Oleh: INDRIYANTO SENO ADJI
Plt Wakil Ketua KPK; Guru Besar Hukum Pidana UI
Betapa tidak, penÂegakan hukum di alam demokrasi ini akan seÂlalu melihat orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya: masyarakat, negara, dan penegak hukum itu sendiri. Eksistensi tiga pilar itu memiliki fungsi checks and balÂances untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati.
Korupsi Sistemik
Sebelum membahas isu poÂkok perspektif hukum ini, perlu dikedepankan bahwa persoalan korupsi tetap akan menjadi fokus monopoli penegakan hukum, khususnya terkait peran strategis Kejaksaan Agung, Polri, KPK, mauÂpun pengadilan. Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan meruÂpakan bukti bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Layaknya penyakit, maka korupsi jenis ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya sangat minim dan selalu jadi uji coba bagi penanggulangannya. HasilÂnya pun kadang kala sudah dapat diprediksi secara pesimistis, yaitu tidak searah dengan kebijakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Secara konseptual-pada negaÂra berkembang-pemikiran bahwa korupsi sistemik atau kelemÂbagaan adalah bagian dari kekuaÂsaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan terpadu adalah dengan memperÂbaiki sistem yang ada.
Penegasan itu terlihat pada Kongres Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang “Prevention of Crime and the Treatment of OfÂfenders†di Milan tahun 1985, membicarakan suatu tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu “DiÂmensi Baru Kejahatan dalam KonÂteks Pembangunanâ€. Dalam salah satu hasil pembicaraan tentang “dimensi baru†ini, yang disorot adalah tentang terjadi dan meninÂgkatnya “penyalahgunaan kekuaÂsaanâ€. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi ini melibatÂkan pihak-pihak “upper economic class†(para konglomerat) mauÂpun “upper power class†(penyÂelenggara tinggi negara). Mereka berkonspirasi dan bertujuan unÂtuk kepentingan ekonomi, bahkan kepentingan politik dari kelompok tertentu. Alhasil, dalih mereka mendukung pemberantasan koÂrupsi sekadar gerakan simbolis kelembagaan, dengan tujuan akhir pada akhirnya melakukan pelemaÂhan terhadap penegakan hukum.
Dalam menyikapi proses huÂkum tersebut, polemik menjadi wajar bila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan progresif dari peradilan tersebut. Segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian dari tatanan pemberantasan korupsi. Namun demikian, independensi haruslah diselaraskan dengan tata cara norma regulasi, mengingat komunikasi diharapkan searah tanpa adanya miskomunikasi yang justru akan menciptakan disinteÂgrasi kelembagaan.
Kejahatan Struktural
Bentuk kejahatan struktural sebagai korupsi sistemik inilah yang memasukkan format korupsi sebagai bagian dari kejahatan terÂorganisir. Korupsi yang melanda hampir seluruh dunia ini meruÂpakan kejahatan struktural yang meliputi sistem serta organisasi dan struktur yang baik. Oleh kareÂna itu, korupsi menjadi begitu sanÂgat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial.
Dalam kaitan ini perlu diperÂhatikan beberapa pendekatan antisipasi perspektif korupsi, khuÂsusnya usaha dan metode pelemaÂhan kelembagaan dengan berlindÂung di balik penguatan KPK, yaitu inisiatif DPR bagi revisi UU KPK.
Pertama, artikulasi “sistem†ini memiliki makna yang kompreÂhensif, bahkan dapat dikatakan seÂbagai suatu proses yang signifikan. “Korupsi†sudah jadi bagian dari “sistem†yang ada, dan karena itu usaha maksimal bagi penegakan hukum, khususnya pemberanÂtasan tindak pidana korupsi, haÂrus dilakukan dengan pendekatan sistem. Terlebih bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peranÂan institusi negara, seperti halnya DPR sebagai salah satu institusi kenegaraan yang sangat menenÂtukan dalam proses regulasi akhir pemberantasan korupsi.
Di satu sisi KPK mendapat soroÂtan tajam dari DPR terkait tindakan upaya paksa, seperti penyadapan oleh KPK. Di sisi lain KPK mendapat apresiasi dari masyarakat manakala terjadi kontroversi tentang KPK terÂkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota eksekutif, yudiÂkatif, legislatif, maupun lembaga negara. Oleh karena itu, marwah dan front-gate KPK pada proses peÂnyelidikan-termasuk penyadapan-adalah sangat esensial.
Kedua, revisi UU KPK atas inisiÂatif DPR akan memengaruhi eksisÂtensi KPK sebagai penegak hukum. Perlu dipahami bahwa keberadaan KPK adalah sebagai lembaga pemiÂcu terhadap kondisi koruptif negaÂra yang sudah sangat mengkhawatÂirkan. Oleh karena itulah, dibentuk KPK sebagai lembaga khusus denÂgan regulasi dan kewenangan yang juga bersifat khusus.
Kewenangan khusus meÂmang menjadi basis kelembagaan KPK, antara lain terkait Pasal 44 UU KPK, yang menempatkan KPK dalam tahap penyelidikan berwenang memperoleh bukti permulaan yang cukup dengan minimum dua alat bukti. Proses penyelidikan sebagai “front gate†inilah yang membuat KPK dengan kewenangan penyadapan dapat mengembangkan perolehan dua alat bukti tersebut, yang ditindakÂlanjuti dengan OTT.
Penyadapan oleh KPK berÂdasarkan suatu legal by regulated khusus yang tetap perlu adanya suatu kewajiban evaluasi atas tinÂdakan ini. Tentunya ini berlainan dengan penyadapan yang didasarÂkan pada legal by court order dengan kewajiban memerlukan izin pengadilan. Dibenarkan perÂbedaan sebagai lembaga khusus dan kewenangan khusus sebagai perluasan dan justifikasi dari asas “the clear and present danger†terhadap korupsi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi genggaman wewenang KPK.
Mereduksi Kewenangan
Ketiga, sikap diferensial DPR yang justru akan melemahkan kewenangan-kewenangan khusus kelembagaan KPK sangat tegas bermakna pada, antara lain, soal penyadapan yang harus seizin pengadilan (Pasal 14 RUU KPK); penerbitan SP3 (Pasal 42); penÂgangkatan/penghentian penyeliÂdik KPK (Pasal 45 Ayat 2); penyitaÂan dengan bukti permulaan yang cukup pada tahap penyidikan (Pasal 49); kewajiban KPK memÂbuat laporan kepada Polri dan kejaksaan apabila KPK menangani penyidikan terlebih dahulu (Pasal 52 Ayat 2); penuntutan diserahÂkan kepada jaksa pada kejaksaan (Pasal 53 Ayat 1); asumsi durasi kelembagaan KPK hanya 12 tahun (Pasal 73). Pasal-pasal tersebut hanya sedikit di antara yang langÂsung maupun tidak langsung akan mereduksi kewenangan KPK.
Keempat, suatu revisi atas UU KPK memerlukan pembahasan dengan pola sinkronisasi dan harmonisasi dengan RUU terÂkait, seperti RUU KUHP, KUHAP, Tipikor, RUU Perampasan Aset, dan RUU Pencucian Uang. Karena itu, usulan revisi UU KPK secara parsial ini justru menimbulkan stigma kelembagaan regulasi dari penginisiatif, yang tentunya jusÂtru terkesan adanya tujuan negaÂtif terhadap dampak eksistensi kelembagaan penegak hukum, termasuk KPK. (*)