Oleh:

Aris Purnomo

Peneliti pada Pusat Kajian Kemandirian Daerah (PK2D)

 

Isu jual beli jabatan publik telah lama terjadi dan mencuat kembali ke permukaan. Isu ini menarik perhatian sehingga  mendorong Presiden Jokowi angkat bicara, menginginkan tidak lagi terjadi praktik tersebut di Indonesia.

Isu jual beli jabatan publik sesungguhnya merefleksikan praktik korupsi sebagai persoalan krusial yang diidap oleh birokrasi sejak lama. Praktik korupsi telah berkembang sedemikian rupa, tidak terbatas pada bentuk-bentuk konvensional yang selama ini telah berlaku dan dilakukan, sehingga korupsi tidak dapat lagi diidentifikasi dalam satu variabel dan fenomena tunggal, karena telah bermemorfosis dalam variabel-variabel yang sulit dikenali.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Isu jual beli jabatan publik apabila ditelusuri lebih dalam, merupakan implikasi dari budaya demokrasi transaksional yang memerlukan biaya besar untuk membeli kekuasaan. Jual beli jabatan merupakan trade off yang telah diperhitungkan untuk mengembalikan biaya-biaya yang dibelanjakan untuk membeli kekuasaan.  Semula praktik ini hanya untuk menjaga bahwa pejabat di bawah jajarannya adalah “orang”nya namun ketika orang-orangnya tidak sesuai untuk mengisi jabatan tersebut maka dilakukanlah apa yang disebut jual beli jabatan, tidak lain dan tidak bukan untuk menunjukkan kekuasaan (power) dan kekuatannya (authority). Tidak diduga bahwa jabatan di daerah ini cukup banyak peminatnya. Sehingga, sesuai hukum pasar, ada yang jual, maka ada yang beli, dan begitu sebaliknya.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Dalam konteks kepala daerah, ‘pelamar’ kekuasaan (power seeker) untuk mendapatkan kekuasaan mengerahkan segala sumberdaya untuk dapat ‘membeli’ dukungan politik masyarakat yang ditempatkan sebagai ‘pemilik kekuasaan’. Problem mendasar dalam budaya transaksional adalah rendahnya atau bahkan tidak adanya kesadaran dari masyarakat sama sekali, kalau mereka sesungguhnya, adalah pemilik kekuasaan yang tidak ternilai harganya, yang tidak bisa diberikan begitu saja, karena hal tersebut akan berkonsekuensi logis terhadap hajat hidup masyarakat yang lebih luas dan memiliki risiko apabila diserahkan tanpa kalkulasi-rasional tentang masa depan.

============================================================
============================================================
============================================================