Oleh: INTAN INDAH PRATHIWIE
Kepala Sekolah TK Melati Agung dan Alumnus Psikologi UI
Padahal, RonggowarÂsito (1802-1873) lebih dari 150 tahun silam sudah memotret dan memvisikan kondisi ini dalam Kalatidha (1860). Yaitu, ketika â€martabat negara tampak tanpa rupa, berantakan dan ruÂsak; hukum dan aturan diinjak-injak; tiada lagi teladan bijak.†Itu sangat memprihatikan! Sebab, keadaan sekarang belum banyak berubah dibading era sang puÂjangga.
Dalam kitab yang sama, RongÂgowarsito tidak hanya mempreÂdiksi, namun sekalihgus memberi resep mengatasi ‘Zaman Edan’ tersebut. Solusinya terlihat dari ujaran â€seuntung apa pun orang yang lupa daratan, lebih selamat orang yang menjaga kesadaranâ€. Artinya, kebobrokan suatu bangÂsa atau negara bisa teratasi kalau masyarakat negara bersangkutan menumbuhkan kesadaran untuk lakukan perbaikan. Upaya penÂumbuhan kesadaran tersebut hanya bisa dicapai lewat jalan pendidikan restoratif. Dengan kata lain, Ronggowarsito juga berbicara tentang pendidikan. Sebuah warisan yang selama ini tampak terlupakan dan sepatutÂnya kita angkat kembali. Sosok Ronggowarsito yang juga punya perhatian terhadap pendidikan praktis tenggelam oleh kharisÂmanya sebagai ahli susastra. KealÂpaan ini disayangkan mengingat karya berikutnya, Wedharaga, mengandung aforisme bijak tenÂtang pendidikan. Utamanya, penÂdidikan yang terkait perbaikan kondisi negara.
Ada tiga prinsip utama peÂmikiran Ronggowarsito. Pertama, utamakan praktek dibanding teoÂri. Aforisma keempat dalam WedÂharaga berbunyi, â€Orang muda itu punya tempat bukan berbiÂcara dan memberikan nasihat tapi turun tangan dan bekerja.†Ronggowarsito seakan ingin menÂgatakan nasib suatu bangsa terleÂtak pada generasi mudanya dan hakikat generasi muda adalah bekerja dengan semangat dan viÂtalitasnya.
Dalam bahasa pedagogis, pendidikan restoratif untuk perÂbaikan mentalitas suatu bangsa tidak bisa lewat pendidikan dokÂtriner yang hanya lebih banyak berisi teori dan nasihat. PendidiÂkan restoratif itu mengutamakan ppengalaman konkret ‘praksis’ atau learning by doing.
Kedua, terus berlatih demi meraih kesempurnaan di biÂdangnya masing-masing. Kalau Lao Tze pernah berkata ‘lebih baik menguasai satu ilmu secara mendalam ketimbang menguasai banyak hal tapi hanya sepotong-sepotong.’ Maka Ronggowarsito berujar, â€Jika sudah berkeahlian, baiklah itu [keahlian] engkau simÂpan.â€
Maksudnya, bangsa yang memerlukan ikhtiar restoratif harus punya banyak ahli pada tingkat spesialis ketimbang geÂneralis. Saat ini Indonesia sanÂgat kekurangan ilmuan ini. ConÂtohnya, kita kekurangan spesialis gempa, padahal itu rutin terjadi. Sebagai negeri kepulauan, spesiÂalis hukum laut kita langka, dan banyak contoh lain. Maka, aforisÂma yang sama menekankan pada pentingnya mempertahankan dan meningkatkan prestasi yang sudah diraih lewat berbagai inÂsentif. Faktanya, banyak ahli pengharum nama bangsa mulai dari peneliti, atlet juara, hingga siswa pemenang olimpiade ‘terÂlunta-lunta’, sehingga mereka hiÂjrah ke negara yang memberikan penghidupan lebih baik. FenomÂena brain drain (hengkanya para intelektual) dan muscle drain (hengkangnya para atlet) dan membangun bangsa luar adalah akibat negara menyia-nyiakan mereka.
Ketiga, nalar dan akal cerdas harus berpadu dengan etika, akhlak mulia, dan penghargaan terhadap sesama. Tanpa akhlak, ilmu hanya melahirkan manusia cerdas namun pongah terhadap sesama, sehingga kepandaian hanya jadi alat mengakali orang lain yang dibawah mereka.
Kita lihat bagaimana tingginya latar belakang pendidikan para terpidana koruptor di negeri ini, tapi dari situ kita juga saksikan betapa kecerdikan dan ilmu yang dimiliki semata digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Atau, betapa hebatnya para teroris yang mampu membuat bom dan merancang strategi pengrusakan, tapi kehebatan akal mereka tak diiringi dengan penghormatan terhadap nyawa sesama manusia. Maka itu, Ronggowarsito dalam aforisma keduabelas Wedharaga mengatakan, ‘orang yang pandai selalu mengendalikan perbuatan, pandai menghargai sesama.’Akhir kata, meski dikemukakan hampir satu setengah abad yang lalu, konsepsi Ronggowarsito tentang pendidikan restoratif ternyata masihlah relevan dengan situasi kekinian bangsa kita.
Tinggal, bagaimana kita di masa sekarang ini meresapi dan mengamalkan ajaran sang puÂjangga besar tersebut demi memÂperbaiki kondisi bangsa ini.
Sumber : suarakarya.id