Foto : Antara
Foto : Antara

JAKARTA, TODAY — Bank Indonesia (BI) men­catat pelemahan rata-rata nilai tukar pada tri­wulan III-2015 sebesar 5,35% (quartal to quar­tal/qtq) ke level Rp 13.873/US$. Hal ini tidak terlepas dari faktor eksternal, khususnya dari Amerika Serikat (AS) dan China.

Gubernur BI Agus Martowardojo menyebut­kan, pada periode tersebut ada kekhawatiran pasar atas rencana kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) atau Bank Sentral AS. Tadinya kenaikan tersebut direncanakan terealisasi pada awal September.

Di samping itu, juga ada perso­alan dari China. Negeri tirai bambu tersebut melakukan devaluasi atas mata uangnya, yuan, sehingga menimbulkan goncangan di pasar keuangan.

“Pada kuartal III 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 5,35% (qtq) ke level Rp 13.873. Tekanan terhadap rupiah dipen­garuhi oleh faktor eksternal, yaitu kekhawatiran terhadap normalisa­si kebijakan The Fed dan devaluasi yuan,” ungkapnya di Kantor Pusat BI, Jakarta, Selasa (17/11/2015)

Meski demikian, pelemahan tersebut sempat terhenti dan bahkan mulai menguat cukup sig­nifikan ketika memasuki Oktober 2015 yang dipicu oleh sentimen positif terhadap negara berkem­bang. Tercatat penguatan rupiah secara rata-rata 4,74% (month to month/mtm) ke level Rp 13.783. “Di samping itu juga membaiknya optimisme terhadap prospek eko­nomi Indonesia sejalan dengan rangkaian paket kebijakan pemer­intah dan paket stabilisasi nilai tukar yang dikeluarkan oleh BI,” terangnya.

BACA JUGA :  Jadwal SIM Keliling, Selasa 23 April 2024 di Kota Bogor

Data dihimpun, Federal Re­serve (The Fed) atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi bakal menaikan suku bunga acuan bulan depan. Hal ini didukung oleh data sektor tenaga kerja di AS yang menunjukan penurunan pengang­guran dan pertambahan gaji.

Jika The Fed jadi menaikan suku bunga, menurut Deputi Gu­bernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, hal itu akan berdampak terhadap pasar keuangan global. Khususnya mata uang di berbagai negara berkembang. Rupiah ber­peluang mengikuti arah mata uang lain yang melemah terhadap USD.

Tentunya BI telah menyiapkan berbagai antisipasi. Salah satunya dengan menahan suku bunga acu­an pada level 7,50%. Diharapkan tentunya reaksi pasar tidak berlebi­han dan mendorong kestabilan.

“Bahwa BI selama ini sudah menempuh langkah antisipasi ter­hadap kemungkinan suku bunga Fed Fund Rate. Bahwa timing dari Fed Fund Rate itu sudah ma­suk dalam simulasi kebijakan BI. Yang sulit diprediksi adalah reaksi pasar terhadap apa yang dilaku­kan oleh The Fed,” ungkap Perry di Kantor Pusat BI, Jakarta, Selasa (17/11/2015)

BACA JUGA :  Enak dan Menyehatkan Tubuh, Ini Dia 5 Manfaat Konsumsi Sarang Burung Walet

Perry menyebut kondisi ini sebagai ketidakpastian. Tentunya reaksi pasar akan muncul beber­apa waktu sebelum rapat FOMC (Federal Open Market Committee) atau rapat dewan gubernur bank sentral AS dimulai, sampai pada akhirnya keputusan dibacakan. “Jadi ketidakpastian di pasar glob­al karena kemungkinan-kemung­kinan itu. BI sudah menyiapkan antisipasi, tapi menag reaksi pasar yang sulit dikendalikan,” paparnya.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, keputusan The Fed sebenarnya su­dah diketahui sejak lama. Respon dari investor pun sudah dimulai sejak 2013, ketika The Fed men­gumumkan penghentian stimulus quantitative easing yang diluncur­kan beberapa tahun sebelumnya.

”Kami paham kita harus per­hatikan situasi eksternal, bahwa The Fed akan meningkatkan suku bunga dan diketahui oleh pasar sejak lama, meski secara gradual, maka dari itu kami tetap berhati-hati,” kata Mirza.

(Yuska Apitya Aji/dtkf)

============================================================
============================================================
============================================================