Salah satu kendala utama dalam pengembangan enÂergi panas bumi (geotherÂmal) di Indonesia adalah pendanaan. Eksplorasi dan produksi panas bumi membutuhÂkan modal besar. Untuk pengeboÂran 1 sumur saja rata-rata butuh USD 10 juta atau Rp 135 miliar.
Pengeboran panas bumi juga sangat berisiko. Eksplorasi tidak selalu berhasil mendapatkan uap panas bumi. Besarnya biaya dan resiko ini membuat perbankan enggan memberikan pinjaman untuk bisnis panas bumi.
Maka perusahaan-perusahaan pengembang panas bumi harus memiliki modal besar paling tidak untuk melakukan eksplorasi. Bila tidak punya cukup uang, wilayah kerja (WK) panas bumi bakal terÂbengkalai.
“(Kendala pengembangan panas bumi) Yang paling utama adalah kurang capital. Untuk eksplorasi itu harus pakai duit sendiri, nggak bisa pinjam. BanÂyak investor panas bumi yang tidak punya cukup uang untuk melakukan eksplorasi,†tutur CEO Supreme Energy, Supramu Santosa, kepada detikFinance di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali, Jumat (12/2/2016).
Dia menambahkan, pengemÂbang panas bumi pun harus siap menanggung resiko kegagalan dan kehilangan sejumlah uang karena tidak berhasil menemukan uap paÂnas bumi. “Dari awal memang kita harus konsorsium yang terdiri dari orang-orang yang punya uang,†ucapnya.
Perbankan biasanya baru mau mengucurkan kredit jika eksplorasi berhasil menemukan cadangan yang besar dan cukup ekonomis untuk dikembangkan. Sebab, resiko di taÂhap produksi relatif sudah tidak beÂsar.
“Kita eksplorasi dengan modal sendiri, baru setelah itu ada pinjaÂman misalnya dari World Bank. Bank itu baru mau memberikan pinjaman untuk development. Tapi untuk eksplorasi nggak ada yang mau ngasÂih. Cadangan sudah ketemu, sudah terbukti, baru bank mau ngasih,†SuÂpramu mengungkapkan.
Meski demikian, bank pun biÂasanya masih amat berhati-hati dalam memberikan kredit pinjaÂman untuk produksi listrik dari uap panas bumi. Sebab, masih ada resiko kegagalan ketika melakukan pengeboran sumur pengembangan.
Dibandingkan dengan bisnis pemÂbangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara, jelas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) lebih beresiko. Memang resikÂonya tinggi dibanding dengan power plant yang pakai batu bara, kan harÂus ngebor lagi untuk sumur pengemÂbangan,†ujarnya.
Untuk mengatasi masalah pembiÂayaan saat eksplorasi ini, Supramu mengusulkan agar eksplorasi dilakuÂkan sendiri oleh pemerintah, resiko kegagalan pun ditanggung pemerinÂtah, bukan badan usaha. Tapi tentu saja cara ini sulit dijalankan karena pemerintah harus menyiapkan dana yang amat besar.
“Bisa saja pemerintah yang menÂgambil resiko eksplorasi dengan melakukan pengeboran sendiri. Itu salah satu jalan. Tapi itu kan perlu biaya yang besar sekali,†cetusnya.
Solusi yang lebih praktis ialah pemerintah sebaiknya menetapÂkan tarif listrik (feed in tariff ) yang menarik bagi investor. Selama tarif tergolong ekonomis, para investor pasti berani menggelontorkan uang untuk eksplorasi dan produksi paÂnas bumi. “Selama tarif panas bumi tinggi, orang masih akan mau untuk melakukan eksplorasi,†pungkas SuÂpramu. (dtc)