Untitled-5Indonesia sudah saat­nya membangun ka­wasan industri pener­bangan terpadu. Sebab sebagai negara besar den­gan wilayahnya yang luas, bidang penerbangan di In­donesia akan terus bertum­buh dan berkembang.

“Pemerintah diharapkan bisa segera menentukan yang namanya kawasan industri penerbangan ter­padu. Ini penting, karena dengan terpadu ini, semua aktivitas yang mendukung industri penerbangan ada di situ. Juga buat pemerintah mudah mengendalikan,” kata Dirut GMF AeroAsia Richard Budihadianto di sela-sela event Singapore Airahow, Kamis (18/2/2016).

Sebab jika industri penerban­gan itu tersebar di tempat-tem­pat terpisah, maka pemerintah akan sulit mengendalikan seperti dalam pengendalian ekspor dan impor.

“Iyu salah satu yang penting buat pemerintah dalam memberi­kan bea masuk nol persen yang sudah diberikan Bapak Presiden ( Joko Widodo) melalui kebijakan ekonominya, tapi pelaksanaan­nya bagaimana,” ujar Richard, juga Ketua Dewan Pimpinan Indo­nesian Aircraft Maintenance Ser­vices Association atau IAMSA itu.

“Caranya adalah dengan mem­buat kawasan industri penerban­gan terpadu, di dalamnya ada MRO, training center, bengkel-bengkel seperti GMF, perusahaan suku cadang, workshop-workshop komponen dan lainnya,” sam­bungnya.

BACA JUGA :  Goguma Latte with Jelly, Minuman Segar yang Legit dan Creamy

Richard menambahkan, hampir semua negara Asean seperti Singa­pura, Thailand, Filipina dan Vietnam sudah memiliki kawasan Industri penerbangan. Karena itu, Indonesia dinilai sudah saatnya memiliki ka­wasan tersebut.

Richard menilai ada tiga daerah yang cocok dijadikan lokasi kawasan tersebut. Yaitu Bintan, Batam, dan Karimun. Kenapa?

“Ini saya sebagai IAMSA ya bukan GMF, tiga wilayah itu kan dekat Sin­gapura, Singapura adalah center of excelent daripada aviation industri. Saya harap secepatnya kawasan itu terwujud, potensi kita besar, jangan sampai negara lain yang dapat ben­efit,” ujarnya.

Richard mengatakan, saat ini biaya perawatan pesawat yang dikeluarkan seluruh airline yang di Indonesia membutuhkan bi­aya sekitar kurang lebih US$ 1 miliar per tahun. Dari jumlah itu, hanya 30% yang mampu dik­erjakan oleh bengkel-bengkel In­donesia.

BACA JUGA :  Menu Tanggal Tua, Kacang Panjang Tumis Telur yang Murah dan Praktis

“Makanya nggak heran kalau bi­aya airline di INdonesia itu mahal, karena dikirim ke luar. Komponen dan engine juga dikirim ke luar, kare­na kita masih kurang kapasitas dan kapabilitas,” tuturnya.

“Sementara GMF sendiri sudah full, sementara bengkelnya yang kecil-kecil karena dia tidak (ti­dak dapat sertifikasi dari ororitas penerbangan) FAA dan EASA ap­proach, orang nggak mau kirim ke dia (bengkel kecil),” tambahnya.

Karena itu, lanjutnya, jika Indo­nesia telah memiliki kawasan In­dustri penerbangan terpadu maka para investor akan berdatangan dan bekerja sama dengan MRO In­donesia.

“Jadi gampang (bengkel Indone­sia) dapat FAA sama EASA, sehingga kita bisa menyerap yang 70% ke luar itu, di sini saja, di Indonesia,” ujarnya.

“Kita jadi bisa saving devisa, kita buka lapangan pekerjaan, dan me­kanik itu dibutuhkan banyak, karena pekerjaan aircraft maintenance itu tidak bisa diganti robot,” tandasnya.

(detik)

============================================================
============================================================
============================================================