BEGITU pentingkah para seniman memperoleh penghargaan? Tentu saja, karena penghargaan adalah simbol dari pengakuan orang lain terhadap karya-karyanya. Masalahnya adalah dari siapa penghargaan itu datangnya. Ini yang beda.
Oleh: RIFKY SETIADI
Perbedaan ini menjadi prinsip dari perjalanan kesenimanan seÂseorang. Perbedaan ini pula yang bisa menunjukkan sejauh mana ketekunan seniman itu berkarya dan seÂjauh mana mereka setia pada profesinya. Begitu juga berbagai profesi yang bergeÂlut dan ikut membesarkan kesenian itu sendiri, baik itu penulis, wartawan, kritiÂkus, penyelenggara seni, galeri, dan lain sebagainya.
Mungkin saja ada yang mengejar penghargaan itu. Ibarat seorang pemÂburu, mereka tak akan merasa puas seÂbelum mendapatkan binatang buruanÂnya. Begitu pula seniman yang mengejar penghargaan. Ia belum puas kalau tidak mendapat penghargaan, entah itu beruÂpa secarik kertas yang bernama piagam, atau lambang-lambang lain seperti piala. Cara memburu penghargaan itu, misalÂnya, mengikuti setiap lomba. Seniman jenis ini hanya aktif berkarya kalau ada perlombaan.
Dalam seni tulis, perlombaan itu misÂalnya mengarang cerita pendek, puisi, prosa, artikel, kritik seni, ulasan karya dan sebagainya. Seringkali terjadi dalam lomba-lomba semacam ini kita menemuÂkan penulis baru yang sebelumnya tak pernah kita baca karyanya. Begitu pula dalam seni tari atau seni tabuh, tiba-tiba saja kita menemukan grup kesenian baru, kelompok yang muncul tiba-tiba atau bahkan sengja bersaing dengan sanggar yang dulu pernah menjadi induknya.
Sah-sah saja para seniman memburu penghargaan. Tetapi kalau tujuannya hanya penghargaan dari suatu perlomÂbaan yang jurinya terbatas, penghargaan itu bisa jadi sesuatu yang semu. SeringÂkali terjadi penghargaan yang datang dari perlombaan tidak berdampak apa-apa di masyarakat. Karena menyangkut selera. Bisa jadi selera para juri dalam ajang perÂlombaan tidak klop dengan selera yang berkembang di masyarakat.
Banyak sekali contoh soal itu. Film-film terbaik hasil Festival Film IndoneÂsia ternyata tidak laku ketika diputar di gedung-gedung bioskop. Lagu pemenang sebuah festival nyanyi, albumnya justru seret di pasaran. Masyarakat punya selÂera tertentu yang bisa saja dibentuk oleh berbagai media yang didukung kalangan industri. Dukungan industri ini yang bisa menjelaskan kenapa penyanyi pemenang festival belum tentu langsung mencuat di masyarakat. Ada kalanya yang tidak menang festival justru albumnya laris manis.
Di bidang seni lukis pun, tak semua karya-karya yang lolos dalam pameran, mutunya lebih bagus daripada karya yang tidak lolos. Meski kurator punya peÂdoman untuk mengukur karya yang bisa dipamerkan, urusan selera sangat sulit untuk disepakati. Sayangnya selera maÂsyarakat tak bisa dilembagakan karena masyarakat bukan kurator.
Dalam upaya pembinaan kebudayÂaan di Kota Bogor, Dinas Pariwisata, KeÂbudayaan dan Ekonomi Kreatif (DisbudÂparekraf) Kota Bogor, biasa memberikan penghargaan kepada seniman dan penÂdukung kesenian atau kebudayaan di Kota Bogor. Perhelatan itu biasa diberi nama Malam Anugerah Seni Kota Bogor. Tahun ini, gelaran itu akan berlangsung pada Jumat, 30 Oktober 2015 mendatang.
Meski sudah biasa dilakukan, namÂpaknya tak terlihat ada upaya perbaikan untuk menetapkan nominasi yang panÂtas dan terukur. Penetapan penghargaan hanya didasari pada diskusi dan perdeÂbatan kecil yang kemudian pada akhÂirnya disepakati. Itu pun selalu memperÂtimbangkan persoalan pernah dan tidak pernah, dangkal, tanpa analisis, sehingga seolah-olah penghargaan itu hanya perÂsoalan giliran saja. Semua orang bisa ditetapkan jadi pemenang anugerah, tinggal antri dan tunggu waktu saja. Lucu, tapi tak membuat kita tertawa.
Ini jelas salah. Penetapan anugerah seni tak cukup hanya dengan menetapÂkan nominasi dan menyepakati para seniÂman penerima anugerah dalam satu meja kecil. Harus ada rekam jejak yang jelas dan pengamatan yang diukur dengan uji waktu dalam rentang tertentu. Rekam jejak itu menjadi penting untuk mengeÂtahui sejauh mana peran perubahan, inoÂvasi dan konsistensi yang dilakukan sesÂeorang dalam mengembangkan kesenian di Kota Bogor. Ini penting, ketika meneÂtapkan nominasi, maka rekam jejak itu dibuka, agar dasar-dasar pemilihan terhaÂdap penetapan itu menjadi jelas. Jangan hanya mengukur dengan kacamata kuda, lempeng dan tanpa melihat sisi lain. Pun harusnya, pengetahuan terhadap satu biÂdang tertentu benar-benar terwakili dan mampu dibedah dengan tajam.
Jalan pertama untuk menilai, berangÂkat dari penunjukan ragam profesi dan sudut wawasan para penjuri yang sehaÂrusnya terdiri dari kurator, pengamat seni,seniman, wartawan, guru seni dan yang mereka ahli sesuai kategori yang ingin dimunculkan, mereka yang mampu melihat dengan benar sebuah kekaryaan, sebuah konsistensi publikasi dan sejauh mana ia melihat upaya seniman dalam menghidukan seni terhdapa publik seÂcara nyata dan hidup. Termasuk juga peranan media yang seharusnya diukur dengan konsistensinya mendukung pubÂlikasi seni, mendorong, menjembatani, mengulas dengan mempertimbangkan kualitas penulisan dan porsi ruang yang ditawarkannya. Bukan didasarkan atas nama besar atau sekedar tahu kulitnya saja.
Sayangnya, penetapan nominasi Malam Anugerah Seni Kota Bogor yang dilakukan dinas tersebut, tak sampai disana. Penilaiannya sangat dangkal dan terburu-buru, terkesan hanya sebuah kompromi sesaat, tanpa dampak, tanpa berharap pada perubahan. Ini yang pasti akan terjadi. Meski begitu, para seniman sejati, sesungguhnya tak perlu terlalu berÂhitung dengan penghargaan versi pemerÂintah ini. Dapat senang, tidak dapat pun tak apa-apa. Bagi mereka, penghargaan dari masyarakat jauh lebih penting, yakni karya-karya mereka dilihat, ditonton, diÂbaca dan dibicarakan, berpengaruh dan dirasakan oleh masyarakat. Itu tentu jauh lebih mengakar dan besar ketimbang anugerahawang-awang yang tidak memiÂliki ukuran jelas. (*)