SETELAH menelusuri sepintas perkembangan praktik penyelenggaraan pembangunan dari era Prabu Siliwangi sampai Suryakancana, banyak hal yang bisa kita lakukan kini. Khasnya untuk membangkitkan kembali kejayaan Bogor kini dan mendatang. Tentu dengan melihat sisi terang dan sisi remangnya, dan menerima realitas kini dan mendatang.
Bang Sem Haesy
PERBEDAAN paling nyata dari realitas kini adalah Bogor (baik Kabupaten maupun Kota) tidak lagi merupakan sentrum otoritas yang mengendalikan wilayah. SeÂÂjak Jan Pieter Zoon Coen – dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)-nya berubah menjaÂÂdi tangan kekuasaan Belanda atas Indonesia, banyak hal berubah. Jayakarta yang semula menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Pakuan, justru berubah menjadi sentral kendali kekuasaan.
Sampai kini, Bogor kemudian menjadi bufferzone – bukan lagi sekadar hinterland — atas Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kendati demikian, sampai kapanpun, DKI Jakarta dalam berbagai hal, akan sangat bergantung kepada Bogor. Terutama untuk menÂÂgatasi berbagai persoalan laten yang akan menghantuinya: sampah, banjir, dan kemacÂÂetan lalu lintas. Diperkirakan, 2 (dua) juta orang dari kalangan masyarakat komuter yang meÂÂmadati Jakarta pada siang hari, berasal dari wilayah Bogor.
Dalam konteks itu, Bogor dapat memainkan peran utama dalam konteks penguatan fungÂÂsi ruang antar wilayah secara strategis. Antara lain untuk memperoleh keuntungan stratÂÂegis, berupa basis-basis pertumÂÂbuhan ekonomi dan akumuÂÂlasi modal. Keduanya berkaitan dengan perluasan kesempatan kerja dan berusaha untuk meÂÂnyerap pertumbuhan angkatan kerja yang melimpah. Juga unÂÂtuk merespon peningkatan keÂÂhidupan masyarakat yang lebih tinggi, serta terobosan menuju modernisasi, dan peningkatan otonomi daerah.
Ekstrimitas perubahan pembangunan nasional sejak dekade 1970-an, lebih berorientasi perÂÂtumbuhan ekonomi dan perÂÂcepatan industrialisasi semata. Ditandai oleh berkembangnya beberapa kawasan industri dan permukiman di wilayah Bogor (terutama Kabupaten). Tapi, seperti sudah terÂÂprediksi sejak era Prabu SuraÂÂwisesa, alih fungsi lahan, tidak dapat memberikan kemakmuÂÂran bagi rakyat. Bahkan, pada dekade akhir 90-an, terbukti fundamental ekonomi kita tidak kuat.
Merujuk pada pencapaian kemakmuran dan kejayaan BoÂÂgor di era Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, kejayaan BoÂÂgor masa kini dan mendatang, mesti dimulai kembali dengan membangun harmonitas sumÂÂberdaya alam dan modal insan.
Dalam konteks itu PemerÂÂintah Kabupaten / Kota Bogor harus memiliki daya otoritas yang kuat menyangkut berÂÂbagai kewenangan, seperti: kewenangan pertanahan, keÂÂhutanan, perkebunan, pertamÂÂbangan, pengelolaan sumberÂÂdaya nasional yang berada di Bogor; serta, kewenangan atas tenaga kerja asing.
Dalam hal ini berlaku prinÂÂsip sa balegandrung (satu komitÂÂmen untuk mewujudkan visi peÂÂrubahan) sebagai ideologi inti. Dengan cara, memanifestasikan nilai inti : Bersatu dalam konÂÂsensus meningkatkan produkÂÂtivitas dan profesionalitas, yang dilandasi oleh etos kerja: cerdas dan bernas, responsif, efektif dan efisien, tegas dan bijakÂÂsana, efektif dan efisien; saling memajukan satu sama lain; adil dan egaliter; optimis dan siap berkompetisi di era global (Nu Jauh urang deukeutkeun, geus deukeut urang layeutkeun, geus layeut urang paheutkeun, geus paheut silih wangikeun; RemÂÂpug jukung sauyunan; NemÂÂbongkeun ajen wewesen; Satria nu Pinandita; Teuas peureup lemes usap; Pageuh keupeul lega awur; Silih Asih Silih Asuh Silih Asah; Adil Paramarta; SinaÂÂtria Pilih Tanding).