JAKARTA, TODAY — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menghiÂtung besaran penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar, yang akan diberlakukan efekÂtif 1 April 2016 menÂdatang.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas KeÂmenterian ESDM, IGN Wiratmadja mengungkapkan, besaran penurunan harga BBM jenis Premium dan Solar bisa di atas Rp 200/liter. Hitungan ini diÂdasarkan pada penguatan kurs rupiah dan harga minyak dunia. “Insya Allah turun. Lebih dari itu (Rp 200/liter),” katanya, Senin(21/3/2016).
Mengenai penurunan harga ini, MenÂteri ESDM, Sudirman Said menyatakan akan berlaku 1 April 2016 mendatang. “Kalau melihat dari seluruh aspek meÂmang akan mengalami penurunan. Kalau lihat kondisi penurunan harga minyak dunia, dan penguatan rupiah maka BBM kecenderungannya pasti akan turun,” kata Sudirman.
Sementara itu, kurs rupiah Senin (21/3/2016), rupiah akhirnya ditutup di level Rp13.152/dolar AS atau melemah 35 poin atau 0,27%. Hal ini seiring kembali anjloknya harga minyak dunia.
Sebelumnya, pada pembukaan perdaÂgangan Senin pagi, Bloomberg Dollar Index mengemukakan rupiah dibuka meÂlemah 48 poin atau 0,37% ke Rp13.165/dolar AS. “Rupiah dan minyak dibuka kompak melemah pagi ini, rupiah dibuka di harga Rp13.120/dolar AS dan minyak di harga 39.06. Para pelaku pasar dan InÂvestor akan terfokus kepada pertemuan minyak OPEC yang diadakan pada tengah April,†kata Head of Fixed Income Division PT Indomitra Securities, Maximilianus Nico Demus L, dalam risetnya yang diteriÂma Bisnis/JIBI, Senin (21/3/2016).
Analis perdagangan Todd Gordon dari TradingAnalysis.com, memproyeksiÂkan bahwa harga minyak bisa melonjak kembali ke level USD49 per barel. Dilansir CNBC, Senin 21 Maret 2016, Gordon menÂgatakan, kebijakan bank sentral AS pekan lalu membuka jalan untuk kenaikan harga komoditas lebih tinggi, dan melemahkan dolar AS bersama-sama dengan bank senÂtral dunia lainnya.
Bank sentral AS telah memutuskan untuk menunda kenaikan suku bunga. Gubernur bank sentral AS menyatakan perekonomian global masih terus menÂimbulkan risiko pada Negeri Paman Sam itu. “Saya ingin memperbaharui proyeksi pada minyak mentah. Kita akan bisa kemÂbali dan menguji harga tertinggi sejak OkÂtober, yakni di sekitar USD49 per barel. Kita akan melihat pergerakan pembalikan naik sekitar 50 persen dari penurunan saat ini,” ucapnya.
Harga minyak mentah jenis Brent, pada akhir pekan lalu berada di level USD41,3 per barel. Sementara itu, minyak AS, alias WTI untuk pengiriman April dituÂtup pada level USD39,44 per barel.
Minyak mentah mengalami penuÂrunan untuk sesi kedua, jatuh lebih dari level tertinggi 2016 yang terjadi pekan lalu. Kekhawatiran akan banjir pasokan setelah produksi rig luar AS naik untuk pertama kalinya sejak Desember. PeruÂsahaan-perusahaan energi AS pekan lalu menambah satu rig minyak setelah 12 minggu idle. Saat ini, produksi rig minÂyak telah jatuh dua per tiga dari periode 2015, menunjukkan penurunan pengeÂboran minyak mentah stabil setelah rally harga 50 persen sejak Februari. “Rebound harga minyak mentah pada bulan lalu tampaknya telah stabil, seirign jumlah rig yang bekerja di shale AS,” kata ANZ, Senin (21/3/2016).
“Setelah jatuh selama enam buÂlan berturut-turut, data Baker Hughes menunjukkan jumlah rig minyak AS bertÂambah satu ke 387,” tambah ANZ.
Terpisah, Kepala Riset Monex InÂvestindo Futures Ariston Tjendra menÂgatakan, mata uang dolar AS bergerak menguat terhadap mata uang utama duÂnia setelah komentar salah satu pejabat bank sentral AS (The Fed) yang menyebut laju inflasi Amerika Serikat akan berakseÂlarasi dalam beberapa tahun kedepan dan mendekati target. “The Fed sempat meÂnahan diri menaikan suku bunga AS akibat penurunan pada inflasi, namun pernyataÂan pejabat The Fed menunjukkan harapan laju inflasi AS masih tinggi,†kata dia.
Di sisi lain, lanjut dia, koreksi pada harÂga minyak mintah dunia menambah sentiÂmen negatif bagi mata uang negara pengÂhasil komoditas, termasuk rupiah kembali berada di bawah tekanan dolar AS.
NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada menambahkan bahwa aksi ambil untung masih terjadi di perdaganÂgan valuta asing domestik memanfaatkan eforia penguatan rupiah pada pekan lalu setelah The Fed menahan suku bunga acuannya. “Jadi pelemahannya bersifat wajar sehingga peluang berbalik arah menguat cukup terbuka mengingat peluÂang itu didukung oleh fundamental ekoÂnomi Indonesia yang mulai pulih,” tandasÂnya.
(Yuska Apitya/dtkf)