Oleh: RONNY P SASMITA
(Analist Ekonomi Global di Financeroll Indonesia)

Sejurus dengan itu, kondisi serupa juga ter­jadi pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate ( JISDOR). Rabu siang, kurs JISDOR rupiah berada di level 13.576 per dollar AS, atau menguat 0,3% dari po­sisi hari sebelumnya yang ada di level 13.619.

Penguatan Rupiah di awal minggu ini, terutama hari Rabu, adalah efek pelemahan dolar se­cara global, yang sedari pengu­muman hasil rapat FOMC bulan Oktober lalu, terus memperlihat­kan taring berdurinya terhadap rival-rival utama Dolar.

Pada waktu yang sama, ber­dasarkan data Bloomberg gener­ik, Bloomberg Dollar Spot Index turun 0,3% menjadi 1.229,50. Pa­dahal sehari sebelumnya (10/11) indeks acuan dollar ini naik 0,1% dan menyentuh level tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Terhadap mata uang yen, misalnya, nilai tukar dollar me­lemah 0,2% ke level 122,95 yen. Sedangkan versus euro, dollar melemah 0,3% menjadi $ 1,0753 per euro. Sejumlah mata uang dunia lain juga mencatatkan pen­guatan terhadap dollar AS. Sebut saja misalnya mata uang aus­sie yang menguat 0,4% menjadi 70,57 sen US dan poundsterling yang juga menguat 0,3% menjadi $ 1,5165.

Namun apa yang terjadi pada hari Jumat (13/11), Kurs tengah Bank Indonesia terseret ke level Rp13.633 per dolar AS pada sesi pagi karena tekanan re­gional dimana gerakan mayoritas mata uang Asia juga mengalami pelemahan, dipimpin oleh depr­esiasi won.

Sementara itu, Bank Indone­sia juga menetapkan kurs tengah di level Rp13.575 per dolar AS, melemah 58 poin atau terdepresi­asi 0,43% dari kurs yang ditetap­kan sehari sebelumnya.

Dengan rincian, kurs jual dipatok di Rp13.701 per dolar AS, sedangkan kurs beli berada di Rp13.565 per dolar AS. Selisih an­tara kurs jual dan kurs beli adalah sebesar Rp136.

Berdasarkan psikologi pasar yang berkembang, pelemahan dollar yang cukup signifikan hari awal pecan lalu disebabkan oleh aksi ambil untung (profit taking) para investor atas gerakan pen­guatan dollar yang tajam beber­apa waktu sebelumnya.

Sepanjang bulan ini saja, dol­lar AS sudah menguat 1% terha­dap 10 mata uang utama dunia. Selain itu, pada hari tersebut, investor juga menunggu dirilis­nya data ekonomi Tiongkok. Data ini cukup penting karena akan memberikan petunjuk dan indi­kasi lebih lanjut mengenai posisi ekonomi Tiongkok ke depan.

Sementara itu, dari sisi non dolar, pernyataan pejabat tinggi Bank of Japan (BoJ) menjadi pe­nopang penguatan mata uang global. Anggota Dewan Bank Sentral Jepang, Yutaka Harada, mengatakan pada hari rabu (11/11) bahwa pertumbuhan ekonomi Jepang akan melanjutkan proses pemulihan dengan kecepatan yang “moderate”.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sedangkan untuk pertum­buhan inflasi konsumen Jepang sendiri, BOJ memperkirakan akan mengalami kenaikan yang mendekati 2% di bulan Maret 2016 mendatang. Namun demiki­an, pelonggaran kebijakan bisa saja dilakukan jika risiko yang mengancam kenaikan harga se­makin meluas di Jepang.

Disisi yang lain, pelemahan dolar ternyata belum mampu memperbaiki kondisi harga min­yak mentah dunia. Pada hari yang sama, Rabu (11/11), harga minyak dunia masih tertekan di bawah level $ 44.

Berdasarkan data Bloomberg, harga kontrak minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun 66 sen menjadi $ 43,76 per barel di New York Mercantile Exchange sesi siang waktu Hong Kong.

Sehari sebelumnya, Selasa (10/11), harga kontrak minyak WTI naik 34 sen menjadi $ 44,21 per barel. Ini merupakan kenai­kan pertama dalam lima hari se­belumnya.

Namun setelah jatuh lebih dari satu $1, harga patokan min­yak mentah AS,light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember, jus­tru semakin terkupas dan turun $1,18 atau 2,7%, untuk kemudian diperdagangkan di level $41,75 per barel di New York Mercantile Exchange pada sesi perdagangan pagi hari Jumat (13/11), titik ter­endah baru sejak akhir Agustus 2015.

Dan minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman De­sember, patokan global untuk minyak, diperdagangkan di level $44,06 per barel di perdagangan London alias turun $1,75 (3,8%) dari tingkat penutupan hari Rabu.

Pergerakan harga minyak ma­sih sangat dipengaruhi oleh data cadangan minyak AS yang ma­sih melimpah ruah. Berdasarkan data mutakhir dari American Pe­troleum Institute (API), cadangan minyak AS naik sebesar 6,3 juta barel pada pekan lalu.

Sedangkan Energi Informa­tion Administration (EIA) meri­lis data suplai minyak dengan kenaikan sebesar 4,2 juta barel, jauh diatas prediksi para analis 1,3 juta barel.

Sehingga akhirnya minyak benar-benar tak mampu mengim­bangi pelemahan dolar hari Rabu (11/11) karena harga tersandera oleh pasokan yang kian melimpah ditengah kekhawatiran atas per­lambatan permintaan global, ter­utama akibat bersikerasnya OPEC untuk mempertahankan kuota produksi dan semakin memburuknya perkembangan ekonomi Tiongkok belakangan ini.

Selain faktor ancaman melan­dainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia, membaiknya data tenaga kerja Amerika yang dirilis minggu lalu benar-benar akan menjadi ujian bagi Rupiah menjelang datangnya bulan De­sember.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Tingkat pengangguran yang sudah bertengger di level 5% adalah titik awal Amerika untuk menuju era tinggal landas dan menuju kondisi full employ­ment. Sementara data inflasi yang dirilis dua minggu lalu juga sudah benar-benar menempel pada angka incaran the Fed, yakni 1,9% alias mendekati 2%.

Walhasil, gembar-gembor rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus dihem­buskan. Optimisme bukan saja terlontar dari para petinggi The Fed yang masuk ke dalam komite pengambil kebijakan, tapi juga oleh para ekonom dan pelaku pasar.

Mereka mewanti-wanti anca­man ekonomi domestik Amerika yang akan mengalami overheat­ing, jika suku bunga tidak juga dinaikan, terutama overheating untuk sektor property atau pe­rumahan.

Meningkatnya ekspektasi ke­naikan suku bunga The Fed akh­irnya ikut meredakan ekspektasi dalam negeri Indonesia yang ber­harap Bank Indonesia segera me­mangkas suku bunga pinjaman, agar ekeonomi riil bisa mendapat oli tambahan untuk bergeliat.

Walaupun disisi lain, belum ada alasan yang kuat juga bagi BI untuk menaikan suku bunga seir­ing gonjang-ganjing kenaikan The Fed’s Rate.

Jadi penguatan sementara mata uang rupiah lebih disebab­kan oleh sentiment teknikal yang juga bersifat sementara di pasar.

Karena jika dilihat dari persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada dibawah bayang-bayang yang mengkha­watirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed, perlambatan eko­nomi Tiongkok yang kian jelas, dan tertekannya harga komoditas ekspor andalan Indonesia.

Ketiga bayang-bayang gelap ini akan berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan pengetatan moneter Amerika akan menam­bah otot dolar terhadap semua mata uang rivalnya dan menekan harga minyak dunia yang me­mang telah terseok-seok, kemu­dian akan semakin mengganggu perekonomian Tiongkok dan Indonesia akibat membesarnya bayang-bayang capital outflow.

Disisi lain, harga minyak yang kian melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia dan serta-,merta akan memangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas non mi­gas.

Dan perlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau, akan mengancam stabilitas neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok karena memburuknya prospek permintaan atas komoditas non migas. Pasalnya, Tiongkok adalah negara mitra dagang kedua terbe­sar Indonesia untuk komoditas non migas, setelah Amerika.

sumber: harian haluan.com

============================================================
============================================================
============================================================