JAKARTA, TODAY — Jurus mabuk Tiongkok melemahkan mata uang yuan, benar-benar membuat mabuk negara-negara di dunia. Dampaknya sudah terasa di sektor keuanÂgan negara-negara di dunia terutama negara emerging market termasuk Indonesia.
Dolar AS (USD) sempat menanjak hingga ke titik tertingginya, pada Selasa (18/8/2015) yakni di level Rp 13.851. Akibatnya, sejak awal tahun hingga hari ini, rupiah sudah melemah hingga lebih dari 10%
Tak hanya rupiah, mata uang negara-negara lain juga mengalami tekanan dan ikut rontok. Bank Indonesia (BI) menilai, saat ini sudah terjadi perang kurs alias currency war.
“Sudah terjadi (currency war) secara tidak langsung karena China terus apresiasi sampai 30%. Jadi dia terlalu kuat sehingga sekarang melakukan depresiasi mata uangnya,†kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara saat ditemui di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Tirta menjelaskan, mata uang negara-negara mitra dagang TiongÂkok tentu berdampak pada depresiasi mata uang Yuan. “China sama trading partner-nya sudah mulai dampaknya seperti Malaysia, Australia, lebih dalam dari Indonesia,†sebut dia.
Langkah pemerintah Tiongkok mendevaluasi mata uangnya bertujuan untuk meningkatkan ekspornya. SeÂlama ini, mata uang China terlalu kuat sehingga barang-barang ekspor China kalah bersaing karena terlalu mahal.
Namun, Tirta mengatakan, IndoneÂsia tidak akan mengikuti langkah China untuk bisa menggenjot ekspornya. “KaÂlau Indonesia tidak mengikuti langkah China karena kita sudah undervalue, terlalu melemah sehingga tidak perlu diperlemah lagi,†ujarnya.
Seperti diketahui, posisi nilai tukar rupiah terhadap USD semakin tak berÂdaya mendekati level Rp 13.900. SepÂerti dikutip dari data perdagangan ReÂuters, Selasa (18/8/2015), USD sempat menanjak hingga ke titik tertingginya, Rp 13.851.
“BI tidak hanya khawatir tapi mati-matian jaga stabilitas nilai tuÂkar rupiah,†ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo saat konferensi pers di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Dia menjelaskan, BI melakukan berbagai antisipasi agar nilai tukar ruÂpiah terhadap USD tetap stabil, salah satunya dengan tetap menahan suku bunga acuannya di level 7,5%.
“Kita terus ada di pasar dan melakukan antisipasi, pembelian SUN, SBI, komitmen untuk jaga stabilitas. Hari ini kita putuskan untuk tetap mempertahankan BI rate, menjaga dan memperkuat stabilisasi nilai tukar,†jelas dia.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Hendar menamÂbahkan, posisi rupiah saat ini dinilainya sudah undervalue. Dengan seluruh inÂstrumen yang dimilikinya, BI akan terus melakukan intervensi agar rupiah tidak terus tertekan.
“Kami memandang pergerakan rupiah sekarang sudah undervalue, BI dengan seluruh instrumen yang dimilÂiki, akan terus ada di market sehingga jangka panjang keseimbangan dapat dijaga,†terang dia.
Hendar menyebutkan, pihaknya tiÂdak hanya akan melakukan berbagai keÂbijakan yang diperlukan baik dari makÂroprudensial maupun sistem keuangan agar nilai tukar rupiah bergerak wajar.
“Kami memahami pelemahan ini. BI akan selalu analisa-analisa khususÂnya stabilitas sistem keuangan, kita akan tetap terjaga dan mengambil langkah-langkah, kita bukan hanya khawatir tapi melakukan kajian-kajian, baik stabilitas makroprudensial mauÂpun sistem keuangan,†kata Hendar.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter melakukan uji ketahanan atau stress test terhadap nilai tukar rupiah di level tertentu. Menurut BI, rupiah saat ini masih dalam posisi aman bahÂkan di level Rp 14.000 per USD. “Masih aman (Rp 14.000),†kata Deputi GuberÂnur BI Ronald Waas di Gedung BI, JaÂkarta, Selasa (18/8/2015).
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Mirza AdÂityaswara mengungkapkan, BI melakuÂkan berbagai langkah atau kebijakan agar tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan berbagai inÂtervensi baik di pasar valuta asing (vaÂlas) maupun sektor keuangan lainnya.
“Jadi BI setiap hari ada operasi moneter, bisa fiskal bisa nambah likuiÂditas untuk menjaga kecukupan likuiÂditas di sistem keuangan kita. Operasi moneter kami ada Repo, SBI, ada FX swap jangka pendek di pasar, instruÂmen-instrumen ini akan kami optimalÂkan,†jelas Mirza.
BI Rate Tetap 7,50 Persen
JAKARTA, Today—Bank Indonesia (BI) kembali menahan tingkat suku bunga acuan alias BI Rate di angka 7,50%. Dengan demikian, BI kembali tak mengubah tingkat bunga acuan seÂjak awal tahun ini.
Sementara suku bunga Deposit FaÂcility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Keputusan tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga agar inÂflasi berada pada kisaran sasaran inflasi 4% plus-minus 1% di 2015 dan 2016.
“Rapat Dewan Gubernur BI pada tanggal 18 Agustus memutuskan unÂtuk mempertahankan BI rate di 7,5%,†kata Gubernur BI Agus Martowardojo di kantornya, Gedung Bank Indonesia Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2015)/.
Saat menyampaikan pengumuÂman itu, Agus didampingi oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur BI Ronald Waas, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, dan Deputi Gubernur Senior BI Hendar. “Dalam jangka pendek BI rate ini ditahan untuk stabilitas rupiah dan operasi moneter pasar valas,†ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini nilai ruÂpiah masih tertekan akibat situasi ekoÂnomi global yang buruk dan rontoknya ekspor sejumlah komoditas unggulan.
Rencana The Fed, bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan telah membuat para investor beralih ke dolar Amerika (USD). DamÂpaknya, sejumlah mata uang di dunia tertekan, termasuk rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah terhadap USD masih beraÂda di kisaran Rp 13.400-Rp 13.800/USD.
Pelemahan nilai tukar rupiah terÂhadap USD ini sudah terjadi selama Juli 2015 dan berlanjut hingga kini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pelemaÂhan rupiah pada tingkat eceran adalah 1,25%, dengan dolar sebesar AS Rp 13.419,29.
“Rupiah masih terdepresiasi oleh USD sebesar 1,25%,†ungkap Deputi BiÂdang Statistik Produksi BPS, Adi LumakÂsono dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (18/8/2015)
Depresiasi rupiah juga terjadi terÂhadap yen Jepang sebesar 1,52%. Level terendahnya di tingkat eceran terjadi pada minggu kedua Juli 2015 dengan Rp 108,63 per yen Jepang.
Akan tetapi rupiah lebih perkasa dibandingkan dengan dolar Australia dan Euro. Apresiasi rupiah terhadap doÂlar Australia adalah sebesar 3,93%. Titik tertingginya pada minggu kelima Juli dengan Rp 9.851 per dolar Australia.
“Karena depresiasi China, itu memÂpengaruhi mata uang Australia dibandÂingkan mata uang lain. Makanya rupiah bisa menguat,†ujar Adi Lumaksono.
Sedangkan, dibandingkan dengan Euro apresiasinya mencapai 0,10% . Dengan level tertingginya ada di minÂggu keempat Juli 2015 menjadi Rp 14.589 per euro. “Kalau pelemahan Euro ini masih disebabkan oleh damÂpak dari Yunani. Penyelesaiannya kan baru pada waktu tersebut,†tegas Adi.
(Alfian M|net)