Opini-2-Mafuluddin

Oleh: MAFULUDDIN MAHFUDZ, S.KOM.I
Wakil Ketua Bidang Politik, Kemanan dan BUMD DPD KNPI Kota Bogor

Pemerintah sebenarnya tidak perlu merumus­kan kebijakan baru soal taman, karena dalam Pola Dasar Pemban­gunan Kota Bogor telah dipu­tuskan bahwa penetapan fungsi Kota Bogor dititikberatkan pada penerapan pembangunan “Kota Taman”. Konsep serupa ini juga telah dikembangkan oleh Sir Eb­enezer pada 1898 di Inggris, na­mun baru masuk ke Indonesia melalui para arsitek Belanda pada awal abad ke-20. Di Kota Bogor, konsep ini secara eksplisit telah direncanakan sejak 1980. Pada saat itu, sudah muncul kekhawati­ran terhadap Bogor sebagai kota yang mulai penuh sesak karena menjamurnya pemukiman padat, pertokoan, restoran, hotel dan tempat hiburan lainnya di pusat kota. Kini sebagian besar kondisi itu telah menjadi realitas kesehari­an masyarakat Kota Bogor. Melihat kondisi tersebut, muncul pertan­yaan, konsep taman seperti apa yang sebenarnya dirancang oleh Pemerintah Kota Bogor saat ini?

Taman kota idealnya meru­pakan sebuah ruang terbuka yang dapat mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan ke­sehatan di lingkungan perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kes­ehatan dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam. Selain itu, taman kota juga bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sos­ial, serta ekonomis bagi masyara­kat perkotaan. Namun idealisme mengenai konsep awal pembentu­kan taman kota ini, tampaknya su­dah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini. Karenanya, diperlukan adanya pemahaman kembali mengenai peran penting taman kota bagi se­luruh komponen masyarakat kota.

Pemahaman soal fungsi taman ini, terwujud dalam konsep repo­sisi taman kota. Artinya, taman kota tidak saja hanya sebatas wa­cana komunikasi saja, melainkan juga menaruh pendidikan ling­kungan serta memberi fasilitas melalui perancangan taman kota yang integral dan bernilai. Dalam proses reposisi taman kota juga diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan, se­hingga diharapkan mampu mem­bangun perancangan taman kota yang optimal. Semua proses inilah akhirnya diharapkan dapat men­jadikan taman kota sebagai ruang publik yang mampu membentuk budaya sehat kolektif bagi ma­syarakat perkotaan di Indonesia, khususnya di Kota Bogor.

Harus dicermati, semakin tinggi tingkat urbanisasi yang terjadi, akan semakin tinggi pula tingkat kebutuhan ekologis ma­syarakat kota untuk berekreasi di ruang terbuka hijau. Kebutuhan itu dianggap menyehatkan serta dapat mengurangi beban stres pe­kerjaan sehari-hari mereka (Casa­grande, 2001). Kebutuhan ekolo­gis ini menyebabkan peran dari arsitektur lanskap perkotaan men­jadi sangat penting terhadap bu­daya masyarakatnya – dimana ar­sitektur lanskap diharapkan dapat membawa atau mendatangkan budaya perkotaan sebagai bagian yang harmonis dan sinergis ter­hadap alam. Sehingga pada akh­irnya, kualitas lanskap perkotaan ini dapat memiliki kemampuan untuk memperbaiki, melindungi, serta merehabilitasi ruang-ruang perkotaan; yang dapat membuat hubungan antara komponen-kom­ponen perkotaan dengan ruang di sekitarnya menjadi lebih baik; sekaligus dapat memberi kehidu­pan serta makna yang baru terha­dap ruang-ruang terbangun yang “berjiwa kosong” (Dascălu, 2007).

Contoh tipologi yang paling umum dari infrastruktur lanskap yang dikaitkan dengan pemenu­han kebutuhan ekologis ini tidak lain adalah taman kota (urban park). Pada awal konsep mengenai taman kota (yang bersifat publik) ini diperkenalkan, tipologi ini di­rancang sebagai “tempat pelarian“ warga kota dari kehidupan rutin atau aktivitas bekerjanya sehari-hari, dimana tempat ini memiliki kualitas estetis yang menstimulasi­kan sebuah lingkungan pada area rural –dimana suasana daerah rural yang dikelilingi oleh lingkungan alami yang masih asri terse­but diyakini dapat memberikan kesan romantisme serta dipercaya dapat memberikan efek pembang­kit ataupun penyehat bagi jiwa ma­nusia (Low dkk., 2005).

Manfaat taman sebagai pem­beri efek yang menyehatkan juga diungkapkan lebih lanjut oleh Rohde dan Kendle (dalam Maller, 2009) yang menyatakan bahwa ketika taman kota dirancang un­tuk pertama kali pada abad ke 19 di Amerika, pemerintah kota saat itu percaya akan keuntungan-keuntungan kesehatan yang dit­imbulkan dari adanya ruang ter­buka hijau –dimana manfaat dari taman kota tersebut diantaranya adalah dapat mengurangi penya­kit, kriminal, dan kegelisahan sosial; di samping menyediakan paru-paru hijau kota dan area rekreasi. Taman kota merupakan bagian penting dari jaringan eko­sistem kompleks perkotaan yang memberikan servis ekosistem se­cara signifikan –yang didefinisikan sebagai manfaat yang berasal dari fungsi ekosistem ruang terbuka hi­jau itu sendiri bagi manusia, baik langsung ataupun tidak langsung.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Sebagai contoh, taman kota dapat menyerap emisi karbon dio­ksida dan menghasilkan oksigen, memperbaiki kualitas udara dan air, mengatur iklim mikro, mengurangi kebisingan, melindungi ta­nah dan air, mempertahankan keanekaragaman hayati, serta me­miliki nilai rekreasi, budaya, dan sosial. Lebih sederhana lagi, taman kota bermanfaat secara lingkun­gan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, dan juga ekonomis (Lou­res dkk., 2007). Ini mungkin yang mendasari Frederick Law Olmsted, salah satu perancang lanskap yang pertama kali merancang taman kota, untuk dapat percaya akan kualitas restoratif dari alam dan bahwa taman kota dapat menin­gkatkan kesehatan, kemampuan, serta harapan akan umur hidup yang panjang masyarakat perkota­an (Lewis dalam Maller, 2009).

Permasalahan di Taman Kota

Di era modern, idealisme-ide­alisme mengenai taman kota terse­but tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini. Hal ini dise­babkan kurangnya pendidikan ma­syarakat kota mengenai pentingnya keberadaan taman kota. Peluang penanaman idealisme ini juga akh­irnya menjadi kecil dengan makin padatnya lingkungan perkotaan.

Di satu sisi, pesoalan urban­isasi menjadi semakin kompleks dengan terjadinya gejala urbanisasi berlebih (overurbanisasi) dan urbanisasi semu (pseudo-urban­ization); dimana terjadi tingkat ur­banisasi yang terlalu tinggi di atas tingkat industrialisasi yang dica­pai oleh evolusi suatu masyarakat (Nasikun dalam Priyadi, 2008). Di negara barat pun, taman kota di era modern seperti sudah kehilan­gan hubungannya dengan konsep taman kota yang dulu pertama kali dicetuskan –dimana penekanan ta­man kota pada saat sekarang, han­ya disadari sebagai tempat untuk bersenang-senang di waktu luang, tanpa menyadari adanya fungsi ekologis serta efek menyehatkan dari taman tersebut (Rohde dan Kendle dalam Maller, 2009).

Pada akhirnya, perancangan taman kota terkesan monoton dan “hasil jiplakan“ tanpa usaha yang berkelanjutan dari taman-taman kota sebelumnya. Padahal, pengguna taman kota tentu me­miliki karakter yang berbeda, baik itu dalam konteks tempat lokasi, budaya, maupun waktu. Sebagai contoh, kita dapat melihat perbe­daan antara budaya barat dengan timur. Pada konteks budaya barat, taman kota dirancang bagi akti­vitas penggunanya lebih kepada hal-hal yang bertema bersenang dan berolahraga di waktu luang (Hariyono,2010). Sehingga dapat dikatakan taman kota pada buda­ya barat lebih menekankan pada aktivitas pengguna yang individu­alis atau berkelompok dalam jum­lah yang sangat sedikit. Ini mung­kin akan sangat mudah terlihat dari komponen sederhana dari taman kota tersebut, yakni seperti bangku taman.

Bangku taman per area pen­empatannya pada konsep taman kota bergaya barat akan lebih cen­derung hanya dapat menampung sebagian kecil jumlah manusia –pendekatan ini memang cocok untuk jenis aktivitas yang dilaku­kan seorang diri, berpasangan, atau berkelompok kecil; seperti merenung (kontemplasi), mengo­brol dalam suasana yang tenang, bersantai menikmati sore hari, berjalan-jalan dengan binatang peliharaan, atau berolahraga (jog­ging atau bersepeda).

Sedangkan pada budaya timur, seperti di Indonesia khususnya, kebiasaan bersenang-senang yang bersifat individualis mungkin akan sangat jarang ditemukan. Bagi ma­syarakat timur pada umumnya, kebiasaan untuk memanfaatkan waktu luang adalah dengan ber­kumpul dalam tema kebersamaan, baik itu dengan keluarga atau ker­abat. Sehingga aktivitas di taman seringkali melibatkan jumlah yang cukup besar (Hariyono, 2010). Hal inilah yang menyebabkan konsep “alun-alun“ atau ruang terbuka komunal akan lebih cocok diterap­kan –walaupun konsep tersebut se­benarnya sudah berbeda tipologi dengan taman kota.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Taman kota merupakan suatu konsep yang relatif baru bagi buda­ya timur yang dikenalkan oleh bang­sa barat ketika terjadinya kolonisasi. Saat kolonisasi tersebut, bangsa barat membangun taman pada kota koloninya dengan tujuan mencip­takan suasana taman kota seperti di negara asal mereka. Taman ini pada mulanya memang tidak diperuntu­kan bagi publik masyarakat kota, melainkan bagi kalangan-kalangan atas tertentu. Di Indonesia, bebera­pa contoh dari taman tersebut dapat kita temui pada kota-kota besar yang pernah menjadi koloni dari Be­landa; seperti di Jakarta yang dian­taranya adalah Waterloo Plein (Ta­man Banteng) dan Boorgermeester Bisschopplein (Taman Suropati); serta di Bandung yang diantaranya adalah Ijzerman Park (Taman Ganesha), Pieters Park (Taman Merdeka), Molukken Park (Taman Maluku), dan Insulinde Park (Ta­man Nusantara). Di Bogor, taman sejenis ini mungkin masih bisa dili­hat di Taman Kencana dan Taman Burung Ahmad Yani.

Ketika taman-taman tersebut dibangun, konsep taman kota yang menyehatkan serta menaungi akti­vitas penggunanya memang masih dapat dikatakan relevan, mengin­gat hampir sebagian besar penggu­nanya saat itu adalah orang-orang barat (Belanda) atau setidaknya orang-orang berpendidikan barat (west-educated). Situasi ini akan menjadi bermasalah ketika taman-taman kota tersebut mengalami pergantian tipikal pengguna yang memiliki budaya yang bertolak be­lakang serta dalam periode waktu yang berbeda.

Disinilah taman kota hadir dengan “rasa barat” dan digunak­an oleh masyarakat biasa berbuda­ya timur. Akhirnya, terjadi pengko­takan komunitas pengguna taman melalui beberapa tahapan me­kanisme. Pertama, pengguna be­lum atau tidak mengetahui makna dari masing-masing fasilitas yang terdapat pada taman tersebut –dan memang mereka belum terbiasa serta belum mendapat pendidi­kan atau pengetahuan mengenai taman kota bergaya barat. Kedua, terjadi kebiasaan-kebiasaan baru beraktivitas yang berasal dari bu­daya mereka pada taman tersebut –ada yang merasa bermasalah dan ada juga yang tidak merasa berma­salah. Pada akhirnya, mereka yang merasa bermasalah dengan penye­suaian terhadap taman kota berga­ya barat tersebut akan meninggal­kan taman tersebut dan tidak akan mengunjunginya kembali –dan mereka pun kembali pada pola dan gaya hidup perkotaan yang polutif dan tidak sehat. Sedangkan bagi mereka yang tidak merasa bermasalah dengan proses pe­nyesuaian tersebut, mereka akan melakukan hal-hal yang menurut mereka juga tidak merupakan ma­salah; seperti merusak tanaman (walaupun dalam skala yang kecil), membuang sampah sembarangan (karena mengangap akan ada pihak yang membersihkannya), menjadikan taman sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan ke­giatan ekonomi yang tidak berizin (karena menganggap itu hal yang diperbolehkan di suatu tempat publik), dan hal-hal yang tidak ber­tanggung jawab lainnya.

Kondisi-kondisi itu menyebab­kan taman kota hanya dapat dinik­mati oleh beberapa kalangan saja. Inilah yang dikhawatirkan oleh Solecki dan Welch (dalam Maller, 2009) yang mengungkapkan bah­wa jika tidak dikelola dan digu­nakan dengan semestinya, taman kota hanya akan menjadi sebuah “dinding hijau“ yang memisah­kan komunitas (yang sebenarnya terdiri dari berbagai karakteristik etnik dan sosial-ekonomi), daripa­da menjadi sebuah tempat komu­nitas tersebut untuk dapat saling berinteraksi.

Taman kota yang bermasalah seperti ini juga menjadi rentan terjadinya perebutan kepentingan di taman tersebut; baik oleh pemerintah, beberapa kelompok masyarakat, maupun oleh swas­ta –dimana semua pihak merasa berhak dan menganggap dapat mengubah ruang publik tersebut menjadi sesuatu yang lebih bergu­na menurut subjektivitas mereka. Kekhawatiran ini juga diungkap­kan oleh Fandeli dkk. (dalam Hari­yono, 2010) yang menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan ruang terbuka hijau nantinya akan semakin berkurang; dikarenakan terjadinya perebutan kawasan ta­man kota baik antara sektor pub­lik dan privat, maupun antara ma­syarakat strata menengah bawah dan masyarakat strata atas. (*)

============================================================
============================================================
============================================================