TAHUN 2013 ditandai dua peristiwa kontradiktif berkaitan dengan Aburizal Bakrie. Pertama, ketika Aburizal Bakrie secara aklamasi dipilih kembali sebagai ketua umum oleh Munas Partai Golkar di Bali. Seluruh delegasi dewan pimpinan daerah Partai Golkar dari segenap penjuru negeri mengangkatnya kembali dengan diiringi puja-puji dan klaim sederet prestasi.
Oleh: ALI MUTASOWIFIN
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Ribuan peserta Munas Partai Golkar seolah tak hirau dengan ciÂtra negatif Aburizal Bakriedan kelompok bisnis yang dimilikinya. PadaÂhal, citra negatif ini berkontriÂbusi penting dalam kegagalanAÂburizal Bakrie saat kontestasi politik 2014.
Belitan Masalah Grup Bakrie
Peristiwa kedua, kontras dengan Munas di Bali yang berÂlangsung mewah, Direktur UtaÂma PT Minarak Lapindo Jaya, salah satu anak usaha Grup Bakrie,mengaminibahwa peruÂsahaan memiliki banyak utang kepada para korban lumpur Lapindo, tetapi mengaku tidak memiliki dana untuk melunasi utang tersebut. Memang Grup Bakrie masih menyisakan utang kepada para korban lumpur LapÂindo sebesar Rp 1,2 triliun, yang terdiri atas Rp 781 miliar untuk korban di dalam peta area terÂdampak dan Rp 470 miliar bagi para pengusaha yang pabriknya terkubur lumpur.
Di tengah desakan untuk meÂlunasi utangnya kepada korban Lumpur Lapindo, Grup Bakrie juga terlilit utang kepada sejumÂlah kreditor. Tahun ini saja tiga anak perusahaan PT Bumi ReÂsources Tbk (BUMI) mengajukan penundaan pembayaran utang sebesar US$ 1,375 miliar (setara Rp 17 triliun).Tiga anak perusaÂhaan itu adalah Bumi Capital Pte Ltd, penerbit Surat Berharga BerÂgaransi Senior senilai US$ 300 juta; Bumi Investment Pte Ltd, penerbit Surat Berharga BergaÂransi Senior senilai US$ 700 juta; dan Enercoal Resources Pte Ltd, penerbit Obligasi Konversi BergaÂransi senilai US$ 375 juta.
BUMI sendiri telah mengalihÂkan 19 % saham PT Kaltim Prima Coal (KPC)senilai US$ 950 juta kepada China Investment CorpoÂration (CIC), sebagai bagian dari perjanjian penyelesaian utang yang seluruhnya berjumlah US$ 1.989 juta (sekitar Rp 24,66 triliun). Kasus lain yang juga menggerus kepercayaan publik adalah mandeknya penyelesaian pengembalian investasi nasabah PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life).Sudah bertahun-tahunBakÂrie Lifemengalami gagal bayar nasabah Diamond Investa yang jumlahnyaditaksir mencapai Rp 290 miliar.
Anak usaha Grup Bakrie yang lain, PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) untuk sementara waktu bisa menghela napas. Ia menemukan penyelesaian maÂsalah utangnya, berjumlah tidak kurang dari Rp9,68 triliun, seteÂlahsebagian besar krediturnya menyetujui proposal perjanjian perdamaian yang ditawarkan.
Utang menggunung, ditÂambah triliunan rupiah utang pajak yang harus dilunasi, seolah melengkapi kinerja buruk kelomÂpok usaha Bakrie di pasar modal. Saham emiten-emiten Grup BakÂrie berguguran, bahkan beberapa di antaranya masuk kelompok saÂham gocap atau berharga hanya Rp 50 per lembar.
Kapitalisasi Grup Bakrie taÂhun ini memang menurun drastis dibandingkan saat jayanya. Pada 2010, kapitalisasi 9 emiten Grup Bakrie Rp 113,27 triliun atau 3,5 % dari kapitalisasi Bursa Efek InÂdonesia (BEI). Tahun berikutnya, kapitalisasi 10 emiten Grup BakÂrie menjadi Rp 108,18 triliun atau sekitar 3 % kapitalisasi BEI. Kini, kapitalisasi emiten Grup Bakrie hanya Rp 39,89 triliun atau sekiÂtar 0,77 % dari total kapitalisasi BEI senilai Rp 5.179 triliun.
Tak Mampu Atau Tak Mau
Kengototan Aburizal Bakrie untuk kembali memimpin Partai Golkar menunjukkan hasrat poliÂtiknya yang masih menggebu-geÂbu. Namun, citra negatif kelomÂpok bisnis Bakrie yang dianggap mengabaikan hak-hak masyaraÂkat, nasabah, maupun kreditur seolah menenggelamkan imajidiÂri yang rajin dia iklankan sebagai sosok terpercaya, berintegritas serta mampu menjawab segala permasalahan rakyat.
Menarik membandingkan kondisi serupa yang dialami Pak Jalal, tokoh pengusaha kaya raya dalam sinetron “Para Pencari Tuhan†yang rutin ditayangkan setiap Ramadan. Dikisahkan, Pak Jalal ditipu orang kepercayÂaannya sehingga memikul utang sangat banyak. Walaupun tersisa peluang baginyamempertahankÂan gaya hidup kaya raya melalui negosiasi ulang dengan para kreÂditurnya, Pak Jalal lebih memilih menjual seluruh aset perusahaan dan harta pribadinya, termasuk rumah yang ditinggalinya guna melunasi seluruh utang. Ia berkuÂkuh tak mau menahan hak orang lain meskipun hanya lima menit. Sahabatnya bertutur, tak ada lagi milik Pak Jalal yang tersisa kecuaÂli kehormatan dan rasa lega yang luar biasa.
Meskipun kekayaanAburiÂzal Bakrie tak lagi sebesar pada 2008, saat majalah Globe AsiaÂmenempatkannya sebagai orang terkaya di Asia Tenggara dengan kekayaanUS$ 9,2 miliar atau Rp 110,4 triliun,namun diyakini ia sesungguhnya masih memiliki keÂmampuan finansial untuk menyÂelesaikan seluruh kewajibannya. Meskipun pelunasan akan menÂguras kas perusahaan (dan keluÂarga), tetapi mungkin akan mamÂpumemperbaikicitra dirinya di mata masyarakat. Sesuatu yang seharusnya menjadi prasyarat penting dalam politik. (*)