Oleh: ROSTAMAJI KORNIAWAN
social entrepreneur, analis masalah ekonomi dan sosial
Indonesia yang memiliki karakteristik wilayah yang terbagi dalam beberapa provinsi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terÂhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Sejarah telah memÂbentuk dan membuat regulasi agar tingkat kerentanan ini dapat dihindari.
Undang-Undang (UU) OtoÂnomi Daerah dan UU PerimbanÂgan Keuangan Pusat dan Daerah masih saja menimbulkan pro dan kontra ketika pengelolaan daerah masih menyisakan ketidakseimÂbangan dalam masyarakat.
Kehadiran UU Desa diharapÂkan bisa memberikan kontribusi yang positif, terutama untuk menghindari potensi perpecahan yang bisa saja terjadi akibat ketiÂdakseimbangan dalam masyaraÂkat secara keseluruhan.
Namun demikian, kehadiran UU Desa yang bertujuan untuk menyalurkan sebagian dana pemda kepada pengelola desa agar dikelola secara mandiri maÂsih menjadi tanda tanya meskipÂun pemerintah pusat dan daerah bersemangat untuk memberiÂkan pemerataan kepada seluruh wilayah Indonesia.
Pemerintah menjaga agar jangan sampai hal itu menjadi bumerang bagi pemerintahan desa. Tentu dibutuhkan waktu untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintah desa agar mampu mengelola secara manÂdiri dana desa yang disalurkan pemda. SDM masih menjadi tolok ukur kemampuan desa mengeÂlola dana desa.
Sementara itu, tradisi, budaÂya, dan kondisi lingkungan yang tidak sejalan dengan program pembangunan juga masih menÂjadi kendala pembangunan SDM.
Oleh karena itu, perbaikan terhadap kemampuan intelektual dan emosi masyarakat desa perlu mendapatkan perhatian dan penÂgawasan pemda setempat.
Perbaikan kualitas SDM desa pada dasarnya sudah termasuk dalam program peningkatan kualitas manusia Indonesia seÂcara keseluruhan. Hanya saja, kendala dan hambatan masih terjadi saat program ini dilakÂsanakan pemerintah.
Pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beaÂsiswa kepada pelajar yang kurang mampu, baik dari institusi swasta maupun pemerintah, sampai implementasi program IndoneÂsia mengajar yang digagas MenÂdikbud Anies Baswedan adalah contoh kepedulian sosial untuk memperbaiki kualitas SDM IndoÂnesia agar pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia lebih menunjukkan gigi taringnya.
Program-program tersebut ditujukan untuk seluruh maÂsyarakat Indonesia, walaupun dalam realisasi jangkauannya masih sangat terbatas. Hal inilah yang dialami masyarakat desa, ketika program peningkatan SDM gencar dilontarkan pemerintah, masyarakat desa justru masih kurang untuk meningkatkan kapasitasnya.
Keterbatasan akses mendapatkan informasi, kendala fasiliÂtas, infrastruktur, dan perangkat kebijakan juga merupakan pengÂhalang peningkatan kapasitas penduduk desa karena butuh perÂtanggungjawaban yang kredibel dan transparan kepada masyaraÂkat dan institusi pengawas ketika dana desa mulai disalurkan dan digunakan pemerintah desa.
Oleh sebab itu, pemerinÂtah pusat tidak serta-merta bisa menerapkan secara keseluruhan apa yang telah diamantkan dalam UU Desa.
Permasalahan utama di daerah adalah rendahnya penÂgendalian, pengawasan, dan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan penggunaan anggaÂran negara. Ketika pengetahuan belum memadai, tanggung jawab sosial kurang, dan kondisi lingÂkungan sosial dan politik kurang mendukung, maka mutu perÂtanggungjawaban pengelolaan dana desa rendah.
Jika pemerintah mengharapÂkan masyarakat desa dapat mereÂalisasikan penggunaan dana desa secara tepat dalam jangka pendek, output pertanggungÂjawaban dana desa tersebut haÂrus menjadi prioritas utama. Ini untuk mencegah terjadinya tinÂdakan kelalaian dan perbuatan sengaja yang merugikan keuangan negara.
Pemerintah saat ini memang sedang merancang regulasi yang mengatur tentang mekanisme penggunaan dana desa tersebut. Regulasi ini dibentuk untuk memÂbuat mekanisme pengelolaan dana desa agar data digunakan secara transparan dan bertangÂgung jawab.
Upaya ini pada dasarnya merupakan langkah awal, meskiÂpun keraguan terhadap penÂgelolaan dana desa yang bisa dipertanggungjawabkan masih dipertanyakan.
Tantangan ke depan yang harus dihadapi masyarakat desa adalah integrasi ekonomi tahun 2015, yang secara harafiah telah menyeret masyarakat Indonesia ke arus liberalisasi.
Masyarakat desa pun akan terkena imbasnya, meskipun ekses negatifnya tidak sampai ke masyarakat desa. Namun demikiÂan, masyarakat desa diharapÂkan dapat berpartisipasi untuk mewujudkan masyarakat IndoneÂsia yang sejahtera.
Penyaluran dana desa akan menjadi momentum penting bagi masyarakat desa dalam beroleh kemajuan. Dalam hal ini, kalanÂgan perbankan dan nonperbankÂan dapat mengambil manfaat momentum ini sebelum integrasi finansial benar-benar diberlakuÂkan.
Pelayanan jasa penyaluran dana desa kepada pemerintah desa merupakan kesempatan yang dapat digunakan untuk memperluas pasar domestik seÂcara luas.
Pertama, perbankan bisa mengambil kesempatan ini denÂgan menempatkan unit cabang pembantunya di wilayah desa yang belum terjangkau.
Kedua, jika perbankan belum mampu memberikan pelayanan secara vertikal kepada masyaraÂlat desa, penggunaan jasa nonÂperbankan seperti kantor pos dapat menjadi salah satu alternaÂtif penyaluran dana desa.
Secara prinsipial, mekanisme pembayaran dan penerimaan keuangan negara yang tidak dapat dilayani melalui jasa perÂbankan konvensional sudah diterapkan kantor pos sejak beÂberapa tahun lalu.
Transformasi jasa pos saat ini sudah mengalami peningkaÂtan, sehingga penggunaan jasa pos sudah tidak perlu diragukan lagi. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan inÂformasi dan pengetahuan tentang peluang dan tantangan integrasi ekonomi ke depan, terutama untuk masyarakat desa sehingga mereka dapat melihat proses inÂtegrasi ekonomi secara objektif. Terlepas dari itu, perbaikan infraÂstrutur desa dan masyarakat desa merupakan hal yang harus didaÂhulukan. ***
sumber: suarakarya.id