sabarDALAM sebuah kesempatan diskusi di Dewan Pendidikan Kota Bogor, di awal tahun 2016, Walikota Bima Arya memaparkan lebih jauh gagasannya tentang “ayah hebat”, gagasan yang pernah disampaikan pada acara penanaman pohon di sebuah SD negeri di Bogor Selatan awal Januari 2016. Menurut Bima, gagasan ayah hebat terinspirasi dari sosok ayahnya, seorang polisi yang dalam kesibukan kerjanya selalu menyempatkan diri mengajak anak-anaknya ke lingkungan kerja, sehingga anak-anaknya tanpa disadari mengetahui dan belajar secara langsung dari tokoh dekatnya, yaitu ayahnya.

Oleh: SYABAR SUWARDIMAN, S.Sos., M.Kom
Sekum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Bogor

Ayahnyalah yang ber­peran besar dalam perjalanan Bima se­hingga menjadi wa­likota, hal itu ia ung­kapkan dalam diskusi terbatas di Dewan Pendidikan Kota Bogor. Dalam buku “Titik Balik”, yang diluncurkan menjelang pemili­han Walikota Bogor, Bima men­gakui sebagian besar isi buku itu seperti menceritakan kembali sosok ayahnya, yang sangat dekat dengan dia.

Gagasan Bima sebenarnya sejalan dengan program dari Di­rektorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang dalam berbagai kesempatan mengkampanyekan pentingnya sosok ayah dalam pendidikan anak-anaknya. Hal ini didasari oleh fenomena dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan ternyata lebih banyak melibatkan sosok ibu. Rapat sekolah, pengambilan rapor jika melihat daftar hadir pengambi­lan rapor didominasi oleh ibu-ibu.

Bahkan hal ini diungkapan langsung oleh Mendikbud Anis Baswedan pada saat launching laman sahabat keluarga. Selama ini, menurut Menteri Anies, hanya para ibu yang lebih ban­yak datang untuk mengambil rapor anak atau kegiatan lainnya di sekolah, sedangkan para ayah jarang terlibat. Anies menggaris­bawahi pentingnya peran ibu, na­mun para ayah perlu lebih terli­bat dalam pendidikan anak-anak. “Sebagai orang tua, ayah maupun ibu merupakan pendidik yang utama dan pertama bagi anak-anak,” ujar Anies menambahkan.

Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya agar para ayah mau terlibat dalam pendidikan anak-anaknya di sekolah. Momen-momen kegiatan sekolah harus mampu melibatkan peran ayah secara lebih intens dan banyak dalam kegiatan sekolah.

KISAH DUA AYAH

Kisah ini adalah kisah nyata yang penulis dapatkan secara langsung dari orang tua siswa selama menjadi Kepala Sekolah, kisah pertama adalah kisah kes­adaran “titik balik” seorang ayah yang menyadari kenakalan anak laki-lakinya berasal dari kisahnya di masa lalu. Mengutip periba­hasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” atau kata orang Bo­gor uyah mah tara tees ka luhur, yang artinya sifat ayah pasti akan menurun pada anak-anaknya. Anaknya “sangat nakal”, bahkan pernah hilang dari rumah.

Kenakalan yang diceritakan­nya antara lain, memasang bena­ng tajam layang-layang di jalan pada malam hari, sehingga orang yang lewat (terutama pemotor) akan terjerat bagian tubuhnya, memasang petasan yang sengaja untuk mengagetkan orang, “hi­lang” beberapa hari yang ternya­ta ikut sopir angkutan umum dan menjadi kenek serta kenakalan lainnya yang membuat dirinya terkenal di kompleks perumahan tempat dia tinggal.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

“Titik balik” ayahnya adalah menyadari bahwa kenakalan anaknya itu adalah merupakan bagian dari dirinya yang pernah melakukan hal yang sama dan dibalik kelakuan nakalnya, tentu­nya pernah menyakiti orang lain. Secara syariat tidak mungkin dia mencari orang-orang yang per­nah terdzalimi untuk meminta maaf satu persatu, sehingga akh­irnya dia bertafakur ke Allah SWT, memohon ampun dan sekaligus bernadzar. Sambil memperbaiki hubungan dengan anaknya, satu nadzarnya adalah “berusaha tidak meninggalkan shalat sunah qobla subuh sebanyak 2 rakaat”, shalat sunah ini ganjarannya setara den­gan “dunia dan seiisinya”. Artinya ayah ini tidak akan pernah terlam­bat datang ke Masjid untuk melak­sanakan shalat subuh, karena selalu akan diawali dengan shalat qobla subuh (shalat 2 rakaat sebe­lum shalat subuh). Dia mencerita­kan kisah ini sambil mengucapkan terima kasih, karena sejak duduk di kelas 2 SMA, anaknya berubah total dan pada saat pengumuman SNMPTN dia diterima di salah satu PTN favorit di Indonesia.

Kisah selanjutnya adalah cerita seorang ibu yang dengan perasaan pilu menceritakan suaminya atau ayah anaknya yang seakan tidak peduli dengan perkembangan pendidikan anak laki-lakinya, yang diceritakan adalah tipikal ayah yang merasa sudah cukup dengan “memberikan nafkah atau biaya” sekolah anaknya, sesudah itu ham­pir semua urusannya diserahkan pada istrinya. Padahal anaknya sering bolos sekolah karena kecan­duan game online. Kecanduannya sudah sangat parah, karena sering bahkan harus menginap di tempat dia bermainnya.

Salah satu yang membuat penulis terperanjat adalah fakta bahwa ayahnya juga sering an­teng di depan laptopnya dan itu dilakukan sesudah dia pulang dari kantornya. Kata istrinya hampir bisa dikatakan suaminya jarang berkomunikasi dengan anaknya sepulang dari kantor atau dari tempat kerjanya. Hal ini sudah disampaikan dan diko­munikasikan kepada suaminya, tetapi alasannya dia sudah cukup lelah di tempat kerja dan dia an­teng di depan laptop adalah un­tuk melanjutkan pekerjaan yang belum diselesaikan di kantornya. Tapi menurut istrinya kadang-kadang diselingi dengan bermain game juga.

Pihak sekolah dengan keter­batasan formal tidak akan mam­pu menjaga terus menerus anak dengan kondisi keluarga seperti ini. Perlu ada kesadaran dan kemauan berubah tidak hanya dari anak tetapi dari orang tu­anya. Akhirnya pada saat akan naik ke kelas 3 SMA, ibunya me­mutuskan untuk memindahkan anaknya ke sekolah lain karena perasaan malu terus menerus di­panggil oleh sekolah.

PENDEKATAN TEORITIS KEDEKATAN ANAK DENGAN AYAHNYA

Dr. Kyle Pruett, seorang ahli perkembangan forensik anak, ahli keterlibatan ayah dalam pendidikan dan pengarang buku “Fatherneed : Why Father Care is Essential as Mother Care for Your Child” berpendapat bahwa adan­ya dampak positif pada anak yang mendapatkan bimbingan lang­sung dari ayahnya dalam proses belajar. Dampak positif tersebut mencakup perkembangan fisik, emosi, kognitif dan kebiasaan atau sikap anak. Kenyamanan dari figur seorang ibu memang yang paling dicari anak, namun inter­aksi yang intensif dengan ayah dibutuhkan pula oleh anak.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Sementara Dr. David Pope­noe, seorang sosiolog, pengarang buku “Families Without Fathers” dari The University of New Jersey, menyatakan bahwa IQ (Intel­legence Questions) yang dimil­iki anak yang banyak berinter­aksi dengan ayahnya lebih tinggi dibanding anak yang kurang ber­interaksi dengan sang ayah. Bah­kan lebih dari itu, kemampuan berbahasa dan kognitif yang di­miliki mereka juga lebih baik.

Dalam bukunya Popenoe me­nyatakan komitmen melemahnya ayah untuk anak-anak mereka yang berakhir kemudian dengan per­ceraian, adalah penyebab utama dari banyak masalah terburuk baik secara individu dan maupun sos­ial. Beberapa masalah sosial tanpa kehadiran seorang ayah adalah antara lain : kenakalan remaja, penyalahgunaan obat dan alkohol, kehamilan remaja, ketergantun­gan kesejahteraan dan kemiskinan anak. Ada penemuan dalam pene­litian lain bahwa anak yang terdidik dengan baik oleh ayahnya memiliki masalah di sekolah yang lebih se­dikit dan ketika ia beranjak dewasa jauh dari masalah narkoba.

SAATNYA AYAH LEBIH BERPERAN

Program keterlibatan ayah dalam berbagai kegiatan seko­lah perlu didukung oleh semua pihak. Program ini perlu terus disosialisasikan dan harus men­jadi kesadaran bersama untuk meningkatkan harmonisasi an­tara pemerintah, keluarga dan sekolah dalam membangun pen­didikan. Dari fakta pengalaman penulis dan penjelasan teoritis yang sudah disampaikan di atas terbukti bahwa peran ayah me­megang peran yang sangat pent­ing dalam pembangunan karak­ter anak dalam mempersiapkan masa depan mereka.

Salah satu bentuk dukungan nyata yang sudah diimplementa­sikan di Kota Bogor adalah mew­ajibkan PNS laki-laki yang sudah mempunyai anak bersekolah un­tuk mengantarkan anaknya mini­mal 1 (satu) kali dalam seminggu. Gerakan ini harusnya diikuti oleh instansi lain yang ada di Kota Bo­gor, bahkan kalangan swasta juga harus mengimplentasikan kebi­jakan ini sebagai bentuk nyata dukungan pada karyawannya yang mempunyai anak usia seko­lah. Gerakan ayah dalam keter­libatan di sekolah (pendidikan) bukan sekedar gerakan formali­tas atau gerakan artifisial namun harus mampu menangkap ruh sejatinya, yaitu pentingnya peran ayah dalam perkembangan pen­didikan anak-anak dalam mem­persiapkan masa depannya.

Kita harus sepakat, keber­hasilan pendidikan tidak semata-mata keberhasilan pada nilai-nilai kognitif semata, tetapi jauh lebih penting adalah pendidikan yang menanamkan nilai kejujuran, ni­lai menghargai sesama, karena anugerah kepintaran kognitif han­ya sebagian kecil dari anugerah yang diberikan kepada manusia dari yang Maha Pencipta.

Seperti yang disampaikan Thomas Lickona ahli psikologi perkembangan dan seorang ahli pendidikan, menyatakan ber­dasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jauh lebih penting mengajari anak kita tentang moral, attitude, dan character building daripada hanya mementingkan nilai-nilai yang tinggi. Karena kehidupan lebih mengharapkan orang-orang yang bermoral dan berkarakter untuk membangun tatanan kehidupan yang jauh lebih baik. Orang-orang yang mencintai sesama, menolong sesama dan menjaga kelestarian lingkungan tempat mereka hidup.

Untuk mewujudkan itu seorang ayah harus tampil di depan dan mengambil peran penting di dalamnya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================