Terjawab sudah, mengapa selama ini PT Pertaminatak bisa menjual harga BBM (BaÂhan Bakar Minyak) Ternyata karena perusahaan plat merahini selalu jadi korban kartel minyak dunia.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Karena dikuasai para maÂfia minyak dunia, maka banyak keanehan dan membuat biaya tinggi. Salah satu keanehan yang menggeÂlikan adalah minyak mentah yang diproduksi dari perut bumi IndoÂnesia, ketika akan dibeli PT PerÂtamina (Persero) tapi harus melalui Singapura terlebih dahulu. Itulah kenyataannya yang terjadi.
Seperti ketika Pertamina ingin membeli hasil produksi minyak menÂtah dari Chevron Pacific Indonesia yang mengebor minyak di Lapangan Minas, Sumatera dan ExxonMobil Indonesia yang mengebor di Banyu Urip, Jawa Timur. Pertamina harus melalui Singapura walaupun minyak yang dibeli berasal dari Indonesia.
“Kami telah berdiskusi dengan Chevron, produksinya besar sekali, Chevron setuju jual ke Pertamina. Kami juga bicara dengan Exxon dan setuju jual ke Pertamina, sepanjang harga minyaknya sesuai harga pasar yang berlaku,†kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MiÂgas) Amien Sunaryadi, dalam jumpa pers, di kantornya, Wisma Mulia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Walaupun Chevron dan Exxon setuju jual produksi minyaknya ke Pertamina, hal tersebut belum dapat terealisasi, karena kedua perusahaan asal Amerika Serikat tersebut hanya bertugas memproduksi minyak, buÂkan melakukan penjualan.
“Tapi Chevron dan Exxon itu tuÂgasnya untuk produksi, beroperasi di hulu migas, dia bukan trading. Untuk menjual itu (minyak) tugasÂnya Chevron Trading Singapura dan Exxon Trading Singapura,†katanya.
Jadi, lanjut Amien, secara fisik minyak ada di dalam negeri (IndoneÂsia) tapi transaksi tidak bisa menjual langsung. ‘’Karena Exxon dan ChavÂron yang ada di Indonesia tugasnya memproduksi, nggak bisa menjual, yang bisa menjual itu Exxon trading dan Chevron trading,†tambahnya.
Amien mengungkapkan lagi, waÂlau kedua perusahaan tradingnya setuju jual minyak ke Pertamina, tapi masih sulit terealisasi, karena sesuai aturan, bila Pertamina beli di SingaÂpura, akan dikenakan Pajak PertamÂbahan Nilai (PPN) 3%.
“Mereka juga happy jual ke PerÂtamina, tapi peraturan pajak, kalau Pertamina beli ke Exxon Trading di Singapura, maka akan dikenakan PPN 3%, Exxon dan Chevron nggak mau penerimaannya berkurang, Pertamina juga keberatan nambah pengeluaran sebesar itu. Diperlukan kebijakan dari Direktorat Jenderal Pajak, kalau bisa diberikan pengecÂualian,†tutup Amien.
Penerimaan Turun
Sementara itu, merosotnya harga minyak mentah global berdampak besar bagi Indonesia. Antara lain menurunnya penerimaan negera dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Anjloknya harga minÂyak ini menurut Satuan Kerja KhuÂsus Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), akibat berlimpahnya suplai minyak di awal 2014.
“Setelah relatif stabil di level USD 100/barel selama kurang lebih 3,5 tahun, awal 2014 harga minyak terus mengalami tren penurunan. Posisi awal tahun 2016 ini, harga minyak malah menyentuh di level USD 37,3/ barel,†kata Amien Sunaryadi.
Amien mengatakan, anjloknya harga minyak global ini, kurang menggembirakan untuk SKK Migas, tapi memang harus dihadapi. DamÂpak dari anjloknya harga minyak tentu secara global penurunan biÂaya investasi dan produksi sebesar 20,3% penurunan yang sangat sigÂnifikan.
“Dampaknya bisa terlihat adanya penurunan belanja investasi di hulu migas, hampir seluruh perusahaan minyak internasional dan nasional mengalami penurunan investasi, dan diikuti dengan pengurangan-penguÂrangan biaya produksi,†katanya.
Pihaknya mengaku tak bisa memÂprediksi berapa harga minyak tahun ini. Walaupun beberapa pihak memÂperkirakan, harga minyak akan kemÂbali normal pada 2018 di level USD 85 per barel. “Tapi dari SKK Migas sendiri tidak bisa memastikan angÂkanya berapa,†ujar Amien.