Oleh: THOMAS KOTEN
Penulis adalah Direktur Social Development Center
Adapun perubahan inÂstrumen demokrasi ini dilatari keinginan untuk penghematan biaya politik, dan supaya energi perhatian pemerÂintah terhadap perhelatan deÂmokrasi di daerah-daerah tidak secara terus-menerus, tetapi cuÂkup satu kali dalam lima tahun. Dengan demikian, terbaca pula bahwa perjalanan politik deÂmokratisasi Indonesia hingga saat ini masih terus mencari sosok dan wajah demokrasi yang ideal.
Memang, sebagaimana terjadi di negara-negara maju dan deÂwasa demokrasinya, demokrasi ideal tidak serta-merta turun dari langit atau tidak terjadi secara inÂstan, sekali jadi.
Kematangan dan kedewasaan demokrasi dibutuhkan proses seÂcara terus-menerus dan menelan waktu lama. Pertanyaannya, apakah perkembangan demokraÂsi Indonesia yang sedang terjadi dan berproses sekarang ini akan semakin matang dan dewasa?
Perlu dicatat bahwa deÂmokrasi hakikat dasarnya bukan sekadar perubahan kebijakan politik. Tetapi, sejatinya bertalian dengan sejauh mana institusi deÂmokrasi patuh terhadap hukum dan peraturan perundang-unÂdangan, bebas dari oligarki para pemilik modal, dan sejauh mana partisipasi rakyat sebagai pemÂberi mandat bebas dan bertangÂgung jawab menyalurkan aspirasi untuk memilih pemimpinnya sesÂuai harapan masyarakat.
Dengan demikian, apakah pilkada serentak ini benar-benar menjadi panggung politik milik rakyat, atau semakin dibajak unÂtuk berbagai kepentingan pusat maupun daerah, terutama untuk berbagai kepentingan parpol dan politisinya?
Keinginan yang mencuat di seputar pilkada serentak untuk pertama kali di penghujung taÂhun ini, adalah kesuksesan pelakÂsanaan pilkada dengan terpilihÂnya kepala-kepala daerah yang berintegritas, serta demokrasi semakin mengalami kedewasaan dan kematangannya.
Hanya saja, ada persoalan yang masih terus mengganjal, yakni apakah persiapan untuk itu benar-benar sudah matang dari berbagai aspek, termasuk UU, biaya politik dan berbagai faktor pendukungnya?
Apabila semua faktor penunÂjang kesuksesan pilkada serentak masih mengalami kendala, jelas pilkada serentak dapat merupakÂan deskripsi eksploitasi politik terhadap rakyat.
Banyak ketidakpuasan poliÂtik akan menyembul. Itu tentu berpengaruh pada masa depan politik nasional. Belum lagi, berÂsentuhan dengan substansi deÂmokrasi. Jangan-jangan demokraÂsi artifisial semakin menemukan sosok sejatinya.
Rakyat lalu semakin terkikis kepercayaannya terhadap politik demokrasi bahwa negara belum sungguh-sungguh berniat suci menyelamatkan rakyat dari penÂderitaannya, dan benar-benar berkemauan tinggi menyejahterÂakan rakyat lewat pergelaran panggung politik dimaksud.
Jangan-jangan, dengan itu rakyat semakin tidak percaya pada instrumen-instrumen negaÂra di ruang-ruang politik, karena negara tak pernah menunjukkan kesanggupannya dalam mencipÂtakan kesejahteraan.
Sebagaimana dikatakan peÂmikir Amartya Sen (1999), pergeÂlaran demokrasi selalu menunÂjukkan realitas bahwa hak-hak dasar individu tidak mendapatÂkan pengakuan dan perlindungan politik serta benar-benar menjadi panggung politik yang dapat mengejewantahkan kesÂejahteraan rakyat.
Memang, selama ini pangÂgung-panggung politik kekuasaan diharapkan sebagai jembatan bagi pembebasan kemiskinan rakyat. Tetapi, sayangnya, semua itu masih jauh panggang dari api.
Oleh karena itu, baik pilkada langsung serentak atau tidak serentak, di mata rakyat belum menjadi jaminan pemenuhan harapan rakyat. Panggung poliÂtik demokrasi masih tetap diyaÂkini rakyat sebagai sebuah praÂnata proses politik yang selalu menguntungkan elite kekuasaan ketimbang rakyat.
Padahal, rakyat sebenarnya tidak henti-hentinya berharap, bahwa di balik setiap pergelaran demokrasi itu akan menghasilkan sebuah kekuasaan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perbaikan nasib rakyat.
Tetapi, rupanya, harapan rakyat selalu sia-sia, lantaran pangÂgung-panggung demokrasi selalu gagal menderivasi eksklusivitas politik kerakyatan. Belum lagi, ada dosa politik lain di mana meskipun pergelaran pemilu dan pilkada suÂdah berjalan kesekian kalinya, tetaÂpi belum juga dilakukan pendidiÂkan politik yang memadai kepada rakyat, baik oleh politikus maupun parpol. Padahal, ini penting demi percepatan proses pendewasaan dan pematangan demokrasi dan terkikisnya noda-noda demokrasi seperti politik uang.
Semua itu penting agar poliÂtik tidak lagi dianggap dosa dan demokrasi tidak jatuh ke tangan para pemerkosa hak-hak politik rakyat. Dengan demikian, sepÂerti kata Sam Harris, ‘rasionaliÂtas’ politik tidak selalu berada di pembuangan dan pemilu sebagai momentum awal ambruknya ‘raÂsionalitas’ dari urusan kenegaraÂan dan kebangsaan.
Pilkada serentak tidak lain merupakan sebagian intervensi politik untuk mematangkan koÂmoditas demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada serentak merupakan seÂbuah niatan politik yang baik. NiÂatan tersebut tentu bukan sekadar keberhasilan pilkada itu sendiri an sich atau sekadar penghematan biÂaya politik, tetapi hingga pada diÂlahirkannya pemimpin-pemimpin daerah yang sanggup membanÂgun kesejahteraan rakyat.
Jika tidak, pilkada serentak hanyalah sebuah panggung poliÂtik yang tidak menghasilkan apa pun terhadap penyelesaian perÂsoalan ekonomi, sosial dan poliÂtik di Indonesia, selain sekadar proyek kekuasaan yang mengunÂtungkan kaum elite negara. (*)
sumber: suarakarya.id