Oleh: HERU SUTADI
Direktur Eksekutif indonesia ICT Institute

Setidaknya ini menjawab salah satu persoalan ak­ses internet Indonesia, terutama di perkotaan yang dirasa kian hari kian lelet atau melambat.

Tidak mengherankan jika kemudian sampai Presiden Joko Widodo ( Jokowi) turun tangan untuk meresmikan peluncuran layanan 4G secara nasional.

Walaupun sebetulnya, layan­an 4G telah mulai diberikan pada publik sejak akhir 2014, Jokowi berharap kehadiran 4G men­jadi momentum revolusi digital, mengingat kemampuan dan ke­cepatan akses internet di negara tetangga lebih tinggi dibanding­kan di Indonesia.

Ekonomi Broadband

Yang menarik dari pelun­curan layanan 4G oleh Jokowi bersama beberapa Menteri Kabi­net Kerja, bukan soal layanan 4G itu sendiri, yang telah beberapa kali diresmikan, namun kesada­ran bahwa ekonomi dunia sedang berubah.

Meminjam istilah Don Tap­scott dalam “Digital Economy: Promise and Peril In The Age of Networked Intelligence” (1995) bahwa sejak awal abad-21, eko­nomi berbasis digital akan men­guasai ekonomi global.

Bukan sekadar digital, ber­dasarkan beberapa penelitian yang dilakukan seperti oleh In­ternational Telecommunication Union (ITU), kemudian juga Arthur D Little dan beberapa peneliti serta lembaga lainnya, ada korelasi signifikan antara perkembangan pembangunan dan pemanfaatan jaringan pita lebar (broadband) dengan per­tumbuhan ekonomi dan juga pembukaan lapangan kerja.

Tidak mengherankan jika ke­mudian, banyak negara di dunia berusaha memanfaatkan peluang socioeconomic efek dari pengem­bangan broadband.

Sayangnya, menurut laporan “State of Broadband”, Indonesia masih harus puas berada di posisi 143 dunia untuk penetrasi inter­net, dari 191 negara di dunia yang datanya dimiliki lembaga dunia tersebut.

Sementara untuk ICT Devel­opment Index (IDI) dunia, posisi Indonesia masih menempati po­sisi bawah, tepatnya 108 dunia.

Dalam laporannya, nilai IDI Indonesia hanya 3,94. Pencapa­ian Indonesia ini masih di bawah negara ASEAN lain, seperti Sin­gapura yang mencapai 8,08 dan berada di posisi 19 dunia.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Malaysia juga masih jauh di atas Indonesia, dan berada di posisi 64 dunia. Negara ASEAN lain, Brunei Darussalam duduki peringkat 71 dunia, Thailand di nomor 74, Filipina di peringkat 98, dan saingan dekat Indonesia, Vietnam, ada di posisi 102 dengan nilai IDI 4,28.

Dalam hal kecepatan inter­net, laporan terakhir Akamai dalam “State of the Internet” Q3- 2015, rata-rata kecepatan internet Indonesia adalah 3,0 Mbps.

Kecepatan Indonesia ini jauh di bawah Singapura dengan 12,5 Mbps, Thailand, 8,2 Mbps, Malay­sia 4,9 Mbps, maupun Vietnam 3,4 Mbps.

Persoalan yang dihadapi In­donesia makin berat, karena saat ini kenyataannya, ketersediaan jaringan internet, khususnya dengan kecepatan tinggi, terjadi kesenjangan antara Indonesia Barat dan Timur. Belum lagi anta­ra kota dan desa-desa yang jum­lahnya sekitar 77 ribu desa.

Selain infrastruktur, dalam memanfaatkan jaringan pita lebar, ekosistem aplikasi, konten serta layanan perdagangan on­line Indonesia juga tidak dibangun secara baik.

Walhasil, over the top (OTT) asing lebih banyak merajalela di sini dan menikmati perkem­bangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Sehingga, harapan revolusi digital mungkin baru sebatas harapan.

Yang Bisa Diperbuat

Persoalan utama dalam pem­bangunan ekonomi berbasis broadband adalah kepemimpi­nan atau leadership.

Di banyak negara, karena ini adalah revolusi ekonomi, dalam kondisi Indonesia, kepe­mimpinan penggerak pembangunan ekonomi digital harusnya seorang presiden.

Tentu masih teringat bagaima­na Wapres AS Al Gore hadir den­gan gagasan superhighway-nya, kemudian Mahathir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia dengan Malaysia Super Corridor-nya.

Presiden perlu di depan kare­na bisa menggerakan semua lini dan kementerian, serta dana.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam hal infrastruktur, selain akses seperti teknologi 3G dan 4G, kita juga memerlukan penggelar­an pembangunan jaringan serat optik hingga ke rumah-rumah.

Program Palapa Ring yang membangun dan menghubung­kan ibu kota kabupaten/kota juga perlu dipercepat. Karena su­dah terbengkalai dan terlambat, sewajarnya program ini tuntas maksimal di akhir 2017.

Selain akses dan jaringan tu­lang punggung nasional, jangan dilupakan adalah perlu segera ada alternatif lain jalur internet internasional ke Tier-1, selain me­lalui Singapura.

Di luar infrastruktur, eko­sistem aplikasi dan konten perlu mendapat perhatian, dukungan dan bantuan. Ini yang dirasa ma­sih kurang. Bagaimana aplikasi lokal mau maju, jika pemerintah tidak mendukung dan memberi perhatian yang cukup.

Jika memang sulit dibendung, OTT asing dapat saja diberikan ruang untuk masuk ke Indone­sia, sepanjang memenuhi aturan seperti penempatan data center di sini, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.82/2012, serta ten­tunya memiliki badan hukum, melakukan semua transaksi dan membayar pajak di Indonesia.

Revolusi digital baru dapat terjadi jika penguasa lokal seperti UKM menjadi tuan rumah di neg­erinya sendiri. Karena itu, harus ada perlindungan dan proteksi e-commerce untuk UKM.

Investasi asing boleh dibuka, namun secara bertahap, sampai UKM lokal benar-benar memi­liki daya tahan dan bisa bersaing dengan pemain asing.

Sebab, belajar dari krisis 1998, yang membuat ekonomi Indonesia bertahan sampai seka­rang adalah UKM.

Sehingga, potensi e-com­merce Indonesia yang diprediksi akan mencapai Rp 180 triliun di 2020. Jika tidak ada perlindun­gan dan keberpihakan, maka orang Indonesia hanya akan jadi penonton revolusi ekonomi dari ekonomi digital ini. (*)

sumber: liputan6.com

============================================================
============================================================
============================================================