DATANGLAH ke ToÂkyo dan tanya MahÂmudi Fukumoto di kalangan Diaspora Indonesia di sana, bisa dipastikan, Anda segera akan bertemu dengan mantan TKI (tenaga kerja Indonesia) yang kini sukses bisnis di Jepang. Dia bersahabat dengan Rustono yang sukses sebagai penguÂsaha tempe di negeri Matahari Terbit itu.
N. Syamsuddin Ch. Haesy
SEJAK kenal dengannya di Kansei International Airport – Osaka, Jepang, Februari dua tahun lalu, setiap ke Jepang, saya selalu berÂtemu dan berbincang dengan dia. Beberapa waktu berselang, Mahmudi menjemput saya di ToÂkyo Disneyland. Lantas mengajak saya minum kopi di dekat HaraÂjuku. Sebelumnya, dia mengantar saya ke hutan kota Meiji Jingu.
Putera Jawa Timur asal desa di perbatasan Tulung Agung dan Blitar ini, berangkat ke Jepang seÂbagai kenshusei – pekerja magang. Beberapa hari lalu, saya komuniÂkasi dengan dia untuk mengatur rencana keberangkatan lagi ke Ehime dan Osaka.
Suatu malam, di kafe sebuah hotel di Osaka, kami menghabisÂkan waktu ngobrol tentang dirinÂya. Mahmudi bercerita: Usai menÂjadi kenshusei, ia terpikir pulang ke Indonesia. “Rencananya sih, mau kawin dengan gadis Jawa dan berdagang kecil-kecilan. Tapi, baru saja mau melamar, sudah ditolak duluan oleh gadis itu,â€kisahnya.
Akhirnya dia balik ke Tokyo, dan terpikat seorang gadis Jepang. Mahmudi nekad meminangnya. Ternyata gadis itu mau. “KawinÂnya heboh. Sesuai tradisi Jepang. Saya hanya didampingi teman-teman di sini. Gak ada keluarga yang datang, karena ongkosnya mahal,†katanya. Karena sudah menikah, Mahmudi berfikir, harus mengubah haluan. Ia ingin berÂbisnis, menjadi pengusaha, bukan pekerja.
Berbekal tabungan sekitar Rp300 juta, dia mulai bisnisnya sebagai supplier konstruksi. Keihin Network Solution (KNS), namanÂya. “Saya mesti bersaing dengan orang Jepang,†tekadnya. Tapi tiÂdak mudah.
Beberapa kali Mahmudi gaÂgal bersaing. Ia mencari tahu peÂnyebab kegagalannya. “Ketemu penyebabnya. Nama saya gak lengkap. Saya gak punya family name. Lalu saya ngomong dengan mertua, lalu diberi family name, Fukumoto,†ulasnya. Maka jadilah dia Mahmudi Fukumoto.
Dengan nama itu, serta modal utama kepercayaan, profesionalÂisme, dan kualitas, dia konsentrasi ke bisnisnya. Mahmudi bertekad memenangkan kompetisi, bahkan dengan pengusaha Jepang sendiri. “Orang Jepang, ‘kan berpegang pada tiga hal itu, plus disiplin. AlÂhamdulillah, berhasil. Akhirnya saya mendapatkan beberapa proyek,†jelasnya.
Mahmudi juga menerapkan prinsip budaya Jepang tentang efekÂtivas dan efisiensi bisnis. Termasuk berhati-hati dan konsisten menjaga kepercayaan, janji, dan kesepakatan yang tertera di dalam kontrak.
Proyek demi proyek berhasil dilaksanakan. “Termasuk beberaÂpa pekerjaan proyek pembanguÂnan kilang pengolah minyak menÂtah dan gas, jembatan, gedung, dan pipa di laut,†ungkapnya. UsaÂhanya pun terus berkembang.
Mantan bosnya menilai Mahmudi berjiwa entrepreneur dan berkemampuan managerial yang bagus. Dia juga sesosok penÂgusaha yang bertanggung jawab. Sejumlah pengusaha Jepang kian percaya dengannya dan menjadiÂkannya mitra bisnis.
Lalu, Mahmudi merekrut para profesional di bidang konstruksi dari beragam keahlian. Profesional las, kayu, batu, pipa, dan lainnya, dengan menerapkan disiplin ketat. Para profesional, itu dia rekrut denÂgan gaji yang lumayan besar (untuk ukuran Indonesia), sekitar Rp20 juta sampai Rp30juta sebulan.
Di perusahaannya, Mahmudi mempekerjakan orang Jepang dan Indonesia. “Pernah juga saya pake orang Bangladesh dan Korea, tapi tidak cocok dengan budaya di sini, saya berhentikan,†ungkapnya. Mahmudi ingin, lebih banyak lagi mantan kenshusei yang sukses berwirausaha, baik di Jepang mauÂpun di Indonesia,†tukasnya. KareÂna itu dia sering membuat pelatiÂhan kewirausahaan di Jepang, dan menjalin kerjasama bisnis dengan UKM di Indonesia.