Opini-1-breredana

Oleh: BRE REDANA

Sebegitu banyakkah pe­jabat negara, tamu neg­ara, pihak-pihak yang berhak atas pengawa­lan pada hari libur yang berarti bukan hari kerja? Tak ja­rang pengawal dan rombongan berhenti di rumah makan. Model-model pejabat dan istrinya turun dari mobil. Kinyis-kinyis. Ya, tu­gas negara juga memerlukan ikan bakar. Mungkin karena bosan dengan jawaban normatif, ma­syarakat di sini memiliki speku­lasi jawabannya sendiri: kita bisa membayar untuk mendapatkan jasa pengawalan. Tarifnya pun mereka tahu.

Geografi romantik Puncak sebagai area wisata sebenarnya sudah lama berubah menjadi geo­grafi kemacetan, kemandekan. Meminjam istilah Clifford Geertz, mungkin inilah bentuk involusi kebudayaan itu. Serupa pola per­tanian yang ditunjuk Geertz se­bagai macet, jalan di tempat, tak menunjukkan kemajuan apa pun.

Buah dari involusi adalah ke­miskinan. Para pria gagah dalam usia produktif menjual jenis ja­janan yang sama yang dipasok oleh juragan. Mereka menjajakan dagangannya dari semenjak pintu masuk kemacetan, yakni daerah Ciawi dan Gadog. Sejumlah penge­mis menggelesot di tengah jalan di sela-sela antrean mobil, menenga­dahkan telapak tangan. Sungguh cara mengemis yang berisiko.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Yang lain lagi mengacung-acungkan jari, menawarkan jasa sebagai joki. Mereka memandu para priayi Jakarta yang hendak mencari jalur alternatif. Jalur al­ternatif umumnya berupa jalan kampung yang sempit. Pada tiap jengkal dan tikungan, pemuda dan anak-anak meminta uang receh kepada para pengemudi.

Dalam proses involusi, sum­ber daya yang tidak berkembang harus dibagi-bagi kepada jumlah manusia yang kian banyak. Beber­apa pemilik restoran dan warung makan mengaku berkewajiban memberi jatah makan kepada para petugas. Begitu pula hotel dan tempat hiburan. Usai kemac­etan termasuk di antaranya akibat ditutupnya sebuah jalur karena pemberlakuan sistem buka tutup, jalanan kotor luar biasa. Sampah di mana-mana. Plastik, styrofoam, gelas bekas kopi dengan logo mer­ek internasional, berserakan di tengah jalan.

Ini juga contoh kemandekan kebudayaan lagi, kalau mengin­gat, pemikir modern seperti RA Kartini di akhir abad ke-19/awal abad ke-20 sudah mengidamkan ”jalan yang baru, keras, dan ber­sih”. Itulah modernitas jalan, kata Kartini, seperti bisa dilihat dalam buku Engineers of Happy Land karya Rudolf Mrazek. Kebersihan jalanan menurut Kartini adalah kemurnian zaman. Pada buku yang sama, kita bisa melihat foto orang dengan peralatan sederha­na menyemprot jalan di Batavia, sekitar tahun 1916. Biar bersih, be­bas dari debu beterbangan, yang dikhawatirkan membawa penya­kit tetanus.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Kini, siapa peduli dengan ke­bersihan jalan? Sampah di jalan tol adalah tinggalan kelas menengah kita. Mereka adalah kelas menen­gah yang tak peduli apa pun, sejauh tidak terjadi di halaman rumah sendiri. Dalam bahasa para pengamat urban: NIMBY, ”not in my backyard”.

Keikutsertaan dalam moder­nitas sebatas sebagai konsumen, tanpa terlibat dalam proses yang melahirkannya, membuat waktu, ruang, budaya, identitas, menjadi serba salah. Sepeda motor men­gambil setiap jengkal ruang yang tersedia. Sopir angkot berhenti ka­pan saja, menyesuaikan keinginan penumpang. Customer satisfac­tion. Kemacetan menjadi basis ti­dak adanya pengertian, toleransi, yang kemudian menghasilkan apa yang disebut Carl Jung: ”the su­perstructure of brutality”.

Aduh, tiba-tiba suara sirene membelah keramaian, disertai kilatan cahaya biru. Polisi tengah mengawal rombongan moge. Se­baiknya buru-buru menyingkir, kalau tidak ingin tersambar bru­talitas jalanan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================