terjadi begiÂtu, tidak ada transaksi keuangannya, administratif saja,†jelas JK.
Lantas apa dasar hukum penghaÂpusan utang ini? “Yang penting rakyat dapat air yang baik. Hukumnya nanti diatur, pasti ada. Jangan karena ada pasal sekian, Keppres sekian, rakyat tidak dapat air minum, dan lain-lain. Pemerintah tidak begitu,†kata JK.
Pembangunan masif di sektor air minum Indonesia dimulai sejak 1990an. Namun sejak desentralisasi perusahaan air minum, tak ada lagi pembangunan besar. Presiden Jokowi menargetkan pembangunan sambunÂgan air baru sebanyak 10 juta. TantanÂgannya, saat ini dari 386 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada, banyak yang sakit dan terlilit utang yang nilainya hingga Rp 3,2 triliun. Apa yang dilakukan pemerintah?
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono mengatakan, dari utang tersebut, sebanyak Rp 849 miliar merupakan pokok utang dan Rp 2,4 triliun merupakan bunganya. “Untuk membantu percepatan penambahan 10 juta sambungan rumah, kita akan bantu PDAM tapi dengan kriteria, itu materialnya, pipanya, meterenÂnya, fitting-nya atau sambungannya untuk mereka nanti pasang sendiri untuk mencapai 10 juta sambungan rumah tambahan. Ini ditugaskan 3 bulan ke depan semua sudah harus mulai dilaksanakan fisiknya,†tutur Basuki usai membahas PDAM di KanÂtor Wakil Presiden, Selasa (12/1/2016).
Tidak semua PDAM terlilit utang. Basuki menjelaskan, hanya 5 PDAM yang punya utang lebih dari Rp 100 milÂiar. Sementara yang lain utangnya hanÂya kisaran Rp 5 miliar. Di tempat yang sama, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada sejumÂlah opsi yang dibahas terkait penyelesaÂian utang PDAM tersebut. Salah satunya adalah, mengonversi utang menjadi saÂham atau kepemilikan. “Utang (PDAM) ini adalah utang Pemda ke pemerintah pusat, menjadi penyertaan modal dari Pemda di PDAM-nya masing-masing. Prosesnya akan kami ajukan nanti dalam APBN Perubahan 2016, dan tenÂtunya nanti akan ada proses untuk meÂmastikan bahwa Pemda akan siap meÂnyuntikkan utang tadi menjadi modal di PDAM,†papar Bambang.
Bila ini bisa dilakukan, dan utang PDAM bisa dihapus, maka diharapÂkan PDAM bisa membantu pemerinÂtah menambah sambungan air baru hingga 10 juta.
(Yuska Apitya/dtk)