SALAH satu isyarat penting yang ditinggalkan Prabu Surawisesa dalam membangun Pajajaran di Pakuan untuk kesejahteraan rakyat, adalah bagaimana pemimpin dan rakyat sama menyadari hakekat dirinya secara fungsional. Terutama dalam melihat korelasi tri tangtu dina salira dengan tri tangtu di bhuwana dan di nagara.
Oleh : Bang Sem Haesy
PERTANYAAN dasarnya adalah hirup ti mana, rek ka mana. Bila pertanyaan itu dihadapkan kepada kita kini, jawabnya adalah: inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Semua datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya jua. Karena itu, sepanjang penjalani kehidupan berlaku prinsip parigel, yang dalam bahasa kini disebut kompeten dan profesional.
Pada tri tangtu di salira, berlaku harmonisasi think, instink, sense, dan feel, sebagai daya inti menÂgelola perilaku, meliputi rasa, fikir, tekad, ucapan, laku lampah, sikap silih asih – asuh – asah, naluri, nuÂrani, sesuai rucita kahirupan (tuntuÂnan) kehidupan. Dengan hal ini kita berpegang pada jati kusumah dalam mengelola alam dan manusia lain. Yaitu, dengan cara adil paramaarta, adil seadil-adilnya. Adil ka diri, adil ka balarea untuk kepentingan pribÂadi, balarea, dan sarerea. Dengan keadilan itu, kita memikul amanah dengan sebaik-baiknya. Termasuk amanah memelihara alam dan lingÂkungan yang akan menentukan diÂnamika kehidupan selanjutnya.
Pajajaran berjaya dan Pakuan (Bogor) mulia di masanya, karena Prabu Siliwangi dan Prabu SurawisÂesa menjalani fungsi kepemimpiÂnannya dimulai dengan sikap benÂer. Selalu berpijak pada kebenaran obyektif dan teguh menjalaninya (konsisten, istiqamah). Salah satu bentuknya adalah teu sirik pidik jail kaniaya, teu sudi ngajajah teu sudi dijajah. Tidak berfikir negatif, tidak menimbulkan masalah bagi orang banyak, tak rela dikuasai apapun dan siapapun. Berani menolak inÂtervensi non governansi.
Nilai Tri Tangtu di Bhuana, mesti diwujudkan secara kongkret untuk kepentingan kesejahteraan kolektif. Tegas menegakkan peratuÂran terkait dengan alam lingkungan (mulai dari aturan tentang planologi – tata ruang, sampai peraturan tenÂtang disiplin sosial, misalnya dalam berlalu lintas).
Sikap ini tidak bisa dikemas. Apalagi dengan cara-cara image building, pencitraan. Karena diÂmensi nilai hidup tri tangtu di BhuÂwana, menyatu dalam keseluruhan dimensi kepemimpinan dan manaÂgerial. Mengalir bersama kejujuran paripurna (amanah), kebenaran hakiki (shadiq), kecerdasan akal budi (fathanah), dan kemampuan komunikasi yang tepat dan tidak pura – pura (tabligh), karena dilanÂdasi sikap silih asih – silih asah – silih asuh (marhamah).
Tri tangtu di bhuana, secara konÂseptual mengisyaratkan pentingnÂya penyelenggaraan manajemen pemerintahan dalam mengelola pembangunan dan pemberdayaan rakyat secara kongkret. Membenahi masalah dari hulu. Dalam konteks pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM), misalnya, dimulai dari manajemen ekosistem. Antara lain menghijaukan wilayah. Antara lain membagi fungsi wilayah konÂservasi dan budidaya secara proporÂsional. Itulah yang kita kenal dengan leuweung larangan, leuweung tutuÂpan, dan leuweung garapan.
Tri tangtu adalah konsep dasar keseimbangan dalam berkehiduÂpan. Bagai memelihara atom yang selalu harus menjaga keseimbangan neutron, proton, dan elektron. Jika salah satu dari ketiga hal itu lepas, maka kehidupan akan kacau dan timbul bencana. Dalam konteks itulah, pendidikan sangat penting maknanya.
Melalui pendidikan, manusia ditempa karakternya dengan nilai-nilai operasional: welas asih dalam berdemokrasi, dengan tata krama (aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan sopan santun), dan wiwaha yuda na raga ( bijak dan penuh pertimbangan).