JAKARTA, TODAY — Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah belum mengambil keputusan final terkait perpanÂjangan izin usaha pertambanÂgan perusahaan tambang rakÂsasa PT Freeport Indonesia.
Menurut Presiden Jokowi, saat ini pemerintah masih menerapkan prinsip ketentuan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2014 tentang PeÂrubahan Ketiga Atas PP No.23 Tahun 2010 tentang PelaksaÂnaan Kegiatan Usaha PertamÂbangan Mineral dan Batubara.
Salah satu diktum dalam PP tersebut dijelaskan batas waktu pengajuan perpanjangan izin pertambangan diajukan 2 taÂhun sebelum kontrak habis. “Undang-undangnya jelas bahwa perpanjangan diperÂbolehkan dua tahun sebelum kontrak habis, berarti sebelum 2021, yaitu 2019,†ujar Jokowi, di Kantor Direktorat Jenderal Bea dan CuÂkai (DJBC), Jakarta, Jumat (16/10/2015).
Saat ini menurut Jokowi, pemerintah tengah mempertimbangkan dan membiÂcarakan segala proses investasi Freeport di Tanah Papua. Dia mengatakan ada lima hal yang menjadi pertimbangan pemerintah seÂbelum memberikan keputusan final terkait perpanjangan izin usaha kepada Freeport.
Lima hal ini harus diperhatikan oleh Freeport jika ingin memperpanjang izin usahanya di Indonesia. Pertama, katanya, adalah pemerintah meminta Freeport untuk membantu pengembangan pemÂbangunan ekonomi di bumi Papua. Hal kedua, Jokowi juga menginginkan FreeÂport terkait penggunaan bahan baku yang berasal dari dalam negeri. “Ketiga, kita juga bicara divestasi. Keempat, maÂsalah royalti. Kelima, masalah industri. Jangan sampai diambil mentah-mentah. Harus ada smelternya. Lima ini yang baru diproses,†ujar Jokowi.
“Ini kan kita minta yang lima tadi akan kita minta pada Freeport, tapi untuk maÂsalah memperpanjang atau tidaknya (diÂperpanjang) itu nanti sebelum 2021,†kata Jokowi melanjutkan.
Jokowi juga membantah telah meresÂtui penerbitan PP baru yang merupakan perubahan dari PP No.77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambagan Mineral dan Batubara.
Pernyataan Jokowi ini sekaligus meÂmatahkan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang mengatakan pemerintah akan merevisi PP No.77 Tahun 2014. “Tidak ada PP-PP an,†kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Saat ditanya mengenai apakah dirinya setuju Freeport melepas saham di pasar modal, Jokowi mengatakan saat ini dirinya masih menunggu masukan dari Tim NeÂgosiasi. “Nanti kalau timnya sudah memÂberikan masukkan ke saya, saya putusÂkan. Karena ada tim untuk pembangunan Papua yang berkaitan tidaknya Freeport dalam semuanya,†katanya.
Soal isu perpanjangan kontrak ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli juga sempat berkoar. Rizal berÂsikukuh meminta Presiden Jokowi untuk tidak mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang PelakÂsanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Pasalnya dengan tetap mensyaratkan permohonan perpanjangan kontrak MinÂerba baru boleh diajukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir sesuai PP tersebut, Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat dalam bernegosiasi dengan peÂrusahaan tambang. Termasuk dengan PT Freeport Indonesia yang kontrak karyanya (KK) akan habis pada 2021 mendatang.
“Kalau misalnya kita minta royalti 7 persen dari saat ini hanya 1 persen dan Freeport tidak mau, maka kita bisa ambil gunung emas di Papua itu. Masih banyak sekali cadangannya,†kata Rizal.
Ia menyebut cadangan emas di tamÂbang Grasberg yang dikelola Freeport maÂsih mampu berproduksi 30-35 tahun lagi. Belum termasuk cadangan di tambang bawah tanah yang akan dikembangkan perusahaan Amerika Serikat tersebut denÂgan menelan investasi USD 18 miliar. “BayÂangkan kalau kita bisa ambil itu, hasil tamÂbangnya bisa kita jadikan cadangan devisa di Bank Indonesia. Saya yakin rupiah jadi Rp 5 ribu per dolar,†katanya.
Rizal meyakini bahwa jika Freeport tidak juga mendapat kepastian perpanÂjangan KK dari pemerintah, maka investasi sebesar USD 18 miliar tidak jadi dikeluÂarkan. Hal tersebut, menurut Rizal, sama sekali tidak merugikan Indonesia yang dikhawatirkan akan kehilangan momenÂtum menarik investasi jumbo dalam perÂlambatan ekonomi saat ini.
(Yuska Apitya Aji)