Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Dalam rangka memperÂingati hari kelahiran beliau, umat Islam biasanya menggelar berbagai macam acaÂra dalam bentuk penghormatan dan refleksi atas perjuangan serta prestasi yang ditorehkan Nabi MuÂhammad SAW.
Termasuk penulis, dalam moÂmentum maulid Nabi kali ini penulis akan mencoba merefleksikan RaÂsululah dalam kapasitasnya sebagai seorang pendidik atau guru. Seorang guru yang berhasil mendidik dan mencetak umatnya sampai menjadi umat terbaik (khaira ummah).
Guru, dalam segala aspek, adalah sosok atau figur yang meÂmiliki peran yang cukup signifikan. Kata dan tindakannya selalu menÂjadi panutan, gerak perilakunya selalu menjadi tauladan.
Sekali saja melakukan perbuaÂtan yang tidak sesuai dengan norÂma-norma yang berlaku, ia akan dicela, digunjing, kredibilitasnya dipertaruhkan, bahkan terkadang sampai dikucilkan.
Demikian berat tugas seorang guru sehingga tak heran jika dalam perjalanan panjang sejarah umat manusia, guru selalu menempati posisi yang terhormat dan penting.
Rasulullah; Guru Teladan
Rasulullah SAW adalah panuÂtan terbaik bagi seluruh umatnya. Pada diri beliau senantiasa diteÂmukan tauladan yang baik serta kepribadian mulia.
Sifat-sifat yang yang ada pada diri Rasulullah SAW, yakni shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan) dan fathoÂnah (cerdas), serta perilaku beliau dalam segala hal adalah perilaku yang dipastikan tidak bertentanÂgan dengan al-Qur’an, tetapi justru perilaku tersebut merupakan cerÂminan dari kandungan al-Qur’an.
Seyogianya, setiap guru (pendiÂdik) dapat tampil seperti apa yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW. Dalam proses pendidikan, berarti setiap pendidik harus beruÂsaha menjadi teladan bagi peserta didiknya.
Teladan dalam semua kebaiÂkan dan bukan sebaliknya. MeÂniru sikap Rasulullah SAW dalam setiap hal merupakan keharusan bagi sebenap umatnya, termasuk bagi para pendidik atau guru, jika mereka mau meniru strategi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, niscaya akan memperoleh keberÂhasilan sesuai dengan yang diÂharapkan.
Dalam hal pendidikan RasuÂlullah SAW telah memberikan banÂyak pelajaran bagi para pendidik terkait dengan metode pendidikan.
Sebuah metode pendidikan yang bisa diimplementasikan oleh para pendidik di lembaga formal (sekolah) maupun di rumah oleh orang tua yang memberikan teÂladan dan contoh yang riil bagi muris dan umatnya. Beliau tidak pernah berkata kecuali apa yang dikatakannya itu beliau kerjakan.
Menurut Rasulullah SAW, seorang pendidik tidak akan dapat mendidik murid-muridnya dengan sifat yang mulia kecuali ia telah memiliki sifat mulia, ia juga tidak dapat memperbaiki mereka kecuaÂli ia adalah seorang guru yang baik san sholeh.
Demikian itu bisa terjadi kareÂna para murid itu lebih banyak mengambil keteladanan sikap dan perilaku keseharian guru dari pada mengambil kata-katanya.
Pada hakekatnya, di lembaga-lembaga pendidikan, peserta didik haus akan suri tauladan yang baik, karena sebagian besar pembentuÂkan kepribadian adalah keteladaan yang diamati dari para pendiÂdiknya.
Di rumah, keteladanan akan diÂperoleh dari kedua orang tua dan dari orang-orang dewasa yang ada dalam keluarga tersebut.
Sebagai peserta didik, murid-murid secara pasti meyakini bahwa semua yang dilihat dan didengarÂkan dari para pendidiknya adalah suatu kebenaran yang bisa ditiru. Oleh sebab itu, para pendidik hendaknya menampilkan akhlak karimah sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dapati perilaku anak-anak yang menitu perilaku orang yang menjadi pujaannya, mereka meniru gaya pakaian, gaya rambut dan gaya bicaranya.
Hal serupa juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, biÂasanya siswa meniru guru yang ia senangi, ia meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain sebagainya.
Semua itu membuktikan bahÂwa pada hakekatnya, sifat meniru perilaku orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini sangat berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhaÂdap perilaku yang tidak baik.
Menurut Syahidin (1999) sebÂagaimana yang dilancir Bunyamin (2007), ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disÂengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan perubahan perilaku serta pemikiran anak sudah direnÂcanakan dan ditargetkan.
Berdasarkan model ini maka seorang guru sengaja memberikan contoh yang baik kepada murid supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat menjadikan “teÂladan†sebagai salah satu strategi, seorang guru dituntut untuk mahir di bidangnya sekaligus harus mamÂpu tampil sebagai figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak menguasai teknik-teknik menggambar.
Bagaimana seorang guru ngaji dapat menyuruh siswanya fasih membaca al-Qur’an jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al- Qur’an dengan baik.
Bagaimana seorang guru matematika dapat memberi conÂtoh cara menghitung yang baik jika ia tidak menguasai cara menghiÂtung dengan baik.
Jangan harap seorang guru baÂhasa Indonesia akan dapat mengaÂjar membaca puisi dengan baik jika dirinya saja tidak mahir dalam biÂdang ini, demikianlah seterusnya.
Selain mahir di bidangnya, seorang guru tentu saja dituntut untuk menjadi figur yang baik, perilaku seorang guru senantiasa menjadi sorotan masyarakat teruÂtama para muridnya, tidak sedikit murid yang mengagumi gurunya bukan hanya karena kepintaran di bidang ilmunya, tetapi justru kareÂna perilakunya yang baik, sikapnya yang ramah, adil dan jujur kepada muridnya.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang guru agar dapat menÂjadi teladan yang baik adalah denÂgan selaku mengadakan muhasaÂbah pada diri sendiri, mengoreksi akan kekurangan-kekurangan diri dan berusaha untuk memperbaiÂkinya karena bagaimana mungÂkin guru dapat menundukkan kekurangan-kekurangan diri dan berusaha untuk memperbaikinya karena bagaimana mungkin guru menjadi teladan sedangkan dirinya penuh dengan kekurangan.
Bagaimana mungkin guru dapat menundukkan kekurangan-kekurangan itu sedangkan dirinya cenderung kepada akhlak yang tercela, bagaimana mungkin guru dapat menasehati murid-muridnya sedangkan dirinya belum mencerÂminkan kesempurnaan akhlak.
Pribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari†atau kata “guru†dimaknai dengan ‘digugu dan ditiruâ€, menunjukkan betapa sosok seorang guru dituntut untuk selalu memperhatikan perilaku yang baik, karena disadari atau tiÂdak, kata-kata dan perilaku seorang guru akan menjadi panutan bagi muridnya. Wallahu’alam. (*)