Oleh: HASBULLAH SE, MA, EK
Ketua DPD KNPI Kota Bogor
Ruang publik menurut undang-undang NoÂmor 26 Tahun 2007, tentang penataan ruang dapat berupa ruang terbuka hijau publik atau ruang terbuka non hijau publik yang secara institusional harus disediakan pemerintah di dalam bentuk lahan di kota-kota di InÂdonesia. Undang-Undang itu juga menyebutkan proporsi RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30 persen, dari luas kota, yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.
Bagi Kota Bogor, perhitungan luas RTH yang dibutuhkan Kota Bogor yakni sebesar 3.555 hekÂtare, dengan komposisi 20 persen RTH publik atau sekitar 2.370 hektare, dan 1.185 hektare untuk 10 persen RTH privat. Sayangnya, kondisi ruang itu du Kota Bogor masih kurang dari 30 persen. Informasi menyebutkan, tahun 2014 Kota Bogor baru memiliki RTH sebesar 13 persen. Dengan adanya penambahan taman baik besar dan kecil, di tahun 2015 jumÂlahnya hanya bertambah menjadi 14 persen. Tentu harus menjadi pertanyaan, mengapa pertumbuÂhan untuk memaksimalkan ruang terbuka hijau begitu kecil? Dari mana kita mulai meniliknya? SeÂjarahkah yang salah? Budayakah? Atau faktor kebijakan?
Bogor sesungguhnya memiliki potensi taman dan ruang yang cukup potensial untuk dikemÂbangkan. Taman-taman yang berukuran besar diantaranya TaÂman Kencana, Taman Malabar 1 dan Malabar 2, Taman Perangin, Taman Palupuh, Taman Cipaku, Taman Lereng Lapangan SumÂpur, Taman Perlintasan Jalan PadÂjajaran, dan masih banyak lainnya yang berukuran kecil-kecil. Tentu, potensi itu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Harus ada upaya yang sangat maksimal untuk menaruh fungsi taman yang sesungguhnya di lahan tersebut, baik secara soÂsial, infrastruktur maupun meliÂhat dan mempertimbangkan sisi estetika yang tak mungkin ditingÂgalkan sebagai bagian dari kenyaÂmanan. Pertanyaannya, sudahÂkah fungsi dan nilai itu dilakukan secara maksimal? Mengingat poÂtensi ruang publik kita, kini sudah sulit bergerak.
Memang, Pemerintah Kota Bogor kini tengah berproses membangun ruang terbuka hijau publik seluas 2 hektar di Taman Heulang. Lokasi tersebut konon akan dilengkapi tempat pengolaÂhan sampah, bank sampah, serta taman pembibitan. Di kawasan itu, akan digunakan sebagai kaÂwasan untuk generasi muda dan anak-anak belajar pembibitan tanaman obat-obatan, sekaligus bank sampah dan pengolahannya. Selain Taman Heulang, juga sudah ada lokasi ruang terbuka hijau baru seperti Hutan Kota di Jalan Ahmad Yani, jalur hijau di sepanÂjang R3 dan median bawah jalan tol di Jalan Sholis Iskandar. Upaya ini patut kita apresiasi. Namun demikian, mungkin juga perlu dilÂihat kembali sisi penekanan fungsi pada kedua lahan tersebut, benaÂrkah kawasan itu tepat untuk penÂgolahan sampah sekaligus tempat pembibitan? Sejauh mana ruang terbuka hijau di Ahmad Yani bisa dikatakan sebagai Hutan Kota? Tentu dengan melihat kondisi real yang terjadi di kawasan tersebut, sekaligus melihat faktor budaya dan kebiasaan yang terjadi di kaÂwasan itu. Pemanfaatan fungsi, struktur dan nilai estetika itulah yang kini seharusnya perlu menÂjadi pertimbangan besar agar di tengah ruang publik kita yang sempit, kita memiliki ruang gerak dan manfaat yang besar.
Bagi pemuda, sejatinya dalam mempergunakan ruang publik di perkotaan, setidaknya haÂrus memenuhi lima kebutuhan dasar diantaranya; kenyamanan (confort), relaksasi (relaxation), penggunaan secara pasif (passive engagement), penggunaan secara aktif (active engagement), dan keÂanekaragaman fitur (discovery). Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut, pemuda akan meÂmiliki ruang publik yang baik dan nyaman dalam mengembangÂkan potensi dan kreativitasnya, menumbuhkan semangat berekÂsplorasi dan membangun interÂaksi sosial dengan baik.
Hasil diskusi yang hangat anÂtara saya dengan segenap seniÂman Kota Bogor seperti Yana WS, Koko Kosasih, Ibrahim BaÂsalamah, Gihon dan rekan-rekan di Koran Harian BOGOR TODAY, juga merekemondasikan pentingÂnya menyimak dan mengevaluasi bagaimana ruang publik dilihat dari segi etika dan estetika di Kota Bogor. Sisi budaya yang juga tidak boleh ditinggalkan.
Sejumlah taman di Kota Bogor yang tengah “merayakan†pemÂbangunannya, perlu meningkatÂkan pelibatan sejumlah pihak agar hasil yang dicapai oleh pemerinÂtah dalam pembangunan taman kota, tidaklah sia-sia. Fakta bahwa masih banyak masyarakat dan kaÂlangan pemuda yang merasa bahÂwa taman-taman yang dibangun Pemkot Bogor saat ini, hanya asal jadi dan tidak memperhatikan sisi kemanfaatan dan estetikanya.
Jika melihat fungsi ruang pubÂlik secara umum, terjadi cermin yang transparan bahwa di Kota Bogor secara fisik terlihat ketidaÂksesuaian program dan terjadi tabrakan kepentingan yang salÂing bersimpangan. Galian saluran air misalnya, tidak terkoordinasi dengan galian jaringan komunikaÂsi, gas dan listrik. Akibatnya, gali lubang tutup lubang. Tabrakan kepentingan lain yang jelas terliÂhat misalnya fasilitas publik sepÂerti pengguna jalan dan pedagang kaki lima. Pejalan kaki, tersingkirÂkan oleh pedagang kaki lima. Tak hanya itu, tabrakan moral seperti disiplin berlalu lintas, kebiasaan membuang sampah dan perÂlakuan buruk merusak fasilitas milik publik juga terjadi dimana-mana. Ini mengakibatkan, kualiÂtas ruang publik di Bogor menjadi rendah.
Dilihat dari sisi estetika, contohnya soal pembuatan PJU sepanjang jalan Pajajaran. PJU itu mungkin diniatkan sebagai simbol atau manifestasi dari tugu kujang, tetapi secara estetik tidak ada model kujang yang sama. Ditambah lagi parahnya sampah visual, seperti reklame dan billÂboard serta videotron yang seoÂlah-olah menyergap di setiap ruÂang publik dan taman Kota Bogor.
Dari sisi kebijakan, hal ini terjadi karena ketidaktegasan para pemangku kebijakan dalam melakukan penertiban dan aturan yang ada. Akibatnya, nilai tambah ruang publik dan lingkunÂgan yang sering dinikmati oleh warga Bogor, seperti pemandanÂgan Gunung Salak, udara segar, iklim yang sejuk dan teduh, kini tertutup. Bahkan, berbagai niÂlai estetika dan pemaknaan juga menjadi hilang ditelan hingar binÂgar lalulintas, seperti patung perÂlawanan terhadap narkoba yang tertutup fly over jalan tol atau gagahnya patung Kapten MusliÂhat yang kalah “besar†dari ruko dan riuh rendah kemacetan. Nilai yang lupa dan tergusur.
Kita harus sadari, Kota Bogor adalah kawasan heritage. KareÂnanya, perlu dilakukan peneluÂsuran dan kajian terhadap rancanÂgan tata kota dari sisi kesejarahan. Kota Bogor juga merupakan kaÂwasan pemukiman dan penelitian. Solusinya adalah ruang-ruang publik yang tematis, seperti untuk iklan politik misalnya, dibuatkan satu ruang publik khusus, demikiÂan juga aktivitas grafiti bagi ekspreÂsi anak muda, dibuatkan tempat khusus. Sama khususnya seperti fasilitas bagi skateboard, pertandÂingan basket, dan lain-lain. Itu pula sebabnya, ekspresi generasi muda di dunia musik, berteater, bersastra, menari, berseni-rupa, juga perlu mendapat tempat yang benar dan representatif sebagai salah satu kekayaan di ruang pubÂlik. Ini tak lain merupakan upaya agar Kota Bogor memiliki pemahaÂman yang baik terhadap semangat estetika yang kelak diwujudkan dan diperankan secara benar di ruang publik kita. (*)