121485_largePernyataan Menteri Perhubungan IgnatsiusJonan membuat ojek online kian menjadi sorotan. Kali ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil dua penyedia ojek online, yakni Go-Jek dan GrabBike. Keduanya dinilai terlibat perang tarif.

Oleh : Alfian Mujani
[email protected]

Ojek online yang pertama berdiri itu awalnya promo sebentar, kemudian tarifnya mulai normal. Setelah pesaingnya muncul di Indonesia, tarifnya mulai murah lagi, kemudian ini berlanjut sampai seka­rang,” ujar Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf di kantor KPPU, Jalan Djuanda, Jakarta Pusat, Senin (21/12/2015). Selain pemberian subsidi yang jor-joran untuk promosi, lanjut Syarkawi, struktur biaya dari pro­vider ojek online memang mem­buat tarif bisa ditekan semurah mungkin. Namun, yang membin­gungkan adalah tarif promosi yang belum juga berakhir sampai hari ini.

“Beda dengan taksi konven­sional. Mobil beli sendiri pakai pinjaman bank, harus bayar bunga bank. Kebutuhan bayar bunga pasti dibebankan ke konsumen, mainte­nance cost setiap mobil juga mahal. Di ojek online ini nggak ada,” kat­anya.

Syarkawi mengungkapkan, KPPU bisa menjatuhkan sanksi bila indi­kasi provider ojek online terbukti melakukan perang tarif untuk tujuan predatory pricing. “Kalau mengarah ke predaroty pricing, katakan Go-Jek atau GrabBike, berdasarkan UU su­dah kewenangan KPPU ambil tinda­kan hukum terhadap itu,” tutupnya.

BACA JUGA :  Lauk Sehat Rendah Lemak dengan Ikan Kukus Asam Pedas

Terancam Bangkrut

KPPU menyebut keberadaan provider ojek online bisa membuat transportasi lain sulit bersaing, teru­tama dalam hal tarif. Bahkan, bisnis transportasi yang selama ini sudah ada terancam bangkrut.

Muhammad Syarkawi Rauf men­gakui persaingan tarif itu bisa ber­dampak positif pada ongkos yang kompetitif, serta upaya peningkatan pelayanan transportasi lebih baik. Namun di sisi lain jadi ancaman un­tuk moda transportasi umum lain­nya.

“Sektor ini memindahkan ine­fisiensi yang selama ini dibebankan kepada konsumen dengan harga yang tinggi,” kata Syarkawi ditemui usai bertemu CEO Gojek Indonesia, Nadiem Makarim, di kantor KPPU, Jalan Djuanda, Jakarta Pusat, Senin (21/12/2015).

Syarkawi membandingkannya dengan perusahaan taksi. Menurut­nya, operator taksi harus menang­gung biaya pemeliharaan, serta beban bunga bank untuk dipakai membeli armada baru, yang akh­irnya dibebankan ke konsumen.

Masih Ilegal

Pada bagian lain, KPPU mengusul­kan pemerintah segera melegalkan keberadaan ojek online seperti Go- Jek, GrabBike, Blu-Jek, dan layanan ojek berbasis online lainnya.

Pelegalan dilakukan dengan merevisi Undang-Undang (UU) No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan An­gkutan Jalan, dan Peraturan Pemer­intah (PP) No. 74/2014 tentang Ang­kutan Jalan.

BACA JUGA :  Menu Makan Malam dengan Pepes Tahu Kemangi yang Simple dan Sederhana

“Saya kira itu yang harus diper­cepat (revisi UU) untuk menyesuai­kan dengan bisnis model yang baru. Karena bisnis model yang berkem­bangan tapi UU-nya ketinggalan,” kata Syarkawi.

Menurut Syarkawi, jika hanya berdasarkan regulasi transportasi semata, pelarangan ojek online justruk tak berdasar. Pasalnya, se­lama ini ojek dan angkutan lainnya sudah ada sejak dulu. Malah mem­buat dari sebelum informal dan tak teratur, menjadi tertib dan punya payung hukum dalam satu perusa­haan.

“Dulu ojek nggak resmi, kemudi­an dijadikan resmi. Malah sekarang bayar pajak, apalagi nanti setelah tu­kang ojek dapat NPWP. Ojek ini kan sudah ada sejak dulu, kalau sekarang dilarang kenapa baru sekarang dila­rang, karena ojek sejak 1970 sudah ada. Kok baru sekarang diperma­salahkan,” jelasnya.

Syarkawi mengungkapkan, terkait legalitas ojek online, dirinya akan segera membahas masalah tersebut dengan Menteri Perhubungan Ig­nasius Jonan. “Kita akan diskusikan dengan beliau (Jonan), kita dapat masukan dari berbagai pihak, nanti akan kita diskusikan juga dengan Ke­menhub,” tutupnya.

============================================================
============================================================
============================================================